BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada era globalisasi ini dunia
berkembang begitu pesat. Segala sesuatu yang semula tidak bisa dikerjakan,
mendadak dikejutkan oleh orang lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Agar
kita tidak tertinggal dan tidak ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka
kita sadar bahwa pendidikan itu sangat penting. Banyak negara yang mengakui
bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Namun semuanya
merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang amat penting.
Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat
dan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu
bangsa. Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum
optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan
yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan
oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan
kontribusi terhadap kekacauan ini.
Manusia
adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia
sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga
tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu
hidup bersama. Hidup bersama antarmanusia akan berlangsung dalam berbagai
bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi
interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan
proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan,
interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja
maupun tidak disengaja.
Sehubungan
dengan prihal tersebut, dengan ketidakterbatasannya akal dan keinginan manusia,
untuk itu perlu dipahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi
belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang
memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan
tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar
adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan
belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi. Proses
belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya. Kapasitas
manusia untuk belajar, terutama tentang bagaimana proses belajar terjadi pada
manusia mengalami sejarah yang panjang bahkan sampai masa kinipun teori tentang
belajar masih berkembang dan akan masih
disempurnakan secara berkesinambungan
oleh ilmuwan dengan pencetusan teori-teori belajar yang baru. Salah satu
teori belajar yang terkenal adalah teori behaviorisme. Teori behaviorisme
merupakan teori belajar yang paling awal dikenal dan masih terus berkembang
sampai sekarang.
Secara
langsung, semua teori belajar begitu pula teori Behaviorisme selalu dikaitkan
dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan ihwal
belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada
beberapa ranah yang harus mendapat perhatian, ranah-ranah tersebut ialah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor.
Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbeda dengan binatang.
Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran, tetapi tidak
menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia
berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu ia
melatih anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan
dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi
(pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan panca indra) dengan
makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri
atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif. Dasar penemuan
Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson untuk selanjutnya diberi istilah Behaviorisme.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa
pengertian teori Behaviorisme?
1.2.2 Siapa
tokoh-tokoh teori Behaviorisme?
1.2.3 Bagaimana
penerapan teori Behaviorisme dalam pembelajaran?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
1.3.1 Untuk
mengetahui pengertian teori Behaviorisme.
1.3.2 Untuk
mengetahui tokoh-tokoh teori Behaviorisme.
1.3.3 Untuk mengetahui penerapan teori Behaviorisme dalam
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teori Behaviorisme
Teori
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Teori
Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, teori Behaviorisme tidak mengakui
adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. http://www.maziatul.com/2009/07/teori-belajar-behaviorisme-dan.html diakses Rabu, 30 November 2011 jam 13.05 Wita.
Teori
Behaviorisme menjelaskan bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan-perubahan terjadi melalui
rangsangan (stimulus), selanjutnya dinotasikan dengan (S) yang akan menimbulkan
hubungan perilaku reaktif (respons), selanjutnya dinotasikan dengan (R) yang
kesemua reaksi tersebut berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain
adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa
reaksi fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi,
sifat dan kecenderungan perilaku stimulusdan respon.
Jika
ditilik berdasarkan hakekat, stimulus (S) dan respon (R) adalah premis dasar
dari teori Behaviorisme. Di dalam proses belajar S-R ini terdiri dari beberapa
unsur, yaitu dorongan atau drive,
stimulus atau rangsangan, respons, dan penguatan atau reinforcement. Unsur dorongan akan diperlihatkan jika seseorang
merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan
ini. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian
berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang
menyebabkan timbulnya respons dari orang tersebut. Respons atau reaksi
diberikan terhadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan
suatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan penguatan akan memberikan
tanda kepada seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong
orang tersebut untuk memberikan respon lagi.
Teori
Behaviorisme seperti penjabaran di atas, pada prinsipnya sangat menekankan pada
hasil belajar (outcome), yaitu perubahan
tingkah laku yang dapat dilihat dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi
di dalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat. Seseorang
dianggap telah belajar apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
Namun demikian, yang tidak kalah penting adalah adalah masukan atau input yang berupa stimulus. Stimulus
dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus
meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicuim, dirasa, dan
diraba oleh seseorang. Selain memanipulasi stimulus, untuk memperoleh hasil
belajar yang diinginkan ada faktor penting yang sangat berpengaruh, yaitu
faktor penguatan (reinforcement) yang
mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan (reinforcement) adalah apa saja yang
dapat memperkuat timbulnya respons. Penguatan (reinforcement) dapat ditambahkan atau dikurangi untuk memperoleh
respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah. (Winataputra, 2007: 2.6).
2.2 Tokoh-Tokoh Teori Behaviorisme.
2.2.1 Petrovich Pavlov (1849-1936).
Petrovich Pavlov adalah seorang
Rusia yang lahir 14 September 1849, beliau merupakan penggagas awal teori Behaviorisme.
Teori beliau dinamakan teori Classical
Conditioning. Percobaan yang dilakukannya merupakan upaya untuk meneliti conditioned reflexes atau refleks
terkondisi. Berdasarkan percobaanya yang
menggunakan anjing sebagai objek utama eksperimental, beliau menemukan bahwa
anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang
tidak terkondisi, sementara keluarnya air liur anjing merupakan respons yang
juga tidak terkondisi. Selanjutnya beliau menambahkan lonceng dan digunakan
sebagai stimulus. setelah pengulangan beberapa kali, diperoleh hasil bahwa
anjing sudah akan berliur hanya oleh mendengar suara lonceng, tanpa ada daging
(proses asosiasi). Dengan demikian suara lonceng menjadi stimulus yang
terkondisi, sementara air liur anjing menjadi respons yang terkondisi.
Teori Pavlov didasarkan pada reaksi
sistem yang tidak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang
dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom dan gerak refleks setelah menerima
stimulus dari luar. Ada tiga parameter yang diperkenalkan oleh Pavlov melalui
teori Classical Conditioning, yaitu
penguatan (reinforcement),
penghilangan (extinction),
pengembalian spontan (recovery).
Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui
serangkaian penguatan, yaitu tindak lanjut yang terus berulang dari suatu
stimulus terkondisi yang diikuti stimulus yang tidak terkondisi dan respons
tidak terkondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian, pembentukan
respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Dengam semakin
banyaknya stimulus terkondisi yang diberikan bersama-sama stimulus tidak
terkondisi , semakin mantap pula respons terkondisi yang terbentuk, hingga
sampai suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus
yang terkondisi.
Jika penguatan dihentikan dan
stimulus terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tidak terkondisi, ada
kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun atau bisa hilang
sama sekali. Proses ini disebut penghilangan atau extinction. Misalnya suara lonceng dan daging untuk membuat anjing
berliur. Jika hanya suara lonceng saja yang dimunculkan tanpa ada daging lama
kelamaan dapat terjadi anjing tidak berliur lagi. Namun demikian bukan tidak
mungkin pada suatu waktu anjing akan kembali lagi berliur walaupun hanya
lonceng yang di bunyikan.
Di samping itu dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan
stimulus, yaitu kecendrungan untuk memberikan respon terkondidsi terhadap
stimulus serupa dengan stimulus terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan
stimulus yang terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan
bersama-sama dengan stimulus yang tidak terkondisi. Sehingga berlaku hukum,
makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama,
akan makin besar pula perampatan yang dapat terjadi. Dalam teori Classical Conditioning , Pavlov juga
memunculkan konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk
memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan
respon sama sekali terhadap stimulus yang lain. Situasi ini di dapat melalui
cara memberikan suatu stimulus yang lain sehingga seseorang akan melakukan
asosiasi terseleksi (selective
association) terhadap stimulus menimbulkan respons balik.
2.2.2 Edward L. Thorndike (1874-1949).
Connectionism
itulah nama teori dari Edward L. Thorndike. Dasar-dasar teori ini diperoleh
dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang.
Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah
mampu memecahkan masalah dengan menggunakan akal, dan atau dengan
mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar. Beberapa binatang yang pernah
diujicobakan, yaitu ayam, ikan, anjing, kucing dan kera. Percobaan ini
mengharuskan binatang-binatang tersebut
keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang
binatang-binatang tersebut membuka pintu, menumpahkan beban dan mekanisme lolos
lainnya dirancang sedemikian rupa. Dari hasil penelitiannya, Thorndike
menyimpulkan bahwa respon untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan
suatu yang menampilkan stimulus dalam proses coba-coba (trial and error). Respon yang benar secara bertahap diperkuat
melalui beberapa rangkaian coba-coba, sementara respons yang tidak benar
melemah atau menghilang.
Thorndike mengemukakan tiga dalil
tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat
(law of effect), dalil latihan/pembiasaan (law of exercise) dan dalil kesiapan (law of readiness). Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau
hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat
hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan. Sementara
itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut.
Dalil latihan/pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respons.
Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya
respons yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak
menyenangkan tidak akan membantu proses belajar. Dalil kesiapan menyatakan
kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons.
Jika siswa sudah belajar sebelumnya, maka ia akan siap untuk memunculkan suatu
respons atas dasar stimulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi
yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons.
Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang
diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka siswa mengalami
kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons.
Dari
beberapa penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh
proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan
proses transfer of learning atau
perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan
dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu
penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau
mirip yang disebut dengan associative
shifting. Teori Connectionism
dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.
2.2.3 John B. Watson (1878-1958)
Teori
dari John B. Watson dalam dunia psikologi pendidikan disebut teori Behaviorism. Watson adalah seorang
behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Walaupun
John B. Watson bukanlah ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku
manusia dalam proses belajar, namun Watsonlah yang melakukan penyimpulan atas
teori Classical Conditioning dari
Pavlov dan teori Connectionism dari
Thorndike. Teori Behaviorism atau
teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun
Thorndike yang menjadi landasan utamanya. Watson mendefinisikan belajar sebagai
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang
dimaksud harus dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental
yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk
diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam
benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah
perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata.
Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan
yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat
diramalkan.
Interaksi
antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi dengan proses
pengkondisian, menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian
seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang
dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya
bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu
takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks,
menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional
dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun
hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil
proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan
respons, Watson menggunakan teori Classical
Conditioning dari Pavlov yang dilengkapi dengan komponen penguatan dari
Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses pengkondisian tiga emosi
dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih menggunakan tiga dalil belajar
dan konsep perampatan basil belajar dari Thorndike. (Winataputra, 2007:
2.11).
2.2.4 Clark Hull (1884-1952)
Clark
Hull menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Beliau terinspirasi
oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori Evolusi,
semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme
tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan
menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
Selain
terinspirasi oleh teori Evolusi dari Charles Darwin, Clark Hull juga
terinspirasi oleh teori Classical
Conditioning dari Pavlov. Hull kemudian menerbitkan berbagai makalah yang
sejatinya merupakan modifikasi dari teori
Pavlov. Teori Hull dalam dunia psikologi dikenal dengan Systematic Behavior, karena teorinya
sangat sistematis dan mekanistik. Konsep
utama dari teori Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai
penelitian tentang kebiasaan dan respons terkondisi yang dilakukan Hull melalui
percobaan terhadap binatang. Perilaku yang kompleks, menurut Hull, diasumsikan
berasal dari hasil belajar terhadap bentuk-bentuk perilaku yang sederhana.
Dalam upaya mematangkan teorinya, Hull juga menggunakan dalil sebab akibat dari
Thorndike kemudian menggabungkannya dengan hasil temuannya.
Lebih
lanjut, Hull menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan respons tidaklah
sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada proses lain dalam diri
seseorang yang mempengaruhi interaksi antara stimulus dan respons. Proses
tersebut disebut oleh Hull sebagai variable
intervening. Hull memberi contoh rasa haus sebagai salah satu variable intervening. Menurut Hull, situasinya adalah binatang
diberi makanan yang asin, atau tidak diberi minum untuk sekian lama. Situasi
ini merupakan input variable. Rasa
haus timbul akibat dari situasi tersebut. Kemudian, untuk mengatasi rasa haus,
binatang akan melakukan bermacam-macam aksi, seperti mengais, mencari-cari air,
dan lain-lain, bahkan binatang akan melakukan hal-hal lain apa saja untuk
memperoleh air
Menurut
teori Systematic Behavior dari Hull, dalam asosiasi antara stimulus terhadap
respons, ada faktor kebiasaan sebagai intervening
variable. Intensitas kebiasaan tersebut menentukan intensitas asosiasi yang
terjadi. Proses belajar menurut Hull merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan
melalui serangkaian percobaan. Untuk dapat memperoleh kebiasaan diperlukan
adanya penguatan dalam proses percobaan. Namun, Hull juga menyatakan bahwa
penguatan bukan satu-satunya faktor yang, menentukan dalam pengembangan
kebiasaan, karena pengembangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya
percobaan yang dilakukan. Di samping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain (non learning
factors) yang berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang timbul.
Pada
akhirnya,.Hull mengembangkan teorinya menjadi suatu teori yang sangat
kuantitatif. Hull mencoba mengukur intensitas respons dalam bentuk nilai
kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai numerik yang tepat untuk membuat persamaan
tentang hubungan antara intervening
variable terhadap variabel bebas
maupun variabel terikat. Upaya kuantifikasi ini dilakukan Hull dalam rangka
memprediksi secara kuantitatif hasil-hasil dari percobaan-percobaan terhadap
perilaku. Dengan kata lain, respons dan atau kebiasaan dapat diprediksi secara
kuantitatif dan tepat melalui rumus-rumus tentang interaksi berbagai faktor
yang mempengaruhinya.
2.2.5 Edwin R. Guthrie (1886-1959)
Teori
dari Edwin R. Guthrie dikenal dengan nama teori Contiguous Conditioning. Teori ini berangkat dari dua teori dasar
dalam aliran perilaku, yaitu teori Connectionism
dari Thorndike dan teori Classical
Conditioning dari Pavlov, namun juga sangat dipengaruhi oleh teori Behaviorism dari Watson. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Thorndike ada dua jenis proses belajar,
yaitu: 1) proses pemilihan respons (respons
selection) dan mengaitkannya dengan stimulus, sesuai dengan dalil sebab
akibat, dan 2) perampatan stimulus (associative
shifting) di mana respons terhadap stimulus yang satu akan dimunculkan
terhadap stimulus lain yang dipasangkan bersama. Bagi Thorndike prinsip utama
adalah proses pemilihan respons dan pengaitan dengan stimulus yang terjadi
dalam proses coba-coba, sedangkan proses perampatan stimulus merupakan prinsip
tambahan saja. Namun, bagi Guthrie, proses perampatan stimulus justru menjadi
titik fokus utama dalam teorinya. Guthrie relatif tidak menerima dalil sebab
akibat sebagaimana pandangan Thorndike. Hal-hal tersebut yang menjadi perbedaan
utama antara teori Thorndike dan teori Guthrie
Watson
menggunakan percobaan-percobaan Pavlov sebagai paradigma dalam proses belajar.
Kemudian beliau mengadopsi refleks terkondisi sebagai bagian dari pembiasaan. Sementara
itu Guthrie, disisi lain memulai asumsinya dengan prinsip pengkondisian (conditioning) atau perampatan stimulus (associative learning), namun bukan semata-mata hanya dilandaskan
pada prinsip percobaan pengkondisian dari Pavlov. Dalil Guthrie yang pertama
tentang proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu
gerakan, pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan
tersebut. Dalil yang kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi
dan atau keterkaitan yang tinggi dengan respons yang ditimbulkannya pertama
kali. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan
bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang
terakhir terjadi yang akan muncul atau terulang lagi seandainya kombinasi
stimulus yang sama dihadirkan kembali.
Berdasarkan
teori Contiguous Conditioning dari
Guthrie, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil
penelitiannya terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua
binatang mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan
tidak semua binatang memiliki indra yang sama untuk menerima informasi. Di
samping itu, menurut Guthrie, latihan akan mengakomodasikan ataupun
menghilangkan respons-respons tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang
muncul dapat dihasilkan suatu respons yang menyeluruh sebagaimana yang
diharapkan yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Guthrie
percaya bahwa keterampilan mewakili sejumlah kebiasaan, oleh karena itu belajar
dapat dicapai sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan. Lebih lanjut,
Guthrie menyatakan bahwa motivasi mempengaruhi. belajar secara tidak langsung
yang terlihat melalui penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu
(merespons).
Reward atau penghargaan/pujian menurut Guthrie merupakan prinsip yang
sekunder. Penghargaan dapat berhasil dengan baik jika binatang memang tidak
dihadapkan pada situasi lain selain yang akan menghasilkan respons yang benar.
Penghargaan juga tidak memberi penguatan terhadap respons yang benar, tetapi
diakui bahwa penghargaan menghindari terjadinya pengurangan respons yang benar.
Sama dengan penguatan, hukuman juga berpengaruh terhadap belajar, dan sangat
ditentukan oleh alasan individu melakukan sesuatu. Secara umum, Guthrie percaya
bahwa alat prediksi yang paling baik,terhadap belajar adalah respons yang
muncul terhadap stimulus dalam suatu proses yang terakhir terjadi. Oleh karena
itu proses belajar dapat dijelaskan melalui reaksi terkondisi yang akan muncul
berdasarkan pengalaman masa lalu, dan sesuai dengan prinsip asosiasi.
Perampatan
belajar dapat terjadi dalam situasi yang baru karena adanya kesamaan elemen
atau komponen antara situasi/stimulus yang lama dengan situasi/stimulus yang
baru. Penekanan Guthrie terhadap konsep yang dikenal dengan istilah movement-produced stimuli atau stimulus
yang menghasilkan gerakan terkondisi merupakan modifikasi dari teori Thornlike.
Namun demikian, menurut Guthrie, hasil belajar yang diperoleh dipercaya
bersifat permanen, sampai terjadi proses belajar yang baru. Oleh karena itu,
lupa dapat terjadi karena respons yang muncul dalam proses belajar yang baru
menggantikan hasil belajar yang sebelumnya. Proses lupa ini terjadi secara
bertahap, sama seperti hasil belajar juga diperoleh secara bertahap melalui
serangkaian proses belajar yang berulang.
2.2.6 B.F. Skinner (1904-1980)
B.F. Skinner, seorang
Psikolog Harvard mengusulkan sebuah teori yang disebut dengan Operant Conditioning. Dalam istilah sederhana, pengkondisian operant Skinner adalah belajar
didasarkan pada konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku menimbulkan respon.
Dengan cara ini, perilaku dapat dikatakan diperkuat, dan hampir semua acara
dapat bertindak sebagai penguatan. Oleh karena itu, seperti dalam contoh
kata-kata yang stimuli dalam tingkat tinggi pengkondisian.
Skinner menganggap Reinforcement
sebagai faktor terpenting dalam
proses pembelajaran. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal
dan mengontrol tingkah laku. Operant Conditioning merupakan
suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat lebih kuat akibat Reinforcement langsung. Skinner menguji teorinya dengan
percobaannya terhadap tikus-tikus dalam sangkar, digunakan suatu
"diskriminative stimulus" (tanda untuk memperkuat respon) misalnya
tombol, lampu, pemindah makanan. Disamping itu digunakan pula suatu "Reinforcement stimulus, berupa makanan"
Reinforcement dalam teori
Skinner memiliki makna segala bentuk konsekuensi yang mengikuti pemunculan
suatu perilaku. Konsekuensi ini akan memperkuat kemunculan perilaku yang
diharapkan. Misalnya jika merpati memperoleh makanan sebagai akibat dari
mematuk kunci maka merpati akan berusaha untuk selalu mematuk kunci (frekuensi
mematuk kunci akan meningkat). Menurut Skinner, untuk dapat mendapatkan efektifitas yang baik, hal yang perlu dimodifikasi dalam penguatan harus
diberikan langsung setelah pemunculan respon yang diharapkan.
Setiap penguatan yang
memperkuat pemunculan respon yang benar disebut penguatan yang positif. Namun
ada juga jenis-jenis penguatan yang melalui penghilangan, justru memperkuat
pemunculan respon yang benar yang
disebut dengan penguatan negatif. Misalnya penguatan dengan pemberian test yang
mendadak kepada siswa. Test mendadak diberikan kepada siswa untuk meningkatkan
proses belajar siswa, jika test mendadak itu tidak diberikan lagi, dan
pemahaman siswa terhadap pelajaran terus meningkat maka test mendadak tersebut
berfungsi sebagai penguatan negatif.
Penguatan negatif
sering kali menghasilkan dampak pengiring berupa emosi yang dikenal dengan nama
anxiety (kecemasan) dan rasa takut.
Kecemasan dan rasa takut dapat diwujudkan secara operasional dengan hilangnya
perhatian dan minat terhadap kegiatan yang sedang berlangsung, atau secara
fisik pergi atau lari dari situasi yang dihadapi. Misalnya anak yang selalu
dimarahi karena tidak merapikan tempat tidurnya setelah bangun pagi, maka akan
merasa cemas jika orang tuanya tahu.
Penguatan positif
merupakan penguatan yang merangsang pemunculan respon yang benar, sedangkan
penguatan negatif memperkuat pemunculan respon yang benar melalui penghilangan.
Disamping penguatan positif dan negatif, ada juga hukuman. Hukuman menurut
Skinner melibatkan proses pengurangan bahkan penghilangan penguatan positif,
serta menambahkan penguatan negatif. Skinner menekankan bahwa hukuman dapat
menghasilkan tiga dampak yang tidak diharapkan, yaitu hukuman hanya bersifat
sementara dalam menghilangkan respon yang tidak diinginkan, hukuman dapat
menimbulkan perasaan yang tidak mengenakkan seperti malu, rasa bersalah, dan lain-lain,
dan yang terakhir, hukuman dapat menimbulkan pemunculan perilaku yang dianggap
mengurangi hadirnya stimulus yang tidak menyenangkan contohnya anak kecil
berpura-pura sakit karena tidak mau mengikuti upacara bendera dll. Secara umum,
hukuman tidak menghasikan perilaku yang positif. Oleh sebab itu, Skinner lebih
menganjurkan penguatan positif dan negatif daripada pemberian hukuman jika
ingin memperoleh respon yang benar.
2.2.6.1 Jenis-jenis Reinforcement
Menurut Skinner jenis-jenis Reinforcement ada 6 (enam) yaitu:
2.2.6.1.1 Positive Reinforcement : penyajian Reinforcement yang
meningkatkan probabilitas suatu respon.
2.2.6.1.2 Negative Reinforcement : pembatasan Reinforcement yang tidak
menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon
2.2.6.1.3 Hukuman: pemberian Reinforcement yang tidak menyenangkan misalnya, contradiction or reprimand. Bentuk
hukuman lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan (revoving a pleasant or reinforcing stimulus).
2.2.6.1.4 Primary Reinforcement : Reinforcement
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
fisiologis.
2.2.6.1.5 Secondary or learned Reinforcement : Reinforcement tingkat
lanjutan berupa pemberian materi pembelajaran
2.2.6.1.6 Modifikasi tingkah laku guru:
perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat kesenangan mereka.
2.2.6.2 Penjadwalan Reinforcement
Penjadwalan Reinforcement menurut Skinner ada 4 (empat) cara
diantaranya:
2.2.6.2.1 Fixed ratio schedule: yang didasarkan pada penyajian bahan
pelajaran, yang mana pemberi Reinforcement
baru memberikan penguatan respon
setelah terjadi jumlah tertentu dari respon.
2.2.6.2.2 Variable ratio schedule: yang didasarkan atas penyajian bahan
pelajaran dengan penguat setelah sejumlah rata-rata respon.
2.2.6.2.3 Fixed interval schedule : yang didasarkan atas satuan waktu tetap
di antara Reinforcement.
2.2.6.2.4 Variable interval schedule : pemberian Reinforcement menurut respon
betul yang pertama setelah terjadinya kesalahan-kesalahan respon.
Teori Skinner tidak
hanya mencakup penjelasan terhadap proses belajar sederhana, namun juga proses
belajar konfleks, yang dikenal dengan nama Shaping
yang dilakukan secara bertahap perancangan (manipulasi) stimulus yang
diskriminatif dan penguatan. Menurut Skinner, proses shaping dapat menghasilkan perilaku yang konpleks tidak memiliki
kemungkinan untuk memperoleh secara alamiah atau dilakukan dengan sendirinya. Shaping yang bekelanjutan dilakukan
untuk memperoleh perilaku kompleks, disebut dengan program menurut Skinner.
Kesimpulan yang
diperoleh Skinner setelah melakukan serangkaian percobaannya adalah bahwa:
1.
setiap langkah dalam proses
belajar perlu dibuat pendek-pendek, berdasarkan tingkah laku yang pernah
dipelajari sebelumnya,
2.
untuk setiap langkah yang pendek
tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati,
3.
penguatan harus diberikan sesegera
mungkin setelah respons yang benar dimunculkan,
4.
stimulus diskriminatif perlu
dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perempatan stimulus dan
peningkatan belajar.
5.
Anteseden dan perubahan prilaku
Lebih lanjut dinyatakan oleh Skinner bahwa selain Reinforcement, anteseden dalam teori Operant
Conditioning memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan petunjuk
apakah sebuah prilaku akan mendapatkan konsekuensi yang positif atau negatif.
Skinner membuat eksperimen dengan burung. Dalam eksperimennya tersebut
dijelaskan ketika lampu menyala maka burung akan mematukkan paruhnya untuk
mengambil makanan, Sebaliknya, ketika lampu mati burung tersebut tidak
mematukkan paruhnya. Dengan kata lain, dalam eksperimen tersebut burung telah
belajar menggunakan anteseden cahaya sebagai sebuah tanda untuk membedakan
kemungkinan konsekuen yang akan dia dapatkan ketikan dia mematuk. http://kliknet.web.id/2011/11/09/makalah-psikologi-belajar-%e2%80%93-teori-belajar-menurut-skinner/
diakses Rabu, 30 November 2011 jam 14.12 Wita.
2.3 Penerapan Teori Behaviorisme Dalam
Pembelajaran.
Teori psikologi belajar yang sangat
besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah teori behaviorisme. Seperti yang telah
dipaparkan di atas, teori ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behaviorisme
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif.
Konsep
stimulus diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang
tujuan, ruang lingkup. dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian
materi. Sementara itu, konsep respons diterapkan dalam bentuk jawaban siswa
terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil
karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian
atau interaksi antara stimulus dan respons dari Pavlov diterapkan dalam bentuk
pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun
kombinasi stimulus (perampatan dan atau diskriminasi stimulus – Pavlov).
Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi,
penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media
tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan
lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan
media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif menghasilkan dampak positif
yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara
terus-menerus. Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep
penguatan melalui teori yang dikemukakan oleh Thorndike yang diterapkan dalam
bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru
terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses
pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
Dalam
proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab
akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons
siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan
lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman,
nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa maka siswa cenderung
untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap
stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek,
dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak
mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin
banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian,
dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus
dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja entah itu dengan contoh,
gambar, media, mapun melalui beragam metode sama sekali tidak menjamin
pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam
suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita, bahwa latihan
bagi siswa menjadi penting nilainya dalam suatu proses pembelajaran. Dengan
demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk
berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya
untuk siswa berlatih.
Proses
pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan
kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi
yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, situasi di mana
perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi
ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses
pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat
dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada
saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang pangs, pada saat
siswa barn saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak
merasa siap untuk belajar.
Proses
pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan
yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk
tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus
dapat diukur sehingga 'perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai
akibat dari proses pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran, guru
menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang
khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan
pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal
ini merupakan bentuk penerapan konsep observable
behaviour dari Watson. Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai
hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu
proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat
diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang
ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Teori
Behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati,
diukur dan dinilai secara konkret yang lebih menekankan pada outcome. Premis dasar dari teori Behaviorisme
adalah stimulus dan respons. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar
anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar.
Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulus. Di dalam proses stimulus dan respons terdiri dari beberapa unsur,
yaitu dorongan (drive), stimulus atau
rangsangan, respons dan penguatan (reinforcement).
Hasil ilmu dan pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang menurut pandangan
Behaviorisme adalah merupakan hasil dari interaksi antara stimulus dengan respons. Teori Behaviorisme mengalami perkembangan dari
masa ke masa. Tokoh- tokoh teori ini diantaranya Petrovich Pavlov, Edward L.
Thorndike, John B. Watson, Clark Hull, Edwin R. Guthrie dan B.F. Skinner.
3.2 Saran
Mengingat mutu pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi
keberlangsungan individu maupun bangsa, maka seorang guru seyogyanya memiliki
kecakapan dalam mengelola pembelajaran. Terkait dengan penerapan teori Behaviorisme
dalam pembelajaran, seorang tenaga pendidik (guru) harus mampu mengelola hubungan
stimulus respons dengan baik agar hasil
belajar siswa dapat optimal yang nantinya memberi imbas positif terhadap
peningkatan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri
C. (2005). Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta : Rineka Cipta.
Marta, I Nengah. (2008). Modul Pengantar Pendidikan. Singaraja : Undiksha.
Winataputra, Udin S. dkk (2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.
Sumber Internet :
http://alkohol7.wordpress.com/2008/11/21/makalah-psikopen-teori-belajar/
http://kliknet.web.id/2011/11/09/makalah-psikologi-belajar-%e2%80%93-teori-belajar-menurut-skinner/
http://my.opera.com/a6us/blog/2010/03/26/teori-behavioristik-dalam-pembelajaran
http://nuraeni68.blogspot.com/2011/10/makalah-teori-belajar-bahavioristik.html
http://rohman-makalah.blogspot.com/2008/07/teori-belajar-akhmad-sudrajat-m.html
http://www.maziatul.com/2009/07/teori-belajar-behaviorisme-dan.html