Sejarah
mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah memontum penting dalam perkembangan
agama Hindu. Pada saat itu yang memegang tapuk kepemimpinan di wilayah Bali
adalah raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dengan permaisuri Mahendradatta
Gunapriya Dharmapatni. Agama berkembang begitu pesat, ini dibuktikan dengan
adanya banyak sekte pada zaman itu. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup
berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering
terjadinya persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi konfik secara
fisik. (Nurkancana, 1997 : 139). Persaingan
sekteis ini menyebabkan ketenteraman Bali menjadi tergangu. Kemudian, raja
Sri Dharma Udayana Warmadewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni
mengambil langkah politis atas keresahan
yang terjadi. Maka, diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba
mencarikan solusi dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian
mengundang semua pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan) yang diadakan di Batu Anyar
(sekarang wilayah Kab. Gianyar).
Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai
berikut :
1)
Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah
mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
2)
Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3)
Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu
di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat
memuja Tri Murti, juga difungsikan
untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur
wanita (pradana) sedangkan ruang di
tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru.
(Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).
Konsensus (kesepakatan)
tersebut merupakan wujud dari sinkretisme
sekte-sekte yang ada pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi
tentram. Masing-masing sekte saling menjaga toleransi antara satu dengan
lainya, ini berkat kesuksesan Mpu Kuturan sebagai pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan
yang mampu mengakomodir semua sekte Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte
yang pernah ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana,
Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha
(Buddha). (Goris dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut,
yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta.
1.
Sekte Siwa Shidanta
Sekte Siwa
Sidhanta merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan
akronim dari kata Sikara yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari
hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa
Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga dunia. (Nurkancana, 1997 :
134). Dari 2 buah deskripsi di atas kata Shidanta
merujuk pada sebuah kesimpulan atau
inti. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas kata Siwa Sidhanta berarti
kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaistik. Ajaran Siwa Sidhanta mengutamakan
pemujaan terhadap Tri Purusha, yaitu Parama
Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Penganut Siwa Sidhanta tetap
memuja Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya sesuai tempat dan fungsinya, karena
semua dewa-dewa itu merupakan manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda.
2. Sekte
Brahmana
Sekte
Brahmana adalah pemuja Dewa Api (Dewa Agni). Menurut kepercayaan Hindu Dewa Api identikkan dengan
Dewa Brahma ini karena perkembangan pemahaman theologi tentang dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih
menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna
menjadi dewa Wisnu dan beberapa resuffle
dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh
dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan
Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara,
Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte
Brahmana. (Sumber : http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html
diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.01 Wita).
Penganut Sekte Brahmana
banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara yang lebih banyak
didominasi dengan penggunaan sarana api. Salah satu ritual yang paling populer
dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa
Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana dalam Panca Yadnya secara nyata
dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual
agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, dipa dan api takep.
3. Sekte Resi
Resi
ini di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di
hutan. Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui
adanya tempat-tempat pertapaan
sebagaimana di Jawa, sehingga keberadaan Rsi itupun tidak jelas adanya.
Tetapi pada kenyataanya menunjukkan adanya Resi sebagai pedanda atau mereka
yang bertindak sebagai pendeta yang bukan berasal dari wangsa Brahmana, tetapi
pedanda Resi ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja.(Suhardana,
2008 : 114)
4. Sekte Sora
(Surya)
Sekte Sora (Surya)
menempatkan Dewa Matahari (Surya) sebagai dewa utama dalam pemujaan. Sistem
pemujaan Dewa Matahari disebut Surya
Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi
ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang
di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu
dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian
bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49). Bukti dari
kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya
adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra
tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute
Terjemahan :
Ya tuhan, Sinar Hyang
Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau.
Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih. Hamba memuja engkau
yang menciptakan sinar matahari berkilauan.
5. Sekte Pasupata
Sekte Pasupata juga merupakan sekte
pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya.
Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat
turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa
merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah
dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang
tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat
berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana
sehingga merupakan lingga semu. (Gunawan, 2012 : 48 ; Nurkancana, 1997 : 135).
6. Sekte Ganapatya
Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja Dewa Ganesha sebagai dewa
utama. Banyaknya patung-patung Ganesha yang ditemukan di Bali menunjukkan
betapa besarnya pengaruh sekte ini. Semua patung tersebut di buat pada zaman
kerajaan gelgel. Dalam kepercayaan
Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada
umumnya patung-patung beliau di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada
bahaya, misalnya di lereng-lereng gunung, di lembah maut, penyeberangan sungai
dan lain sebagainya. (Nurkancana, 1997 : 136). Setelah zaman Gelgel, banyak
patung Ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu
tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara
khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain. Kini banyak
masyarakat Hindu menstanakan arca Dewa Ganesha di depan rumah mereka sebagai
simbol penghalang mara bahaya. Konsepsi pelinggih Jero Gede yang ada di Bali disinyalir mengadopsi konsep Dewa Ganesha.
Di
Bali, Ada sebuah ritual khusus yang didedikasikan untuk menghormati Dewa
Ganesha yang disebut dengan Rsi Gana.
Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi
Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha
(Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai
Vignesvara (raja atas halangan).
Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari
berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai
landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru
(kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru
Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa
diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru
ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan
bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya
diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru
pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai
dasar kurban caru. (Sumber : http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html,
diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.35 Wita).
7.
Sekte Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang
memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura
Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini.
Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda)
juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu Sekte Wacamara
(sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sad Cakra (enam cakra), yaitu enam
lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini
yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012 :
49 ; Nurkancana, 1997 : 136).
Mada (mabuk-mabukan), Mamsa
(makan daging), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan
seperti menari dalam ilmu hitam) merupakan ciri-ciri dari sekte ini. Sehingga
dalam ritual pemujaan, bahan-bahan seperti daging, darah, arak dan berem
merupakan bahan yang sering digunakan oleh sekte ini. Bukti dari kristalisasi
sekte Bhairawa ke dalam Siwa Sidhanta yang masih dianut oleh umat Hindu di Bali
sampai saat ini adalah adanya Caru. Hal
unik, peninggalan sekte Bhairawa dalam bidang kuliner adalah masakan khas Bali
yaitu Lawar. Lawar adalah masakan yang berbahan
dari daging cincang, kelapa parut, racikan bumbu dan darah mentah yang diaduk
sedemikian rupa hingga menimbulkan tekstur warna merah pada parutan kelapa dan
memiliki cita rasa yang khas.
8.
Sekte Waisnawa
Sekte
Waisnawa adalah sekte yang memuja Wisnu sebagai dewa utama. Eksistensi sekte
ini di Bali dapat dilihat dari adanya konsepsi pemujaan terhadap Dewi Sri
(Sakti Dewa Wisnu). Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi
kebahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang
sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. (Gunawan, 2012
: 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti
berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh
wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari
Hara. Hari yang artinya Wisnu
yang memiliki wanita dan Hara (Siwa)
yang memilki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan
pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang
Nyepi. (Suhardana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya
bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte
Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi
yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara.
8.1 Sisi Upacara
Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur
Waisnawa ada pada penggunaan :
1)
Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang
dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna
hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini
menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2)
Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi
tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang
ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan
pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan
pada Dewa Wisnu.
3)
Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang
berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe
diikat dengan tali porosan, disusun
dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang
suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma
Wisnu dan Iswara.
4)
Gayah Urip, mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi
tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang
penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari sate
tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu
ditancapkan disebelah utara (Untram).
5)
Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah
disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6)
Banten Catur Rebah : pada banten ini salah
satunya menggunakan biyu lurut 4 buah,
diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7)
Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian
yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan
senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa
Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah
swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .
8.2 Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk
upacara seperti dibawah ini :
1)
Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama
subak yeh yang ditujukan kepada Dewa
Wisnu.
2)
Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara
berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen,
pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih
baru di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap.
Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3)
Upacara yang dilakukan pada saat
menanam padi, dilaksanakan pada sasih
kaulu, kesanga dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam, ikan serba hitam,
buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang
berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu. (Sumber : http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/,
diakses diakses Kamis 29 Maret 2012 Pukul 16.03 Wita).
9. Sekte Sogatha (Buddha)
Adanya sekte Sogatha atau Buddha di
Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Buddha tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam
stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan
hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan
sudah ada di Bali sejak abad ke-8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu,
arca Boddhisatwa Padmapani di Pura
Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. (Gunawan,
2012 : 49). Sekte inilah yang dalam perkembangan selanjutnya diakui oleh bangsa
Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang disebut agama Buddha.
Sumbangsih sekte ini dalam ritual
Hindu adalah penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut Pis Bolong dalam berbagai upacara yadnya. Penggunaan uang kepeng sebagai
sarana upacara Panca Yadnya antara
lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut
sedana, pakelem, kewangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang
kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Kata Pis Bolong secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat
bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan berupa
huruf-huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini berupa mantra-mantra yang mengagungkan
Siwa-Buddha serta adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.
Kesimpulan
Sebagaimana diketahui, pada masa silam
di Bali terdapat banyak sekte meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi,
Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). Kemudian
setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem
pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh sebagai
tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan
Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Kahyangan
Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman,
baik dalam bentuk pura atau tempat suci. Tiga dewa utama itu yang disembah
sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta (utpeti), pemelihara (stiti)
dan pelebur (pralina), namun dalam
praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista
dewata masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya
dalam acara Kramaning Sembah ataupun Surya Sewana para sulinggih setiap pagi.
Demikian juga Dewa Ganesha dipuja dalam upacara Rsi Gana sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual
yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh sekte
Bhairawa. Tidak lupa pula, komponen-komponen penyusun ritual yadnya juga mendapat pengaruh dari
masing-masing sekte. Adanya tirta dan
bija merupakan pengaruh dari sekte
Waisnawa, adanya komponen berupa api adalah pengaruh dari sekte Brahmana,
penggunaan pis bolong sebagai
komponen pelengkap upakara merupakan
pengaruh sekte Sogatha. Demikian pula
persembahan berupa daging dan darah dalam caru
adalah pengaruh dari sekte Bhairawa.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berkesimpulan
bahwa memanglah benar adanya kristalilasi ajaran sekte-sekte dalam ritual Panca Yadnya yang ada di Bali.
Kristalisasi ini bisa terjadi baik dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya. Sebagaimana sebuah warna
bagi pelangi, seperti itu pula ajaran sekte-sekte yang terintegerasi dalam
Hindu. Pelangi tidak akan indah bila hanya satu warna, apalagi bila
masing-masing warna mengakui dirinya paling indah. Pelangi itu indah bila warna
itu terpadu secara apik. Sejarah telah membuktikan bahwa, ego sektoral (ego sekteis) hanya akan mengantarkan
peradaban ke ambang perpecahan. Memanglah
tidak mungkin bila kita ingin memisahkan ajaran-ajaran sekte tersebut di atas
secara terpisah dan partial, mengigat ajarannya telah mengkristal dalam
kepercayaan masyarakat Hindu di Bali. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah mencari
tahu dari sekte mana sebuah kearifan ajaran itu berasal yang kemudian
berkristal dan memberikan warna indah bagi "pelangi" Hindu.
Daftar
Pustaka
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar
Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja (Tanpa Penerbit).
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak
Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar :
Bali Post
Suhardana, K.M. 2008. Tri Murti. Surabaya
: Paramita.
, 1994. Doa Sehari-hari Menurut
Hindu. Denpasar : Pustaka Manik Geni.
http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/
http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html
Raja Dharmaudayana Warmadewa dan Ratu Gunaprya Dharmapatni berkuasa di Bali pada akhir abad ke-10 hingga awal abad ke-11 M, karena pada abad ke-9 M, yang berkuasa masih leluhur beliau yaitu Sri Khesari Warmadewa.
BalasHapus