”Canang
sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal.
Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”. Canang sari yaitu inti dari
pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika
ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Berbicara
masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut
mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana
persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya
Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya adalah
keanekaragaman bentuk sesajen.
Banten adalah Weda, sama
halnya dengan mantra. Ketika umat tidak mampu merapalkan mantra Weda dengan
baik, sebagai bentuk bukti syukur umat dapat membuktikannya dengan menghaturkan
sesajen atau banten yang baik sesuai dengan ajaran Weda. Melalui banten inilah
sebagai penolong manusia menghubungkan antara yang dipuja dengan yang memuja
(Rai Sudarta, 2001:58).
Ida
Bagus Sudarsana dalam bukunya yang berjudul Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya
menyebutkan dalam pelaksanaan upacara harus ada tiga unsur yakni bunga, air dan
api, maka dalam pelaksanaan upacara kuantitas yang terkecil dari sarana yang
dibutuhkan adalah berupa sarana yang merupakan inti atau kanista yang disebut
dengan canang
Canang berasal
dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai
tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/Jawa Kuno (Sudarsana,
2010:1). Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian maksud dan tujuan
canang adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon
keindahan kekuatan Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Canang merupakan upakara yang penting bagi umat Hindu khususnya di Bali.
Canang
sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang
belum memahami maknanya. Canang dalam bahasa Jawa kuno awalnya berarti sirih,
sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor,
tembakau, dan buah pinang.
Di
Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya
yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah
pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para
tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara
di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu
Karena
dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud
sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi. Selain itu canang sari merupakan sarana
upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam Bhagawad
Gita IX.26, dikatakan
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tat aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Terjemahan
:
siapapun
yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji
buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang
berhati suci
Jika
dicermati petikan Sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan
canang sari merupakan sarana upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam skala
kecil, karena isi canang umumnya terdiri dari daun,bunga, buah, dan biji yang
semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Canang
dan upakara yang lain merupakan pengejahwantahan Weda yang lahir dari konsep
Yadnya, Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yakni Yaj yang berarti
korban pemujaan. Jadi, Yadnya berarti korban suci (Made Ngurah, 2005:147). Jenis
yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri
dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya.
Dalam
konteks ritual upacara inilah yang melahirkan konsep upakara. Upakara yaitu
bahan atau material yang akan menjadi wujud dalam persembahan itu. Berdasarkan
besar kecilnya upakara yang digunakan yadnya dibedakan menjadi tiga yaitu
nistha ( tingkat kecil), Madya ( tingkat menengah), Utama ( tingkat besar).
Walaupun terbagi menjadi tiga tingkatan namun dari segi kualitas ketiganya
tidak ada perbedaan, sepanjang dalam pelaksanaannya didasari dengan ketulusan
dan kesucian hati. Begitu pula dengan canang walau merupakan upakara yang
paling sederhana dibanding upakara yang lain namun dalam konteks yadnya, canang
tetap meupakan pengorbanan suci sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi. Arti dan makna simbolik itu terkandung baik dari bentuk
maupun bahan yang digunakan dalam pembuatan upakara tersebut yang
keseluruhannya merupakan simbol-simbol ketuhanan.
Sarana
upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka.
Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut
sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. Canang
sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap
sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap
kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang
sari dalam suatu Upakāra /bebanten.
Canang
sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun
inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap
bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk
persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu
makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu
memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana
Agung.
Tidak
itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan
catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta
uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu
adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti.
Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni
catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian
hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten
yang lain,
Komponen canang sari
:
- Daun janur sebagai alas;
- Porosan (sebentuk kecil daun janur
kering yang berisi kapur putih);
- Seiris pisang;
- Seiris tebu:
- Boreh miik (sejenis bubuk berbau
wangi);
- Kekiping (sejenis kue dari ketan yang
kecil dan tipis);
- Di atasnya diletakkan bunga
beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);
- sesari Pis Bolong atau uang
Makna
Filosofis Komponen dari Canang Sari?
1. Ceper.
Ceper
adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper
adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai
lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya,
Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan
wadag) ini. berbentuk segi empat juga merupakan simbol kekuatan "Ardha
Candra" (bulan).
2. Beras.
Beras
atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini
bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan
diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud
Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa
kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya
menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan
beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di
belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira
(badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat
manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.
3. Porosan.
Di
atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih,
pamor (kapur) dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih
Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali
menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus
kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita
menerima anugerah dan karunia Nya.
Sebuah
Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai
lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan
perbuatan).
- Daun sirih sebagai lambang warna
hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa
dari Sabda (perkataan),
- Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara
Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu
(perbuatan),
- Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa
Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep
(pikiran).
Suatu
kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan
tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri
Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu
aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan
terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya
.
4. Tebu
dan pisang.
Di
atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris
tebu, seiris pisang serta sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan
"Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali). Tebu atapun pisang memiliki
makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang
menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki
aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha
untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/
nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri
Kaya.
5. Sampian
Uras.
Setelah
tersebut diatas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk
bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari
kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini
memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
Sampian
uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya
terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan
Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat
manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan),
Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya
(kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala
( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat
manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda
kehidupannya.
6. Bunga.
Penataan
bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa,
harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya
menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke
Selatan.
- Bunga berwarna Putih (jika sulit
dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap
arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari)
Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar
memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala
niskala.
- Bunga berwarna Merah disusun untuk
menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar
memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan
Kewibawaan.
- Bunga berwarna Kuning disusun untuk
menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar
memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
- Bunga berwarna Hitam (jika sulit
dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk
menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari
Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar
memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala
bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga
adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang
bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam
kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan
hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan
7. Kembang
Rampai.
Kembang
rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang,
kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata
kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai
berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh
di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam
bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga
bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini,
tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan
tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua
dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya
kita memiliki kebijaksanaan.
Bunga
Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol
memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan
(Moksa). Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung /
Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
8. Lepa.
Lepa
atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang
baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan
dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh
setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah
prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk,
seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga
sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang
tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
9. Minyak
wangi.
Minyak
wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian
diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di
dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan
ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air
yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air,
sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya.
Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan
pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup
ini. Isi canang sari mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam lontar. Jadi,
canang sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi Weda yang kemudian
diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali.
0 komentar:
Posting Komentar