TUGAS MATA
KULIAH ŚIVA
SIDDHĀNTA
SEJARAH PERKEMBANGAN
ŚIVA SIDDHĀNTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan
kita selalu terkait dengan sejarah. Sejarah dapat diartikan sebagai gambaran
tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia,
disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi tafsiran dan
analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Begitu pula dengan
sejarah perkembangan Śiva Siddhānta. Perjalanan
sejarah Śiva Siddhānta sebelum ke India berawal dari datangnya bangsa Arya Endo
Jerman. Pada Akhirnya perkembangan Siva Siddhanta berkembang pesat sampai ke
India bahkan ke Bali.
Perjalanan Siva Siddanta di India dapat
dilihat melalui sumber - sumber ajarannya yaitu Weda, ajaran pokok dari
filsafat Siva Siddhanta di India bahwa Siwa merupakan ajaran realitas
tertinggi. Tempat pemujaan umat Hindu di India dinamakan dengan Mandir dan
sebutan untuk orang suci di India yang disebut dengan Pandit. Penerapan ajaran Siva Siddhanta di India dapat dilihat
secara sosiologis dan religius. Pengikut dari Siva Siddhanta adalah para bhakta Siva dan untuk pengikut lainnya
adalah para Brahmana. Perayaan suci
nampak ada persamaan dan sedikit perbedaan dengan di Indonesia dan di Bali seperti
: Purnima atau Purnama, Amavasya atau Tilem.
Perkembangan Siva Siddhanta yang ada
di Bali dikaji dari sumber ajarannya yaitu sama seperti di India yaitu Weda dan
sumber sucinya dalam naskah tradisional dan ajaran-ajarannya berupa tattwam dan
filsafat sedangkan tempat pemujaan/tempat sucinya disebut dengan Pura.
Penerapan ajaran Siva Siddhanta di Bali lebih banyak nampak pada pelaksanaan
Upacara agama disebut dengan Panca Yadnya. Para Pengikutnya segenap umat Hindu
yang tinggal di Pulau Bali sedangkan hari suci yang di terapkan untuk pemujaan Hyang
Widhi seperti : Galungan, Kuningan, Saraswati dan masih hari raya suci lainnya.
Sebutan orang suci di Bali yaitu Rsi/Bhagawan/Mpu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dijabarkan dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta sebelum
di India?
1.2.2 Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta di
India?
1.2.3
Bagaimanakah perjalanan Śiva Siddhanta di Bali?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin di capai dari
rumusan masalah yang telah disampaikan yaitu sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta
sebelum di India.
1.3.2 Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta di
India.
1.3.3 Untuk mengetahui perjalanan Śiva Siddhanta di
Bali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perjalanan Śiva Siddhānta sebelum di India.
Perkembangan mazab Śiva
Siddhānta berawal dari datangnya bangsa
arya dari Endo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu yaitu di Punjab dan sebagian
berada di Iran. Di
lembah inilah cikal bakal kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India dan
berkembang pesat ke seluruh India. Bangsa Dravida telah
mengenal ajaran sivaisme yang tinggal di daerah Tambil nadu. Bangsa arya identik
dengan Waisnawa karena sifat kepahlawanannya. Ajaran Śiva Siddhānta berkembang
dari agama Siva yang sudah ada sejak zaman
Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida. Dengan adanya dukungan dan
kembangan dari bangsa Arya sehingga ajaran Siva Siddhanta berkembang menjadi ajaran
sivaisme seperti saat ini (Gunawan, 2012:35).
Arti
kata Saiva Siddhanta : Kata Saiva disini bermakna paham Siva, Sedangkan kata
Siddhanta bermakna ajaran agama. Jadi Saiva Siddhanta adalah paham yang
berisikan ajaran – ajaran dari Tuhan Siva. Jadi dapat dikatakan bahwa (paksha
atau Sampradaya) itu adalah paham yang berkembang pesat di daerah India
selatan. Begitulah perkembangan Siwaisme sebagai pembangkit spiritual di negara
asli asal agama Hindu. Adapun inti sari dari paham Saiva Siddhanta adalah Saiva
sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama
dengan Saiva, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), Pacea (pengikat),
serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam
kesemestaan yang realita. Siwaisme dalam paksha Saiva Siddhanta sangat taat
dengan inti ajaran Wedanta .
2.2 Perjalanan Śiva Siddhānta di India.
2.2.1 Sumber Ajarannya
Ada beberapa sumber ajaran Siva Siddhanta di India yaitu Veda, Saiva Agamas, serta sumber
tertulis lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Jadi selain sumber
tersebut bahwa da juga sumber yang penting lainnya berupa agamas, puranas, ithiasa, upanisad, yoga dan sebagainya.
Saiva
Siddhanta merupakan filsafat dari Saivaisme
bagian selatan yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan
jalan tengah adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaannya terutama terdiri dari:
1.
28 buah tentang Saiwita Agama.
2.
Kumpulan dari puji-pujian Saiwaita yang dikenal sebagai Trimurti.
3.
Kumpulan tentang kehidupan
orang-orang suci Saiwita, yang
dikenal sebagai periyapurana.
4. Siwajnanabodhamnya
Meykandar.
5.
Siwajnanasiddhiyar-nya Arulandi
6. Karya-karya dari Umapati (Subagiasta,
2006:29).
2.2.2
Ajarannya
Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta yaitu bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi dan
jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati
(Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau
prinsip yang menyusun alam semesta, kesemuanya nyata (Subagiasta, 2006:30).
Siwa merupakan ciri realitas
tertinggi, merupakan kesadaran yang tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan,
tanpa wujud, merdeka maha kuasa, ada dimana-mana, maha tahu, tanpa awal, tanpa
penyebab, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu
yang merupakan kebahagian dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat,
maha pelaku, dan maha mengetahui. Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya) adalah : srsti (penciptaan),
sthiti (pemeliharaan), samhara (penghancuran), tirobhawa (menutupi) dan anugraha (karunia), yang secara terpisah
dianggap sebagai kegiatan dari Brahma,
Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa.
2.2.3
Tempat Pemujaannya
Tempat pemujaan umat Hindu di India
termasuk bagi pengikut Saiwa Siddhanta
dinamakan dengan Mandir. Istilah laninya bisa disebut dengan Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa
di India jika di daerah Uttra Pradesh dinamai kota Kasi. Para umat pada umumnya
mengatakan dengan nama kita Siva. Oleh karena disana para umat Hindu memuja
Bhatara Siwa, maka nama Mandirnya yaitu Visvanath Mandir. Ada juga trerdapat tempat
suci yang sangat megah untuk pemujan Dewa Siwa yakni Golden Temple yang
terletak di tengah-tengah kota Benares di dekat sungai Gangga.
Dalam praktek kehidupan beragama Hindu
bahwa pada setiap rumah tangga juga terdapat untuk pemujaan Dewa Siwa berupa
altar atau sejenis pelangkiran bagi umat Hindu di Bali. Pada masing-masing
altar itu juga disediakan tempat khusus untuk menempatkan sesaji, sarana
pemujaan dan hal lain yang diperlukan. Umumnya disiapkan ruangan khusus yang
memang disucikan (Subagiasta, 2006:30-31).
2.2.4
Penerapan Saiva Siddhanta di India
Penerapan Saiva Siddhanta di India dapat
dilihat dalam praktek nyata kehidupan beragama Hindu di India secara
sosiologisnya nampak dengan jelas. Kemudian pada religiusnya terlihat dalam
praktek pemujaan (upasana atau puja), yang paling rutin dilaksanakan
yaitu di suatu Mandir, baik di tingkat perseorangan maupun di tingkat komunal.
Ada dua cara penerapannya yaitu dengan cara sarana,
sadhana, material, upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu yang
dinamai pratika atau saguna upasana.
Sedangkan cara penerapan yang lainnya adalah ahamgraha upasana atau nirguna
upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada patung, arca,
pratima, gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat meningkatkan
kualitas meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta paramisa.
Penerapan agama Hindu
di India ada yang dinamai sepuluh samskara
meliputi: Garbhadana samskara
(mensucikan kegiatan penciptaan), Pumsavana
samskara (ucapan mantra-mantra kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana samskara (pengucapan
mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara (upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara (upacara pemberian
nama anak), Annaprasana samskara
(pemberian makanan pertama kali saat berumur enam bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut pertama kali bagi
anak), Upanayana samskara (upacara
mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya), Samavartana samskara (upacara mengakhiri masa belajar agama atau
weda), dan Vivaha samskara (upacara
perkawinan atau masa berumah tangga). Penerapan Saiva Siddhanta di Bali hamipr
sama dengan di India seperti konsep Panca Yadnya untuk Homa untuk Dewa Yadnya, tarpana
atau srddha untuk pitra yadnya, belajar
weda atau brama untuk resi yadnya, bali untuk Bhuta Yadnya,
dan penghormatan atau keramahtamahan untuk
Manusa Yajnya (Subagiasta, 2006:31-33).
2.2.5
Pengikutnya
Pengikut dari Siva Siddhanta pada
umumnya adalah para bhakta Siva.
Terutama umat Hindu di berbagai pelosok di negara bagian India. Pengikut
lainnya adalah para Brahmana dan Tamil Nadu. Di Tamil Nadu sebutan
pengikut Siva Siddhanta dinamai Gurukkal.
Ada juga dinamai pengikut dalam sebutan dasnama
sannyasin, tetapi pengikut ini tidak semua pemuja dan pengikut Siwa. Ada sebagaian yang memuja visnu atau dari paksa vaisnawa. Sisanya lagi dari para bhakta yang ada di India. Jadi yang dinamai dasanama sannyasin itu adalah para bhakta atau umat Hindu India
yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap Dewa Siwa, sebagian
lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemuja Anomana, serta pemuja lainnya sesuai
ista dewata dalam agama hindu (Subagiasta, 2006: 33-35).
2.2.6
Hari Sucinya
Di Indonesia dan juga
di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu nampak ada persamaan dan sedikit
perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti : perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau Purnama, Amavasya atau Tilem. Cara yang lazim dilakukan ada
saat perayaan suci adalah dengan melakukan upawasa
selama sehari penuh bahkan lebih dari sehari bhakta yang telah mampu melaksanakannya. Setiap perayaan suci
diikuti dengan upawasa tersebut.
Bilamana pada saat Siwaratri dan Maha Siwaratri yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat itu para bhakta
melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di India perayaan Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu
atau dinamai Sasi Marga sekitar bulan
Januari dan Februari pada setiap tahunnya.Saat itulah umat hindu datang
ketempat suci seperti mandir, ada
yang ke campuan yakni tempat suci
berupa pertemuan sungai . Disanalah umat Hindu atau pengikut Siva Siddhanta
melakukan penyucian diri (kalau di Bali melukat,
mesiram, melasti). Tempat suci sangam
merupakan pertemuan dari tiga sungai suci Hindu yang bernama sungai Gangga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati,
jadi ketiga sungai suci itu dinamai triveni
atau trinadhi.
Hari
suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja yakni hari suci untuk memuja
Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan kekuatan lahir
batin terhadap umat Hindu. Dalam tradisi india ada yang disebut nawaratripuja yaitu pemujaan selama
Sembilan hatri sembilan malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga. Praktek
pemujaannya adalah dengan vrata/brata, yang
dalam bahasa Hindinya dinamai ‘bret’ artinya
tidak makan dalam kurun waktu yang diingini oleh para bhakta (Subagiasta, 2006:35-38).
2.2.7
Orang Sucinya
Orang suci umat Hindu
yang ada di India ada yang dinamai pandit.
Kata pandit (bahasa Hindi) sedangkan
dalam bahasa Sansekerta disebut pandita.
Kalau di Indonesia disebut “Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu
upacara keagamaan Hindu. Tidak saja itu juga diagama non Hindu juga menamai
‘Pendeta’. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa peran orang suci adalah sangat menentukan oleh
kalangan Brahmin, maka peran para
orang suci sangat menentukan orang suci kalau di Bharatiya sangat dihormati dan disucikan oleh umat Hindu. Terutama
bagi pengikut Saiva Siddhanta bahwa
para pemuja Siva dan bhakta Siva begitu berbakti kepada orang suci.
Sesuai kepercayaan umat Hindu yang bersumber pada ajaran Veda bahwa
orang suci Hindu ada dikenal dengan nama sapta
resi. Ketujuh resi penerima wahyu
yaitu Gratsamada, Wiswamitra, Wamadewa,
Atri, Bharadwaja, Wasistha, dan Maha
Resi Kanwa.
Menurut
tradisi Hindu. Maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan
mengkodifikasi Weda adalah Maharesi Wyasa.
Selain itu juga ada dinamai maharesi penyusun catur veda samitha yakni Maharesi
Paila (Pulaha) sebagai penyusun Rgweda
samitha, Maharesi Waisampayana
sebagai penyusun Yajurweda samitha, Maharesi Jamini sebagai penyusun Samaweda samitha, dan Maharesi Sumantu sebagai penyusun Atharwaweda samitha (Subagiasta,
2006:38-39).
2.3 Perjalanan Śiva Siddhānta di Bali.
2.3.1 Sumber Ajarannya
Sebagian sumber ajaran dari pada Śiva
Siddhānta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana
dijelaskan dalam buku Siwa Sasana ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional
Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat, yaitu :
1.
Kelompok weda, misalnya: weda
parikrama, weda sanggraha, surya sevana, siva pakarana.
2. Kelompok tattwa, meliputi: bhuana
kosa, bhuana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong
besi, purwa bumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa,
tattwa jnana, dan jnana sidhanta.
3. Kelompok ethica, adalah siva sasana, rsi sasana, wrti sesana, putra sesana dan
slokantara.
4. Kategori upakara agama, meliputi:
1) Upakara
Dewa Yadnya, antara lain: caturwedhya,
wrhaspattikalpa, dewatattwa, sundari gama.
2) Upakara
Pitra Yadnya, meliputi: yamatattwa,
empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji.
3) Upacara Rsi Yadnya, antara lain: kramaning madiksa, yadnya samkara.
4) Upacara
Manusa Yadnya, meliputi: dharma
kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kala pati, puja kalib.
5) Upacara
Butha Yadnya, meliputi: eka dasa
rudra, panca wali krama, indik caru, puja pali-pali.
Beberapa naskah tradisional lainnya
yang dikoleksi ada dalam pustaka guna
dharma (Subagiasta, 2006 : 40-41)
2.3.2 Ajarannya
Tattwan dan filsafat memiliki
kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan kebenaran. Juga
sama-sama mengkaji hal atau objek yang kongkrit serta segala hakikat yang ada.
Terkait dengan materi tattwam, bahwa
ada beberapa sumber yang dijadikan dasar acuan materinya.
Beberapa sumber lontar, seperti : Bhuwanan Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana,
Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa puja bercorak
monism (Tim Penyusun , 1999 :1). Semua lontar diatas, adalah berisikan tentang
ajaran mengenai paham Siwaistis.
Bhuwana
Kosa terdiri atas beberapa bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka.
Sumber teksnya bebrahasa Sangsekerta dalam bentuk sloka. Tahap penciptaan (utpeti)
oleh Bhatara Siwa, seperti : Bhatara Siwa, Purusa, Awyakta, Budhi,
Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu,Agni, Apah, dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (pralina) oleh Bhatara Siwa, meliputi : prthiwi,
apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa,
dan kembali kehadapan Bhatara Siwa.
Sedangkan Wrhaspatitattwa terdiri atas tujuh puluh sloka yang berbahasa Sansekerta.
Dengan terjemahannya berbahasa kawi.
Isi utama dalam naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan
Wrhaspati mengenai cetana sebagai
unsur kesadaran dan acetana sebagai
unsur ketidaksadaran. Wrhaspati Tattwa
mengajarkan tentang Yoga, cetana telu
(Paramasiwa atau Nirguna Brahman, Sadasiwa, Siwatma Tattwa, maya, sakti, guna, swabhawa, aksara OM atau AUM, Saguna Brahman, atma,
catur iswarya, panca yama brata, panca niyama brata, dan astasiddhi.
Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama
Hindu secara dialog dengan Dewa Siwa
dengan Sang Hyang Ganapati. Isi
naskah berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna. Dalam pemujaan kepada Hyang Siwa digunakan empat aksara suci (caturdasaaksara), yakni : sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang,
sing, wang, yang, ang, ung, mang, ong. Bagaimana proses penciptaan ini
menurut Ganapati Tattwa, yaitu : “
tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkatan
yang mempunyai wujud nyata” (Tim Penyusun, 1999:11). Setelah panca dewata ( Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha butha (akasa=unsur suara, bayu=unsur
angin, teja= unsur matahari, bintang,
bulan, apah = unsur air, pertiwi=unsur bumi dan tanah). Demikian
sekilas isi Wrahaspatitattwa.
Adapun isi Sang Hyang Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat
Siwaistis yakni memuliakan Hyang Siwa. Naskah ini terdiri atas
delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sangsekerta yang terjemahannya dalam
bahasa Kawi. Inti dari ajaran Sang Hyang Mahajnana yaitu bagaimana mencapai
kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang
dibicarakan yakni purusa (unsur
kesadaran), pradhana (unsur
ketidaksadaran), dan atma (unsur
kebijaksanaan).
Jadi tujuan utama berbakti kepada Hyang Siwa adalah untuk dapat menyatu
dan mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu moksa. Selanjutnya dalam Tattwajnana
mengandung ajaran ketuhanan hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran
Tattwajnana menguraikan dua unsur universal yakni cetana dan acetana. Unsur
cetana merupakan komponen kesadaran
yang disebut Siwatattwa dan unsur acetana merupakan unsur ketidaksadaran
yang dinamai Mayatattwa. Unsur cetana bersifat tutur (sadar) dan acetana bersifat tan patutur (lupa).
Unsur cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa (Bhatara
Siwameraga Niskala). Sadasiwatattwa
( Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarvakaryakarta, cadusakti, dan
jnanasakti) sehingga beliau disebut Bhatara
Jagatnhata, Bhatara Guru, dan sebutan yang lainnya, dan atmikatattwa (Bhatara Siwa, dalam keadaan
gaib atau utaprota, seperti api ada dalam kayu, atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih
bagai sinar matahari.
Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang melahirkan citta dan guna (sattwa, rajas, tamas). Dari triguna dan citta lahir
buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara
waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara
waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabutha, dan bhutadi
saling membantu dalam proses pencintaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana, misalnya sapta loka atau alam atas dan sdapta patala atau alam bawah, sehingga Bhatara Siwa menyusup di alam ini maka
lahirlah ciptaan manusia. Untuk penyatuan atma dengan Bhatara Siwa maka ada jalan dinamai Prayogasandhi ( asana,
pranayama, pratyahara, dharana, dyana, tarka, dan samadhi). Kemudian Jnanasiddhanta merupakan naskah yang
berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang
inti ajarannya tentang kelepasan (moksa)
untuk menyatunya atma dengan pencipta (Hyang
Siwa). Manusia diciptakan oleh hyang siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava, yakni dada, lengan, kepala, dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada),
sedang tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpah, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra).
Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana,
taka, dan semadhi.
Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus
mewujudkan atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam
batin. Dalam meditasi ada tujuh yang harus diperhatikan yaitu :
1. Semua tingkah laku dipusatkan pada Bhatara Siwa.
2. Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa.
3.
Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa.
4.
Pengelihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa.
5.
Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa.
6.
Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa.
7.
Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta bddhyanggamarga (Tim Penyusun,
2000: 24). Kemudian ada tiga jalan utama saat peleburan, yaitu melalui
ubun-ubun (nistha), melalui hidung (madhya), dan melalui mulut (uttama). Ketiga jalan itulah menuju
kelepasan atau moksa.
Dalam ajaran yoga ada dikenal dengan
delapan tahap penting dalam bertata susila atau pengendalian diri. Kedelapan
tahapan itu dinamai Astanggayoga.
Adapun bagiannya yaitu :
1. Yama
iyalah pengendalian diri tahap pertama. Yaitu :
1) Ahimsa
artinya tidak membunuh-bunuh.
2) Satya artinya setia, benar.
3) Asteya artinya tidak mencuri.
4) Brahmacari artinya pantang hubungan
kelamin.
5. Aparigraha artinya tidak menerima, tidak
loba (ibid, 50).
2.
Nyama
iyalah pengendalian diri lebih lanjut. Pengendalian diri tahap kedua, antara
lain :
1) Sauca artinya suci lahir batin.
2) Santosa artinya kepuasan.
3) Tapa artinya pengekangan diri.
4) Swadhayaya artinya belajar
5) Iswarapranidhana artinya bhakti kepada
Tuhan (ibid, 54).
3.
Asana
iyalah sikap duduk. dalam tahap asana diperlukan adanya sikap yang baik dan
tenang seperti : padmasana, wajrasana,
swastikasana, sukhasana, silasana,
4.
Pranayama
ialah pengendalian prana. dalam tahap Pranayama
atau teknik pengaturan nafas/ pengendalian prana, dibedakan dalam tiga cara
yakni puraka artinya menarik atau
memasukkan nafas yang bersih, kumbaka yaitu
menahan nafas, dan recaka mengeluarkan nafas yang kotor.
5. Pratyahara
ialah penarikan pikiran dari objeknya. pratyahara
yakni penarikan pikiran dari objeknya, yang harapannya agar pikiran tidak
kacau. Pikiran perlu tenang dan nyaman
6.
Dharana
ialah pemusatan pikiran. Setelah ketenangan pikiran muncul dan pikiran tertuju pada satu objek, maka
pikiran selanjutnya untuk dipusatkan sesuai sasaran yang dituju (Dharana).
7.
Dhyana
ialah meditasi. Bilamana hal ini telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan
dhyana yaitu melakukan meditasi, sehingga tahapan yang terakhir adalah dapat
dilaksanakan samadhi
8.
Samadhi
ialah luluhnya pikiran dengan atma
(Sura, 1985:49)
2.3.3 Tempat Pemujaannya
Tempat pemujaan atau tempat suci umat
Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur) artinya
benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat suci
untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa/
Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini
dinamai pula Dewalaya atau Mandiram (bahasa Sansekerta) dan juga
dinamai Mandir (bahasa Hindi). Tempat
suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu, a) pura keluarga, b)pura
teritorial, c) pura fungsional, dan pura umum. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala) melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyana mandala) melambangkan alam
tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam
bawah (bhur loka).
Adapun tempat pemujaan bagi umat
Hindu, antara lain :
1.
Pura Keluarga adalah pura yang khusus
bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga
juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan,
Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Bertempat di Pura Keluarga
bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau
atma sidha dewata. Pelinggih uatama
pada Pura Keluarga biasanya berupa Gedong,
Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih
Padmasana
2.
Pura Teritorial yang dimaksudkan
adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis
pura ini juga dinamai Tri Kahyangan
atau Kahyangan Tiga. nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a) Pura Baleagung sebagai tempat memuja
Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Brahma (Pencipta/Utpatti), b) Pura
Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang
Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Siwa (Mengembalikan ke asalnya/ Pralina).
3.
Pura Fungsional merupakan tempat suci
dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu, Pura ini juga dinamai Pura
Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura
Subak merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam
pertanian. Pura Subak juga dinamai Pura
Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan
ikatan profesi bagi para pedagang disekitar pasar atau di tempat tertentu untuk
berjualan disebut Pura Melanting.
Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat
sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang
Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong sebagai Pura Umum
adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura Jagatnatha di sekitar perkotaan
maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan tempat
sembahyang oleh umat Hindu.
Kalau di Bali bahwa Pura Kahyangan Jagat diklasifikasikan
berdasarkan atas :
1. Konsep rwa bhinneda yaitu Pura Besakih
sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai unsur Pradhana.
2. Kalau berdasarkan konsep Cadu Sakti atau Caturlokapala
(empat penjuru mata angin) maka yang tergolong Pura Kahyangan Jagat adalah Pura
Lempuyang di arah timur (Purwa)
sebagai tempat memuja Dewa Iswara, Pura Andakasa diarah selatan (Daksina) sebagai tempat memuja Dewa Brahma, Pura Batukaru di arah barat (Pascima)
sebagai tempat memuja Dewa Mahadewa,
dan Pura Batur diarah utara (Uttara) sebagai tempat memuja Dewa Wisnu.
3. Berdasarkan konsep sadwinayaka, yang tergolong pura umum yaitu Kahyangan Gunung Agung (Pura Besakih) di daerah Kab. Karangasem, Kahyangan Lempuyang Luhur juga didaerah
Kab. Karangasem, Kahyangan Goa Lawah
di daerah Kabupaten Klungkung, Kahyangan
Uluwatu di daerah Kab. Badung, Kahyangan
Batukaru di daerah Kab. Tabanan, dan Kahyangan
Pusering Tasik/ Pusering Jagat didaerah Kab. Gianyar (Subagiasta, 2006 :
52-55)
2.3.4
Penerapan Saiva Siddhanta di Bali
Penerapan Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak
yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama hindu yang dikelompokkan ke dalam
lima bagian besar yang dinamai panca
yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna
yakni persembahan kepada Tuhang Hyang Maha Esa beserta dengan semua
manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu
seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan,
Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya; kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan
manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan
berbagai jenis upacaranya bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta
peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan
penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan,
telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan dan
sebagainya; ketiga, Pitra Yajna yaitu
persembahan kehadapan para pitara-pitara guna mendapatkan kerahayuan hidup di
dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan
kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-lainnya; keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan
para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan,
serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para resi,
berbakti kepada para resi, berdana punia kepada para resi, memberkan pelayanan kepada para resi dan sebagainya; dan kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan
kehadapan para bhuta kala atau
mahkluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan
kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis.
Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh,
macaru, dan pelaksanaan tawur.( Subagiasta, 2006 : 55-57)
2.3.5
Pengikutnya
Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat
Hindu yang tinggal di Pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini
bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Saiva
Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India Selatan
tepatnya didaerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Saiva Siddhanta selain umat Hindu yang berasal dari tanah
bharatiya, maka filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para
sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, di antaranya : umat Hindu di
Sumatra, umat Hindu di Bali, umat Hindu di lombok, umat Hindu di Jawa, umat
Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua dan sebagainya di wilayah kepulauan
Nusantara ini.
Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa
pengikut Saiva Siddhanta adalah umat
Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok
walaupun dari para bhakta adalah
pengikut Vaisnawa dan yang lainnya,
tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang
Siwa. Beliau Hyang Siwa sangat dimuliakan
dan dihormati melalui pelaksanaan semabh bakti oleh segenap umat Hindu. Tidak
adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti
ke tempat suci atau di Pura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah
diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata
dalam tempat suci itu sendiri (Subagiasta, 2006 : 56-57).
2.3.6
Hari Sucinya
Hari suci merupakan hari baik bagi
umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari
suci Hindu antara lain :
1. Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan
persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, terutama dilakukan di Pura
Keluarga (Pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu, dan
lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa,
serta Kahyangan jagat lainnya. Saat hari raya ini juga dinyatakan sebagai hari
kemenangan kebenaran (Dharma) atas
ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan
rangkaian terakhir pada Budha Kliwon
Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan,
penampahan, puncak perayaan Galunan, dan umanis Galungan.
2. Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh hari setelah perayaan Galungan. Hari Raya Kuningan juga
diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan Ulihan.
3.
Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya perayaan ini dikenal dengan nama
Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati
atau piodalan Sang Hyang Pengeweruh.
Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati
adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk memajuan dan kesejahteraan umat
manusia.
4. Hari
raya Pagerwesi adalah sebagai hari
pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon
kekuatan hidup baik secara fisik dan non fisik (wahya adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon
kekuatan dan kemantapan sraddha dan
bhakti umat Hindu.
5.
Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kadasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan
serta untuk mengahyutkan segala mala
pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta
pelaksanaan Upacara Tawur Kasanga di
setiap lingkungan desa terutama bertempat diperempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga.
6. Hari Siwaratri
yang berarti malam siwa. Siwa adalah
sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang memiliki kekuasaan untuk pameralina.
Dalam naskah Siwaratrikalpa
dijelaskan bahwa Bhattara Siwa
melakukan yoga untuk keselamatan denia beserta segenap isisnya beretapatan
dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu.
Saat itu dipilih oleh Bhattara Siwa
untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik
melakukan pemujaan kehadapan Bhattara
Siwa. Saat Siwaratri, maka umat
Hindu melakukan tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36
jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa
(tidak makan dan tidak minum), monabrata
(tidak berbicara/selalu hening), dan jagra
(tidak tidur) (Subagiasta, 2006 : 58-60)
2.3.7 Orang sucinya
Orang suci adalah sangat besar jasanya
terhadap perkembangan dan penyebaran agama hindu kepada umat di dunia ini.
Tanpa orang suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Orang suci umat
hindu secara umum disebut dengan nama Rsi.
Ada beberapa orang suci antara lain:
1. Bhagawan
Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam
kitab purana. Beliau sebaga pendiri
keluarga/warga Bhargawa.
2. Bhagawan
Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari Tuhan
Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota prayoga
yang kini dikenal dengan nama kota Aalahabad. Pada kota prayoga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana
terdapat campuhan (sangam) dari pada
sungai Ganga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak nampak).
3. Rsi
Agastya sebagai oranmg suci lahir dikota Khasi atau Benares-India Utara
(Uttara Pradesh). Beliau telah menyebarkan agama Hindu di india dab termasuk
sampai di Indonesia dan Bali.
4. Bhagawab
Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan
Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.
5. Mpu
Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kekawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu:
Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu
Shidimantra, Mpu Kepakisan.
6. Mpu
Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama
Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengjarkan konsep Tri
Kahyangan di setiap desa adat dan desa pakraman di Bali.
7. Mpu
Bharadah sebagai oranh suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu
Bharadah sangat terkenal di bali dan Mpu
Bharadah ada di muliakan di salah satu pura di kompleks pura Besakih.
8. Rsi
Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali dating ke Bali untuk
menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah jawa menuju Bali
beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali di jadikan lahan
pertanian dan sekaligus menata kehidupan beraga Hindu di Bali.
9. Dang
Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirathga. Jikalau di bali beliau bergelar pedanda Sakti
Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumatra bergelar
Pangeran Sangupati. Banyak tempat
suci yang telah beliau bangub di pulau Bali, seperti ; Pura Puruncak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Tanah Lot, Pura Prti Tenget, Pura Uluwaru , Pura Air Jeruk dan lain-lain.
10. Dang
Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Bhuda Mahayana dan Majapahit dan di Bali belai mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar
Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu Dsesa Budekeling (Subagiasta, 2006 :
61-63)
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari
materi yang telah di uraikan, dapat kami simpulkan bahwa perkembangan sejarah
Siva Siddhanta sebelum di India yang diwali dari mazab
Śiva Siddhānta berawal dari datangnya
bangsa arya dari Endo Jerman di Sungai Sindhu. Perjalanan Siva Siddhanta
sampai ke India dapat dikaji dari sumber-sumber dan ajarannya, tempat pemujaan,
hari suci, orang suci, pengikut-pengikut dari ajaran Siva Siddhanta, dan
penerapan ajaran Siva Siddhanta.
Ajaran Siva Siddhanta di India hampir
sama dengan di Bali hanya sedikit perbedaan. Maknanya hampir sama hanya
membedakan nama dan cara upacara yang dilaksanakan dalam pemujaan-pemujaan
terhadap Sang Hyang Widhi. Seperti tempat sucinya di Bali dinamakan dengan Pura
sedangkan di India dinamakan dengan Mandir.
3.2 Kritik dan
Saran
Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini. Karena kita sebagai calon
pendidik agama sangat perlu mempelajari tentang sejarah perkembangan Śiva
Siddhānta sebelum di India, Śiva Siddhānta di India dan Śiva Siddhānta di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2012. “Visvanath Mandir”. Tersedia
pada http://www.fotosearch.com/AGE047/a52-446873/.
diakses tanggal (03 April 2012).
Anonim.
2009. “Pura Besakih”. Tersedia pada http://e-kuta.com/blog/wp-content/uploads/2009/07/pura-besakih1.jpg.
diakses tanggal (03 April 2012).
Anonim.
2012. “Pura Pulaki”. Tersedia pada http://www.fotosearch.com/photos-images/pura-pulaki.html.
diakses tanggal (03 April 2012).
Gunawan, I Ketut. 2012. “Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta”. Denpasar : IHDN.
Sahib, Harmandir. 2012. “Golden Tample”. Tersedia pada Sahib, http://translate.google.com/translate?sl=en&tl=id&u=http://en.wikipedia.org/wiki.
diakses tanggal (03
April 2012).
Subagiasta,
I Ketut. 2002. “Saiva Siddhanta and
Besakih Tample: A Study”. A Thesis Submitted to the University of Allahabad
for the Award of Doctor of Philosophy.
Subagiasta, I Ketut. 2006. “Saiva Siddhanta di India dan di Bali”. Surabaya : Paramita.
Sura,
I Gede. 1985. “Pengendalian Diri dan
Etika, dalam Ajaran Agama Hindu”. Jakarta : Hanuman Sakti.
0 komentar:
Posting Komentar