MATA KULIAH DARSANA
POKOK-POKOK AJARAN SAMKHYA
Sad Darsana
(enam filsafat Hindu) adalah wadah
dari filsafat Hindu yang dalam perkembangannya muncul filsafat Hindu yang lain
seperti Advaita dari Sri
Samkaracarya, Visistadvaita dari Sri
Ramanuja, Dvaita dari Sri Madhacarya,
dan lain-lain sebagai cabang dan rantingnya. Salah satu ajaran filsafat yang terkenal adalah filsafat Samkhya, ajaran ini dibangun oleh Maharsi
Kapila, beliau yang menulis Samkhyasutra.
Di dalam sastra Bhagavatapurana
disebutkan nama Maharsi Kapila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Samkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Samkhya yang kini dapat diwarisi adalah Samkhyakarika yang ditulis oleh Isvarakrsna. Ajaran
Samkhya ini sudah sangat tua umurnya, bahkan dikatakan merupakan
aliran filsafat tertua diantara aliran-aliran lainnya, dibuktikan dengan
termuatnya ajaran Samkhya dalam sastra-sastra Sruti, Smrti, Itihasa dan Purana.
Samkhya (juga ditulis "Sankhya") mencoba mengharmoniskan filsafat
kitab suci Weda
melalui alam pikiran rasional. Dengan refleksi berhati-hati, Samkhya mencoba menjelaskan catatan-catatan
sistematis
tentang proses evolusi kosmis alam semesta.
Istilah Samkhya berasal diadaptasikan dari kata “Sankhya” yang berarti angka untuk menghitung
prinsip-prinsip evolusi kosmis dengan cara analisis rasional. Dalam kaitan filsafat ini
dipergunakan sistem untuk mengajarkan pengetahuan diskriminatif yang
memungkinkan adanya perbedaan antara jiwa dan jasmani (benda-materi) yang
terdiri 25 kategori. (Pendit, 2007:107). Suatu penjelasan yang lebih dapat
diterima adalah bahwa kata “Sankhya”
berarti pengetahuan yang sempurna (samyag-jnana)
dan sebuah filsafat untuk mendapatkan pengetahuan yang demikian sudah
sepatutnya disebut “Sankhya”. Seperti
halnya aliran Nyaya Waisesika, Samkhya bermaksud menemukan pengetahuan
yang benar dan tepat untuk tujuan-tujuan praktis dalam mengakhiri kepedihan dan
penderitaan. Pemikiran ini memberikan pengetahuan tentang diri yang jelas lebih
tinggi nilainya dari apa yang telah dikemukakan oleh aliran-aliran filsafat
lainnya, kecuali Vedanta. Jadi dapat
dikatakan bahwa “Samkhya” berarti
pengetahuan metafisika murni tentang jiwa. Suatu metafisika dari realisme
dualistik. Sedangkan Nyaya dan Waisesika percaya akan adanya kenyataan
puncak dari banyak kesatuan atom, Manah
dan jiwa. Samkhya hanya mengakui
adanya dua jenis kenyataan puncak yaitu roh dan benda (Purusha dan Prakrti )
(Pendit, 2007:64).
Kata Samkhya juga berarti pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran
Samkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas
dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas
yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu Purusa (asas kejiwaan), bersifat kekal berjumlah banyak dan Prakrti (asas kebendaan) bersifat tidak
dapat dihayati, dan diamati, namum benar-benar ada. (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sad_Darshana,
Diakses 28 Pebruari 2012, Pukul 20.15 Wita)
Paparan Samkhya bukanlah semata-mata merupakan spekulasi, melainkan sesuatu
penjelasan yang logis berdasarkan prinsip-prinsip konservasi, transformasi, dan
hilangnya (pemborosan) energi. Aliran filsafat
Samkhya dipandang sebagai suatu upaya terpenting dalam wilayah kefilsafatan
Hindu. Sistem filsafat Samkhya
merupakan salah satu kelompok filsafat yang tergolong Astika, dalam ajarannya ingin secara metafisika mengemukakan
pokok-pokok ajarannya berkisar pada; Purusa,
Prakrti , Tri Guna,
penciptaan alam semesta dan bentuk evolusi penciptaan.
Purusa atau Jiwa
Purusa merupakan jenis kesadaran
tertinggi. Samkhya menyebut Purusa sama dengan roh/jiwa. Purusa bersifat Asanga (tak terikat dan merupakan kesadaran yang meresapi segala
dan abadi) (Maswinara,1999:42). Purusa
merupakan subyek dari pengetahuan dan 24 unsur lainnya merupakan
prinsip-prinsip alam yang merupakan obyek pengetahuan. Purusa adalah roh, ia bukan merupakan hasil atau produk. Ia adalah
subyek atau saksi yang bersifat : asanga
artinya tak terikat, merupakan kesadaran yang meresapi segala sesuatu dan
abadi, tanpa awal (Anadi) dan tanpa
akhir (Ananta) serta nyata (Sat). Purusa tunggal, statis dan tidak
berubah. Oleh karena Purusa adalah
kesadaran,
maka Purusa
adalah yang mengetahui dan Prakrti
adalah yang tidak sadar, yang diketahui. Purusa
tidak semata-mata sebuah substansi yang sifat sadar, tapi merupakan suatu
kesadaran murni yang menerangi dirinya sendiri, tidak berubah, tidak
disebabkan, meliputi segalanya, realitas yang kekal. Apapun yang diciptakan,
berubah, mati, hancur adalah prakrti dengan segenap evolusinya tapi bukan sang
diri. Adalah sangat bodoh kalau beranggapan bahwa sang diri adalah badan,
indra-indra, pikiran atau intelek dimana karena kebodohan ini purusa bingung
dan menganggap dirinya adalah obyek dari dunia ini. Dengan demikian ia akan
terikat dalam arus perubahan dan merasakan dirinya sebagai yang menderita dan
menikmati.
Samkhya
membuat lima argumentasi untuk membuktikan adanya Purusa sebagai berikut : (1) Kumpulan dari segala sesuatu yang ada
di dunia ini ada tujuannya yaitu demi sesuatu yang lain diluar dirinya. Artinya
bahwa semua obyek-obyek yang ada di dunia ini dimaksudkan adalah untuk
dimanfaatkan oleh seseorang atau sesuatu di luar dirinya sendiri. Dicontohkan
dengan “Tempat Tidur” dimana tempat tidur ini terdiri dari bagian- bagian yang
membentuknya, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tempat tidur ini dibuat
bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk orang lain yang akan tidur di atasnya.
Begitu pula “Dunia ini” terbentuk dari lima unsur-unsur kasar yang memiliki
tujuan lain diluar dirinya yaitu sesuatu yang lain yang berbeda dengan
obyek-obyek itu sendiri, karena obyek-obyek itu tidak dapat menikmati
keberadaannya sendiri, ataupun obyek material yang satu tidak akan dapat
menikmati obyek material yang lain. Maka dari itu harus ada penikmat dari obyek
itu yang sadar yaitu Sang Pribadi (Roh) yang dikenal sebagai Purusa. (2) Semua obyek yang dikenal
memiliki unsur Tri
Guna (Sattvam,
Rajas, Tamas). Prakrti berpotensi
atau memiliki esensi yang cenderung menderita atau bahagia maka itu tak mungkin
ia menjadi penikmat dari dirinya sendiri. Harus ada subyek yang mengenal,
yang mengatasi realitas yaitu suatu Roh yang bebas dari tiga Guna
itu. Itulah Purusa. (3) Obyek-obyek
yang ada di dunia ini termasuk pikiran, panca indra dan intelek adalah sesuatu
yang tidak sadar. Mereka itu semua tidak akan dapat berfungsi tanpa pengarahan
dari sesuatu yang memiliki kecerdasan untuk mencapai sesuatu tujuan. Harus ada
sesuatu yang memiliki kekuatan, suatu kesadaran murni yang mampu mengkoordinir
semua pengalaman-pengalaman yang ada. Sesuatu itu adalah Purusa. (4) Prakrti yang
merupakan sesuatu yang dinamis yang dapat menghasilkan sesuatu berupa
produk-produk tetapi produk-produk itu tidak memiliki kecerdasan. Mereka itu
semua tidak akan mempunyai makna apapun kalau tidak ada suatu kekuatan
kecerdasan yang menikmati atau memanfaatkannya maka dari itu harus ada sesuatu
yang dapat mengalami produk-produk dari Prakrti
itu yang memilki kecerdasan ia itu adalah Purusa. (5) Hidup ini mempunyai tujuan,
tujuan itu adalah pembebasan (Moksha)
dari penderitaan. Harus ada sesuatu yang berusaha menuju kepada pembebasan itu
yang mengimplikasikan sesuatu yang memiliki kwalitas yang berbeda dengan Prakrti. Oleh karena bila hal itu adalah
Prakrti maka apapun yang dicapai oleh
Prakrti akan membawa pada
penderitaan itu sendiri. Bila tidak ada sesuatu yang berbeda dengan Prakrti yang tidak dihasilkan
oleh proses evolusi, bagaimana mungkin pembebasan itu dapat dicapai?. Lagipula, bila yang ada hanya Prakrti maka konsep tentang pembebasan itu sendiri dan
keinginan untuk bebas yang ada pada setiap manusia seperti apa yang dikatakan
oleh para resi dan kitab-kitab suci adalah sesuatu yang tidak bermakna. Maka
dari itu harus ada sesuatu yang bukan Prakrti,
suatu prinsip kesadaran untuk
mencapai pembebasan itu. Sesuatu itu adalah Purusa.
Kalau begitu apa hekekat dari pribadi atau subyek yang berkesadaran itu?. Yang pasti ia bukan
badan, ia bukanlah produk dari unsur-unsur. Ia juga bukan seperti halnya
indra-indra yang sekedar merupakan alat-alat saja yang pada hakekatnya bukan si
pemakai alat. Purusa bukanlah Buddhi, karena Buddhi-pun
tidak memiliki kesadaran. Pribadi itu adalah Roh Murni yang berbeda dengan
badan atau Prakrti. Hakekat Purusa
adalah tidak berubah, tidak bergerak, tidak berpindah. S.Radhakrishnan menyimpulkan
bahwa Purusa yang dimaksud oleh Samkhya adalah seperti halnya konsep Atman dalam Upanishad
yang mengatakan bahwa Purusa itu
adalah tanpa permulaan tanpa akhir, tanpa kwalitas, halus sekali, omnipresent, abadi, mengatasi
indra-indra, mengatur pikiran, melebihi kecerdasan, di luar ruang dan waktu
serta kausalitas. Ia tidak diciptakan, tidak menciptakan abadi dan sempurna.
Teori Samkhya menyatakan Purusa atau
jiwa/roh sebagai berikut:
a. Roh itu ada karena ia menjelma.
b. Ketidakadaannya tidak dapat
dinyatakan dengan apapun juga
c. Roh itu berbeda dengan indriya, pikiran dan akal. Ia adalah
semangat kesadaran selalu menjadi subjek pengetahuan, tidak pernah menjadi
obyek pengetahuan.
d. Bersifat langgeng, tidak pernah ada
aktivitas, tidak mengalami perubahan tempat maupun bentuk.
e. Ia tanpa sebab, menyusupi segala,
namun bebas dari segala ikatan dan pengaruh dunia obyek.
Walaupun
ada kesepakatan umum tentang keberadaan jiwa, namun ada perbedaan opini yang luas
tentang sifatnya. Beberapa Carvaka
atau kaum materialis mengidentifikasikan jiwa dengan badan kasar, yang lain
dengan indra-indra, beberapa menyebutnya sebagai hidup badan yang lain
mengidentifikasikannya dengan Manah.
Kaum Budha dan beberapa kaum empiris menganggap
jiwa itu identik dengan arus kesadaran. Nyaya-Vaisesika
dan Prabhakara Mimamsaka berpendapat
bahwa jiwa itu adalah suatu substansi tak-sadar yang dapat memperoleh atribut
kesadaran di bawah kondisi tertentu. Sebaliknya Battha Mimamsaka berpendapat bahwa jiwa itu adalah suatu kesatuan
yang sadar yang terutama tersembunyi oleh ketidak-tahuan, sebagaimana terlihat
dari pengetahuan yang tidak sempurna dan tidak seimbang yang dimiliki manusia
tentang jiwa mereka sendiri. Kaum Advaita
Vedanta berpendapat bahwa jiwa itu adalah kesadaran murni yang kekal yang
kehadirannya penuh kebahagiaan nan mulia atau Saccidananda Svarupa. Jiwa itu adalah satu dalam semua raga dan
bebas secara abadi dan itelegensia yang swa-sinar pencerahan.
Menurut Samkhya, jiwa itu berbeda dengan raga
dan indra, manas maupun intelek (Buddhi).
Tidak ada apapun berasal dari dunia objek. Jiwa itu bukan otak maupun sistem
saraf dan bukan juga kumpulan keadaan sadar. Jiwa itu adalah roh sadar yang
selalu jadi subjek selaku ilmu pengetahuan dan tidak akan pernah menjadi objek
pengetahuan.
Keberadaan
jiwa itu sebagai suatu subjek yang transendental dari pengalaman dibuktikan
oleh Samkhya dengan beberapa
argumentasi sebagai berikut :
1. Objek-objek dunia seperti meja,
kursi dan sebagainya yang terdiri dari bagian-bagian adalah alat untuk tujuan
lain-lain makhluk hidup. Makhluk-makhluk ini yang bertujuan dilayani oleh
objek-objek dunia ini haruslah tidak sama dan sangat berbeda dengan mereka
semua. Artinya, mereka tidak dapat dikatakan sebagai benda-benda tanpa
kesadaran, terdiri dari bagian-bagian objek fisik. Jika demikian keadaannya
makhluk-makhluk ini akan menjadi alat untuk tujuan yang lain dan tidak berhenti
pada diri mereka sendiri. Mereka haruslah jiwa yang sadar dimana semua objek
fisik adalah alat untuk tujuan mereka.
2. Semua objek material termasuk manah
dan intelek harus dikendalikan dan diarahkan oleh suatu prinsip cerdas agar
mereka mampu mencapai apapun atau merealisasikan tujuan. Sebuah mesin atau
mobil akan bekerja dibawah tuntunan seseorang. Jadi haruslah ada suatu jiwa
yang mengatur kegiatan Prakrti dan poduk-produknya. Semua objek dunia mempunyai sifat
kenikmatan, kesedihan, dan ketidak-pedulian dan ketidak-acuhan. Tetapi
kenikmatan dan kesedihan hanya akan berarti kalau dialami oleh sesuatu yang
berkesadaran. Jadi, pasti ada subjek-subjek atau jiwa yang sadar yang merasakan
kenikmatan dan kesakitan itu.
3. Beberapa orang di dunia ini
setidaknya berusaha dengan tulus untuk memperoleh kelepasan akhir dari semua
kesengsaraan ini. Hal ini tidak mungkin terjadi pada dunia fisik karena oleh
sifatnya sendiri, dunia fisik menimbulkan kesengsaraan dan daripadanya tidak melepaskannya. Jadi pasti ada substansi
bukan material atau jiwa yang transendental di atas susunan fisik ini. Kalau
tidak demikian, maka konsep pelepasan atau penyelamatan dan kemauan untuk lepas
atau dilepaskan (Moksha) sebagaimana
yang ditemukan pada orang suci dan juru selamat kemanusiaan akan tidak berarti
apa-apa.
Mencermati
pengamatan terhadap adanya purusa atau roh seperti diungkap di atas, dan
sebagaimana dikutip dalam Sankhyakarika
dan Sankhyatattwakaumudi menunjukkan
sudut pandang bahwa Purusa menganut
prinsip pluralisme, merupakan subyek pengetahuan, sadar, bukan efek bukan pula
penyebab, mereka tidak berubah dan tak bergerak, tidak aktif, namun mengetahui
atau subyek sadar.
Prakrti
Samkhya dalam ajarannya menerima dua
ultimasi yakni Purusa dan Prakrti, sebagai dua asas rohani dan
kebendaan. Dari kedua asas inilah terciptanya alam semesta. Teori Samkhya tentang sebab asal muasal benda
menimbulkan ajaran bahwa Prakrti adalah sebab terakhir dari alam
semesta. Ia tidak memiliki sebab, tetapi merupakan sebab dari semua akibat. Prakrti
(bahasa Sansekrta) terdiri atas prefiks
“pra” berarti “sebelum” atau
“pertama”, dan dari akar kata “kri” berarti “membuat” atau “menghasilkan”. Di sini “Prakrti” berarti yang ada sebelum segala sesuatunya dihasilkan/disebabkan, sumber
pertama dari semua benda, bahan asal darimana semua benda menyebar dan ke dalam
mana semua benda pada akhirnya akan kembali. Ia disebut juga Pradana (pokok) karena semua akibat
ditemukan padanya dan ia juga merupakan sumber dari segala yang ada.
(Maswinara, 1998:42).
Prakrti dari
kata Pra yang artinya sebelum dan Kri yang artinya membuat. Prakrti artinya sebelum
membuat, sebelum penciptaan. Ia merupakan prinsip awal dari segala sesuatu.
Prinsip mula-mula yang berkembang dan menghasilkan sesuatu yang lain. Ia juga
tanpa awal (Anadi) dan tanpa akhir (Ananta) dan nyata (Sat). Prakrti adalah azas
jasmani dari alam semesta yang sangat luas, kompleks dan terdiri dari
unsur-unsur yang selalu berubah. Ia adalah basis dasar dari alam semesta yang
empiris ini. Sistem filsafat Samkhya
menunjukkan bahwa keseluruhan dari dunia ini, termasuk badan, pikiran dan
indra-indra ditentukan dan dibatasi serta dibentuk oleh akibat-akibat tertentu.
Prakrti atau asas bendani adalah
sebab pertama alam semesta, yang terdiri dari unsur-unsur kebendaan dan
kejiwaan atau psikologis. Berbagai aliran filsafat seperti Carvaka, Buddhisme, Jainisme, Nyaya dan Vaisesika berpendapat bahwa atom tanah, atom air, atom api, dan
atom udara adalah penyebab materiil dari dunia ini, sedangkan menurut Samkhya atom-atom tidak dapat
menghasilkan benda-benda alam yang sangat halus seperti pikiran, intelek dan
keakuan yang palsu. Oleh karena itu kita harus mencari penyebab dari
benda-benda kasar dan aspek-aspek terkecil yang membentuknya, dan jika kita
memeriksa kejadian dalam alam ini, maka dalam kenyataannya penyebab lebih halus
atau lebih kecil dari akibatnya, bagaimana mungkin penyebab itu melingkupi
akibatnya yang lebih besar?.
Keberadaan Prakrti sebagai suatu
penyebab maha halus dari dunia dikenal melalui kesimpulan berdasarkan hal-hal
berikut:
1)
Semua objek dari
dunia, mulai dari intelek sampai pada tanah adalah terbatas dan saling
bergantung satu sama lain. Jadi mestinya ada suatu sebab yang tak terbatas dan
bebas untuk keberadaannya. Yang bersifat terbatas itu adalah Prakrti.
2)
Benda-benda yang
ada di dunia memiliki ciri yang sama, yang karena itu mampu menghasilkan
kenikmatan dan kegembiraan, kesedihan dan ketidak pedulian. Karena itu mereka
tentu mempunyai sebab atau sumber yang sama karena memiliki tiga sifat yang
sama. Sumber itu adalah Prakrti.
3)
Semua akibat
berlangsung dari aktivitas suatu sebab yang mengandung potensi di dalamnya.
Dunia objek-objek adalah akibat haruslah secara implisit berisikan suatu
penyebab dunia.
4)
Suatu akibat
muncul dari penyebabnya dan kembali dilebur ke dalamnya pada saat kehancuran.
Ini berarti suatu akibat yang ada dimanifestasikan oleh suatu sebab dan
kemudian diserap kembali kedalam yang tersebut belakangan.
Jadi objek
khusus pengalaman haruslah timbul dari penyebab khususnya, dan ini kembali dari
penyebab umum yang lain, demikian seterusnya., sampai tiba pada penyebab
pertama dunia ini. Secara sebaliknya, pada saat kehancuran, unsur-unsur fisik
harus dilebur menjadi atom, atom menjadi energi dan demikian seterusnya,
sehingga seluruh produk terleburkan ke dalam Prakrti yang tak termanifestasikan dan abadi. Jadi, didapatkan satu
penyebab yang tak terbatas, tak terkondisikan, meresapi semuanya, dan mutlak
dari dunia keseluruhannya termasuk
segala sesuatunya kecuali jiwa itu. Inilah matrik sebab akibat dunia non jiwa yang abadi dan tak terpisahkan,
yang diberi macam-macam nama oleh Samkhya seperti Prakrti , Pradhana, Avyakta dan sebagainya.
Apabila Tri Guna dikaitkan dengan teori Samkhhya, maka Prakrti dikatakan
sebagai persatuan atau terdiri atas tiga Guna (sifat) yang berada dalam keadaan seimbang
dan terkendali (Samyavasta). Ketiga
guna tersebut adalah Sattwa Guna, Rajas
Guna, dan Tamas Guna. Di sini dikatakan bahwa guna itu
berarti elemen pembentuk atau komponen dari Prakrti
dan bukan merupakan sebuah atribut atau sifat. Jadi, dengan guna dari Sattwa, Rajas dan Tamas, unsur-unsur dari substansi utama dapat dimengerti yaitu Prakrti,
ketiganya ini (Sattwa, Rajas dan
Tamas) merupakan elemen baik dari Prakrti, substansi tertinggi maupun objek-objek biasa di dunia
ini.
Sattwa adalah elemen Prakrti
yang memiliki sifat nikmat dan ringan (Laghu),
terang atau bersinar (Prakasaka).
Manifestasi objek adalah kesadaran (Jnana),
kecenderungan terhadap manifestasi sadar dalam indra, pikiran, dan intelek, kecemerlangan sinar,
dan kekuatan merefleksi di cermin atau pada kristal, semuanya itu berkat
pekerjaan unsur Sattwa dalam
membentuk benda. Demikian pula kenikmatan dan kegembiraan dalam berbagai
bentuknya, seperti kepuasan, gembira, bahagia, dan sebagainya dihasilkan oleh
sesuatu di dalam pikiran (Manah)
melalui kekuatan sattwa yang melekat
di dalam keduanya.
Rajas adalah prinsip kegiatan sesuatu (benda). Ia selalu bergerak
dan membuat suatu yang lain bergerak. Pada sisi pengaruh terhadap kehidupan
manusia, rajas adalah penyebab dari
semua pengalaman sedih dan pahit dan dia sendiri bersifat sedih. Ia membantu unsur-unsur
Sattwa dan Tamas, yang tak aktif dan tanpa gerak untuk melaksanakan fungsi
mereka.
Tamas adalah prinsip kepasifan dan kenegatifan dalam benda atau
objek. Ia bertentangan dengan sattwa
karena berat (Guru) dan dalam
mengahadapi manifestasi objek (Varanaka).
Ia jga menolak prinsip rajas atau aktifitas dalam arti ia menahan gerak benda.
Ia melawan kekuatan manifestasi dalam Manah
(pikiran), intelek dan lain-lain benda dan oleh karena itu menghasilkan
kebodohan atau ketidaktahuan dan kegelapan yang membawa kepada kebingungan dan
kekacauan.
Dalam hal
hubungan ketiga guna ini berkaitan dengan terbentuknya dunia ini, dapat diamati
bahwa hubungan ketiganya senantiasa dalam keadaan konflik dan juga saling
bekerja sama. Mereka selalu bersama-sama dan tak dapat dipisahkan satu dari
yang lainnya. Sama halnya dengan seperti minyak, sumbu dan api yang secara
relatif saling bertentangan, bekerjasama untuk menghasilkan cahaya lampu,
demikianlah ketiga Guna itu
bekerjasama untuk menghasilkan objek-objek dunia, walaupun masing-masing
memiliki kualitas yang berbeda dan bertentangan. Jadi ketiga-tiga guna hadir di
setiap objek dunia, besar atau kecil, halus atau kasar. Tetapi masing-masing
berusaha menekan atau mendominasi dua lainnya. Sifat objek ditentukan oleh guna
yang berkuasa, sedangkan dua yang lainnya berada dalam kedudukan bawahan.
Klasifikasi objek ke dalam kategori baik, buruk, dan netral atau murni, tidak
murni dan netral, atau inteligen (cerdas), aktif, dan malas, mengacu pada
kelebihan dari Sattwa, Rajas, dan Tamas masing-masingnya.
Sifat lain
dari guna itu adalah bahwa ketiganya berubah secara konstan. Perubahan atau
transformasi merupakan yang paling inti dari guna itu dan ketiganya tak dapat
tidak berubah bahkan untuk sekejap saja pun. Ada dua macam transformasi yang
dialami Guna. Selama waktu Pralaya atau pemusnahan dunia, ketiga Guna itu berubah, masing-masing dalam
dirinya sendiri tanpa menggangu yang lainnya. Pada tahap ini guna itu tidak
dapat menghasilkan apapun, karena mereka tidak saling bertentangan maupun
bekerjasama satu dengan yang lainnya. Tak satu pun objek di dunia ini timbul
kecuali jika ketiga guna ini berkombinasi dan salah satunya mengungguli dua
yang lainnya. Ini adalah keadaan seimbang (Samyavastha)
bagi ketiga Guna yang oleh Samkhya dinamakan Prakrti. Jenis transfortasi lainnya terjadi apabila salah satu dari
ketiga guna tersebut mendominasi dua
lainnya dan menjadi bawahannya. Apabila ini terjadi maka akan diperoleh
produksi objek-objek khusus. Transformasi demikian disebut Virupparinama atau perubahan
menjadi heterogen, beragam yang merupakan titik awal evolusi dunia.
Penciptaan
Alam sebagai fenomena merupakan
salah satu aspek bahasan darsana. Sebagai suatu
untuk menunjukkan sistem filsafat India (Hindu), yang terbagi atas dua
kelompok yaitu : Astika dan Nastika. Dalam mengungkap keberadaan
alam semesta, sistem filsafat Samkhya memegang peranan
penting di dalam kancah kefilsafatannya diantara sistem-sistem filsafat india
(Hindu) lainnya. Secara metafisika, Prakrti hanya tergantung
pada aktivitas dari unsur pokok gunanya sendiri. Ia terbentuk dari tiga Guna yang tidak pernah terpisah, saling
menunjang satu sama lain, dan saling bercampur (heterogen). Hanya dalam perubahan
heterogen dan ketika Guna Rajas bergetar dan
membuat Guna Sattwa dan Guna Tamas bergetar
pula sehingga keseimbangannya terganggu, maka terjadi evolusi. Ketika prinsip Rajas aktivitasnya bergetar dan membuat Sattwa dan Tamas bergetar,
maka proses penciptaan tidak dapat dihindari. Evolusi dimulai merupakan hasil
dari suatu gerak atau perkembangan dari sesuatu, ajaran filsafat Samkhya mengatakan bahwa evolusi terjadi membantu tercapainya tujuan Purusa. Berkembangnya Prakrti tiada lain karena Purusa yang
mempengaruhi tiga Guna itu, ibarat
minyak, api dan sumbu, demikian hubungan tiga guna yang ada pada Prakrti.
Ketiga guna yang membentuk Prakrti tak pernah terpisah, selalu menyatu, namun saling bertentangan satu
sama lain. Mereka berada pada setiap benda, dalam komposisi dan intensitas yang
berbeda. Hakekatnya menentukan kadar benda dan temperamen manusia.
Tiga Guna dalam keadaan seimbang dan terkendali maka belum terjadi
penciptaan. Ini bukan berarti tidak ada aktivitas dari Tri Guna tersebut. Ada kecendrungan dari tiga Guna itu untuk saling mempengaruhi, bertahan dan saling menggangu.
Artinya dalam beraktifitas, akan dapat menyebabkan suatu keadaan tegang dan terguncang,
masing-masing guna berupaya untuk mengatasi kekuatan guna yang lainnya. Ketika
terjadi penyatuan ketiga guna dapat berhubungan dengan Purusa, maka terjadilah secara evolusi objek-objek yang lebih nyata.
Adanya saling mempengaruhi Guna-Guna terdapat
dalam Prakrti, maka Prakrti mengalami perkembangan pula. Pengembangan itu akan lebih nyata
menjadikan adanya evolusi alam semesta apabila Prakrti saling
berhubungan dengan Purusa. Evolusi tidak akan terjadi apabila hanya Purusa yang aktif. Tidak juga
karena Prakrti, karena Prakrti tanpa kesadaran. Hubungan Prakrti dan Purusa yang mengandung Tri Guna yang saling
berinteraksi satu sama lain menyebabkan berkembangnya unsur penyusun tubuh
manusia maupun alam semesta beserta isinya terjadi, yang keseluruhannya terdiri
dari 25 prinsip atau Tattwa atau
asas. Mereka memperlihatkan kerjasama untuk mencapai tujuannya, yakni
terciptanya alam semesta ini.
Ketika ketidakseimbangan dari ke tiga Guna tersebut, yang ada dalam Prakrti
sebagai akibat pengaruh Purusa, maka memunculkan perwujudan atas evolusi. Dengan kata lain Prakrti berkembang karena pengaruh Purusa.
Mahat adalah sebagai yang paling awal muncul ketika
adanya perhubungan yang harmonis antara Purusa dan Prakrti. Mahat yang menjadi benih alam semesta ini.
Mahat dari segi psikologi disebut Buddhi, apabila dihubungkan dengan azas kosmis, maka Buddhi adalah azas
kewajiban namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran, ia yang halus dari segala proses
kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu
yang diajukan oleh indriya yang lebih rendah, namun Buddhi bukan juga roh atau Prakrti yang bersifat kebendaan. Sebagai asas kejiwaan atau psikologi, Buddhi memiliki sifat Jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, Wairagia/tidak bernafsu, dan Aiswarya/
ketuhanan).
Setelah Mahat muncul Buddhi dan kemudian Ahamkara. Ahamkara yakni asas kepribadian atau
yang menciptakan kepribadian, sifatnya keakuan (Abhimana) dan asas yang menimbulkan individu-individu. Fungsinya
merasakan rasa aku (ego), maka dengan Ahamkara
sang diri merasa dirinya mampu bergerak, berkeinginan dan merasa memiliki.
Ketika sampai pada evolusi ahamkara inilah, kemudian Prakrti berkembangan menuju
dua arah yakni :
a.
Perkembangan ke
roh kejiwaan
Manas, sebagai asas kejiwaan yang pertama, manas merupakan pusat
indrya lainnya ketika menikmati kenyataan di luar badan jasmani manusia. Ketika
pengamatan terjadi, manas bertugas mengatur rangsangan-rangsangan indrya,
sehingga menjadi petunjuk yang diteruskan kepada Ahamkara dan Buddhi. Tugas lainnya adalah meneruskan kehendak kepada peralatan indrya
yang lebih rendah. Ahamkara mampu
memberi perintah kepada organ-organ kegiatan (Karma Indrya) yang ada pada badan manusia, karena sifatnya lebih
menonjol. Kemudian muncul Panca Buddhindrya/Panca
Jnanendrya (penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasa, dan peraba). Dilanjutkan dengan lahinya Panca Kamendrya, yakni indrya untuk berbuat seperti daya bicara, memegang,
berjalan, daya untuk membuang kotoran, dan daya untuk membuang sperma.
Kesepuluh indrya inilah yang tidak dapat dilihat, namun tetap ada pada tubuh
manusia. Melalui indrya-indrya pada tubuh manusia dapat mengamati objek-objek
yang ada di luar dirinya.
b.
Perkembangan ke
arah keberadaan/ jasmani.
Dalam perkembangan ini melahirkan asas dunia/alam yang ada di luar
diri manusia. Azas ini adalah Panca Tan Matra (lima unsur halus)
yaitu sari benih, rasa, suara, sentuhan warna, dan bau. Sifatnya sangat halus
sangat sulit diamati dengan mata biasa. Evolusi berikutnya adalah lahirnya
unsur-unsur kasar yakni Panca Maha Bhuta,
yang menjadikan alam semesta beserta segala isinya. Penggabungan antara
unsur-unsur yang halus inilah menimbulkan adanya unsur-unsur Panca Maha Bhuta, proses pengembangan setelah penggabungan itu
adalah sebagai berikut:
1)
Unsur suara
menimbulkan Akasa (ether).
2)
Unsur suara + raba menimbulkan Vayu (udara)
3)
Unsur suara +
raba + warna melahirkan Agni (panas).
4)
Unsur suara +
raba + warna + rasa melahirkan Apah (air)
5)
Unsur suara + raba + warna + rasa + bau melahirkan Prthivi (tanah).
Dari semua anasir kasar dan berkembanglah alam semesta beserta segala isisnya.
Hanya saja perkembangan itu tidak menimbulkan asas-asas baru lagi
seperti perkembangan Mahat, Ahamkara, dan Manas. Tahap berikutnya tidak sampai disitu saja. Yang telah
tercipta memerlukan penggerak atau asas, yakni roh yang menjadi saksi dan menikmati
alam ini. Evolusi Prakrti menjadi
alam semesta memungkinkan roh menikmati kebahagiaan dan penderitaan sesuai dengan
baik buruk penderitaannya. Terjadilah kehidupan atau kejadian ini yang juga
disebut Bhawa (ada) merupakan suatu
kejadian sebagia akibat dari terjadinya hubungan antara dua hakekat (Purusa dan Prakrti). Ajaran ini
pada mulanya dijumpai didalam kitab Reg
Veda pada bagian Purusasukta dan Nasadiasukta. Kemudian ajaran ini ditafsirkan dalam ajaran filsafat Samkhya oleh Rsi Kapila (Pudja,
1985:181). Dalam Paninisutra I.4.30. mengatakan
bahwa Prakrti adalah sebagai aspek
alam yang merupakan unsur dari mana segala sesuatu ciptaan ini dijadikan alam
semesta ini atau untuk menciptakan manusia.
Proses terjadinya alam semesta ini merupakan Parmana (proses evolusi) yang berkembang menjadi suatu kenyataan
yang ada, suatu perubahan besar dari tidak ada (Asa) menjadi yang ada (Sat),
atau perubahan dari wujud yang satu kedalam wujud yang baru atau dari Abhawa menjadi Bhawa. Perkembangan Prakrti
menjadi alam semesta merupakan perkembangan yang terakhir. Dalam kondisi ini
terjadi berbagai perubahan yang senantiasa terjadi saling bergantian di dalam batas-batas tertentu.
Misalnya sebatang pohon yang tumbuh lalu mati dan dikembalikan kepada anasir unsur-unsur yang
membentuknya (Panca Maha Bhuta). Namun
perkembangan yang pertama dari Mahat (unsur
intelek/kemauan) sampai dengan unsur/benih kasar tetap ada disepanjang perputan
masa, dan hanya akan dipisahkan pada akhir perputaran masa (Kalpa). Ketika terjadi peleburan alam semesta, hasil–hasil
perkembangan Prakrti pada masa
perkembangan pertamayang mendahuluinya akan kembali dengan pergerakan yang
berlawanan, dan akhirnya masuk ke Prakrti.
SIMPULAN
Samkya memiliki tiga sifat yang mendalam yaitu dualistis, realistis dan pluralistis.
Samkya dikatakan memiliki sifat dualistis, dimana ia menyusup seluruh dunia
ini dan saling berperan kedua prinsip tinggi yaitu antara jiwa dan materi utama
yaitu (Purusa dan Prakrti). Prakrti dikatakan sebagai penyebab akhir dari dunia ini termasuk
benda-benda fisik, dan produk non fisik seperti (Manah,
Buddhi dan Ahamkara). Ia bersifat selalu berubah-ubah
tetapi buta dan tanpa akal. Namun dalam kategori Purusa, ia termasuk suatu pluralistis jiwa yang merupakan prinsip
kesadaran murni yang kekal tidak aktif dan tidak berubah-ubah. Begitulah antara
Purusa dan Prakrti berhubungan dimana
samkya mengatakan bahwa hanya dengan kehadiran Purusa saja sudah cukup untuk mengerakkan Prakrti bertindak, walaupun ia sendiri tetap tinggal tanpa
bergerak-gerak.
Sejauh
tujuannya yang praktis untuk mencapai kebebasan dari penderitaan dimaksud
pemikiran Samkya ini sama baiknya dengan
pemikiran-pemikiran lainnya dan masing-masing mendorong para penganutnya yang
religius untuk mereleasikan kebajikan tertinggi dari hidup mereka, yaitu
kelepasan (Moksha). Hubungan sebab akibat tentang dualisme Prakrti dan Purusa,
menurut Samkya eksistensi Prakrti melalui penggunaan prinsip hubungan sebab
akibat. Teori yang mengatakan akibat sudah ada sebelumnya dalam sebab merupakan
pusat ciri filsafat Samkya.
DAFTAR PUSTAKA
Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem
Filsafat Hindu (Sarwa Darsana Samgraha). Paramita. Surabaya.
Musna, I Wayan Drs. 1986. Pengantar
Filsafat Hindu Sad Dharsana. CV Kayu Mas. Denpasar.
Raka, Ida, Bagus, Drs, dkk. 2000.
Penuntun Pelajaran Agama Hindu Kelas III. Singaraja.
Tim Guru Agama Kelas III SMU-SMK
Kabupaten Buleleng. 2002. Pendidikan Agama Hindu. Singaraja
Pendit, S, Nyoman. 2007. Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana. Pustaka Bali Post. Denpasar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sad_Darshana
sangat membantu,
BalasHapus