Taburan Hati

SCM Music

Minggu, 09 Februari 2014

Psikologi Pendidikan (Teori Behaviorisme)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini dunia berkembang begitu pesat. Segala sesuatu yang semula tidak bisa dikerjakan, mendadak dikejutkan oleh orang lain yang bisa mengerjakan hal tersebut. Agar kita tidak tertinggal dan tidak ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka kita sadar bahwa pendidikan itu sangat penting. Banyak negara yang mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang amat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat dan dunia tentu mengatakan bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa. Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antarmanusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.
Sehubungan dengan prihal tersebut, dengan ketidakterbatasannya akal dan keinginan manusia, untuk itu perlu dipahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi. Proses belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya. Kapasitas manusia untuk belajar, terutama tentang bagaimana proses belajar terjadi pada manusia mengalami sejarah yang panjang bahkan sampai masa kinipun teori tentang belajar  masih berkembang dan akan masih disempurnakan secara berkesinambungan  oleh ilmuwan dengan pencetusan teori-teori belajar yang baru. Salah satu teori belajar yang terkenal adalah teori behaviorisme. Teori behaviorisme merupakan teori belajar yang paling awal dikenal dan masih terus berkembang sampai sekarang.
Secara langsung, semua teori belajar begitu pula teori Behaviorisme selalu dikaitkan dengan ruang lingkup bidang psikologi atau bagaimanapun juga membicarakan ihwal belajar ialah membicarakan sosok manusia. Ini dapat diartikan bahwa ada beberapa ranah yang harus mendapat perhatian, ranah-ranah tersebut ialah ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang berpikir, berbeda dengan binatang. Binatang adalah juga makhluk yang dapat diberi pelajaran, tetapi tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Ivan Petrovich Pavlov, ahli psikologi Rusia berpengalaman dalam melakukan serangkaian percobaan. Dalam percobaan itu ia melatih anjingnya untuk mengeluarkan air liur karena stimulus yang dikaitkan dengan makanan. Proses belajar ini terdiri atas pembentukan asosiasi (pembentukan hubungan antara gagasan, ingatan atau kegiatan panca indra) dengan makanan. Proses belajar yang digambarkan seperti itu menurut Pavlov terdiri atas pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons refleksif. Dasar penemuan Pavlov tersebut, menurut J.B. Watson untuk selanjutnya diberi istilah Behaviorisme.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian teori Behaviorisme?
1.2.2 Siapa tokoh-tokoh teori Behaviorisme?
1.2.3 Bagaimana penerapan teori Behaviorisme dalam  pembelajaran?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian teori Behaviorisme.
1.3.2 Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori Behaviorisme.
1.3.3 Untuk mengetahui penerapan teori Behaviorisme dalam pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teori Behaviorisme
Teori Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Teori Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, teori Behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. http://www.maziatul.com/2009/07/teori-belajar-behaviorisme-dan.html diakses Rabu, 30 November 2011 jam 13.05 Wita.
Teori Behaviorisme menjelaskan bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan-perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus), selanjutnya dinotasikan dengan (S) yang akan menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons), selanjutnya dinotasikan dengan (R) yang kesemua reaksi tersebut berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku stimulusdan respon.
Jika ditilik berdasarkan hakekat, stimulus (S) dan respon (R) adalah premis dasar dari teori Behaviorisme. Di dalam proses belajar S-R ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu dorongan atau drive, stimulus atau rangsangan, respons, dan penguatan atau reinforcement. Unsur dorongan akan diperlihatkan jika seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang menyebabkan timbulnya respons dari orang tersebut. Respons atau reaksi diberikan terhadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan suatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan penguatan akan memberikan tanda kepada seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong orang tersebut untuk memberikan respon lagi.
Teori Behaviorisme seperti penjabaran di atas, pada prinsipnya sangat menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di dalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Namun demikian, yang tidak kalah penting adalah adalah masukan atau input yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicuim, dirasa, dan diraba oleh seseorang. Selain memanipulasi stimulus, untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan ada faktor penting yang sangat berpengaruh, yaitu faktor penguatan (reinforcement) yang mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan (reinforcement) adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Penguatan (reinforcement) dapat ditambahkan atau dikurangi untuk memperoleh respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah. (Winataputra, 2007: 2.6).    

2.2 Tokoh-Tokoh Teori Behaviorisme.
2.2.1 Petrovich Pavlov (1849-1936).
            Petrovich Pavlov adalah seorang Rusia yang lahir 14 September 1849, beliau merupakan penggagas awal teori Behaviorisme. Teori beliau dinamakan teori Classical Conditioning. Percobaan yang dilakukannya merupakan upaya untuk meneliti conditioned reflexes atau refleks terkondisi. Berdasarkan  percobaanya yang menggunakan anjing sebagai objek utama eksperimental, beliau menemukan bahwa anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau daging merupakan stimulus yang tidak terkondisi, sementara keluarnya air liur anjing merupakan respons yang juga tidak terkondisi. Selanjutnya beliau menambahkan lonceng dan digunakan sebagai stimulus. setelah pengulangan beberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur hanya oleh mendengar suara lonceng, tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian suara lonceng menjadi stimulus yang terkondisi, sementara air liur anjing menjadi respons yang terkondisi.
            Teori Pavlov didasarkan pada reaksi sistem yang tidak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom dan gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar. Ada tiga parameter yang diperkenalkan oleh Pavlov melalui teori Classical Conditioning, yaitu penguatan (reinforcement), penghilangan (extinction), pengembalian spontan (recovery). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan, yaitu tindak lanjut yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti stimulus yang tidak terkondisi dan respons tidak terkondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian, pembentukan respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Dengam semakin banyaknya stimulus terkondisi yang diberikan bersama-sama stimulus tidak terkondisi , semakin mantap pula respons terkondisi yang terbentuk, hingga sampai suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus yang terkondisi.
            Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tidak terkondisi, ada kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun atau bisa hilang sama sekali. Proses ini disebut penghilangan atau extinction. Misalnya suara lonceng dan daging untuk membuat anjing berliur. Jika hanya suara lonceng saja yang dimunculkan tanpa ada daging lama kelamaan dapat terjadi anjing tidak berliur lagi. Namun demikian bukan tidak mungkin pada suatu waktu anjing akan kembali lagi berliur walaupun hanya lonceng yang di bunyikan.
            Di samping itu dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan stimulus, yaitu kecendrungan untuk memberikan respon terkondidsi terhadap stimulus serupa dengan stimulus terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus yang terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan stimulus yang tidak terkondisi. Sehingga berlaku hukum, makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, akan makin besar pula perampatan yang dapat terjadi. Dalam teori Classical Conditioning , Pavlov juga memunculkan konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap stimulus yang lain. Situasi ini di dapat melalui cara memberikan suatu stimulus yang lain sehingga seseorang akan melakukan asosiasi terseleksi (selective association) terhadap stimulus menimbulkan respons balik.

2.2.2 Edward L. Thorndike (1874-1949).
            Connectionism itulah nama teori dari Edward L. Thorndike. Dasar-dasar teori ini diperoleh dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah mampu memecahkan masalah dengan menggunakan akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar. Beberapa binatang yang pernah diujicobakan, yaitu ayam, ikan, anjing, kucing dan kera. Percobaan ini mengharuskan binatang-binatang  tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang binatang-binatang tersebut membuka pintu, menumpahkan beban dan mekanisme lolos lainnya dirancang sedemikian rupa. Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respon untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu yang menampilkan stimulus dalam proses coba-coba (trial and error). Respon yang benar secara bertahap diperkuat melalui beberapa rangkaian coba-coba, sementara respons yang tidak benar melemah atau menghilang.
            Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat (law of effect), dalil latihan/pembiasaan (law of exercise) dan dalil kesiapan (law of readiness). Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut. Dalil latihan/pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respons. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar. Dalil kesiapan menyatakan kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika siswa sudah belajar sebelumnya, maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respons atas dasar stimulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons. Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons.
Dari beberapa penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses transfer of learning atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip yang disebut dengan associative shifting. Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.

2.2.3 John B. Watson (1878-1958)
Teori dari John B. Watson dalam dunia psikologi pendidikan disebut teori Behaviorism. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. Walaupun John B. Watson bukanlah ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar, namun Watsonlah yang melakukan penyimpulan atas teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya. Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable)  maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi dengan proses pengkondisian, menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respons, Watson menggunakan teori Classical Conditioning dari Pavlov yang dilengkapi dengan komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses pengkondisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih menggunakan tiga dalil belajar dan konsep perampatan basil belajar dari Thorndike. (Winataputra, 2007: 2.11).   

2.2.4 Clark Hull (1884-1952)
Clark Hull menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Beliau  terinspirasi oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori Evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
Selain terinspirasi oleh teori Evolusi dari Charles Darwin, Clark Hull juga terinspirasi oleh teori Classical Conditioning dari Pavlov. Hull kemudian menerbitkan berbagai makalah yang sejatinya merupakan modifikasi dari teori    Pavlov. Teori Hull dalam dunia psikologi dikenal dengan Systematic Behavior, karena teorinya sangat  sistematis dan mekanistik. Konsep utama dari teori Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai penelitian tentang kebiasaan dan respons terkondisi yang dilakukan Hull melalui percobaan terhadap binatang. Perilaku yang kompleks, menurut Hull, diasumsikan berasal dari hasil belajar terhadap bentuk-bentuk perilaku yang sederhana. Dalam upaya mematangkan teorinya, Hull juga menggunakan dalil sebab akibat dari Thorndike kemudian menggabungkannya dengan hasil temuannya.
Lebih lanjut, Hull menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan respons tidaklah sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada proses lain dalam diri seseorang yang mempengaruhi interaksi antara stimulus dan respons. Proses tersebut disebut oleh Hull sebagai variable intervening. Hull memberi contoh rasa haus sebagai salah satu variable intervening.  Menurut Hull, situasinya adalah binatang diberi makanan yang asin, atau tidak diberi minum untuk sekian lama. Situasi ini merupakan input variable. Rasa haus timbul akibat dari situasi tersebut. Kemudian, untuk mengatasi rasa haus, binatang akan melakukan bermacam-macam aksi, seperti mengais, mencari-cari air, dan lain-lain, bahkan binatang akan melakukan hal-hal lain apa saja untuk memperoleh air
Menurut teori Systematic Behavior dari Hull,  dalam asosiasi antara stimulus terhadap respons, ada faktor kebiasaan sebagai intervening variable. Intensitas kebiasaan tersebut menentukan intensitas asosiasi yang terjadi. Proses belajar menurut Hull merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan melalui serangkaian percobaan. Untuk dapat memperoleh kebiasaan diperlukan adanya penguatan dalam proses percobaan. Namun, Hull juga menyatakan bahwa penguatan bukan satu-satunya faktor yang, menentukan dalam pengembangan kebiasaan, karena pengembangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya percobaan yang dilakukan. Di samping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain (non learning factors) yang berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang timbul.
Pada akhirnya,.Hull mengembangkan teorinya menjadi suatu teori yang sangat kuantitatif. Hull mencoba mengukur intensitas respons dalam bentuk nilai kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai numerik yang tepat untuk membuat persamaan tentang hubungan antara intervening variable  terhadap variabel bebas maupun variabel terikat. Upaya kuantifikasi ini dilakukan Hull dalam rangka memprediksi secara kuantitatif hasil-hasil dari percobaan-percobaan terhadap perilaku. Dengan kata lain, respons dan atau kebiasaan dapat diprediksi secara kuantitatif dan tepat melalui rumus-rumus tentang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya.

2.2.5 Edwin R. Guthrie (1886-1959)
Teori dari Edwin R. Guthrie dikenal dengan nama teori Contiguous Conditioning. Teori ini berangkat dari dua teori dasar dalam aliran perilaku, yaitu teori Connectionism dari Thorndike dan teori Classical Conditioning dari Pavlov, namun juga sangat dipengaruhi oleh teori Behaviorism dari Watson. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Thorndike ada dua jenis proses belajar, yaitu: 1) proses pemilihan respons (respons selection) dan mengaitkannya dengan stimulus, sesuai dengan dalil sebab akibat, dan 2) perampatan stimulus (associative shifting) di mana respons terhadap stimulus yang satu akan dimunculkan terhadap stimulus lain yang dipasangkan bersama. Bagi Thorndike prinsip utama adalah proses pemilihan respons dan pengaitan dengan stimulus yang terjadi dalam proses coba-coba, sedangkan proses perampatan stimulus merupakan prinsip tambahan saja. Namun, bagi Guthrie, proses perampatan stimulus justru menjadi titik fokus utama dalam teorinya. Guthrie relatif tidak menerima dalil sebab akibat sebagaimana pandangan Thorndike. Hal-hal tersebut yang menjadi perbedaan utama antara teori Thorndike dan teori Guthrie
Watson menggunakan percobaan-percobaan Pavlov sebagai paradigma dalam proses belajar. Kemudian beliau mengadopsi refleks terkondisi sebagai bagian dari pembiasaan. Sementara itu Guthrie, disisi lain memulai asumsinya dengan prinsip pengkondisian (conditioning) atau perampatan stimulus (associative learning), namun bukan semata-mata hanya dilandaskan pada prinsip percobaan pengkondisian dari Pavlov. Dalil Guthrie yang pertama tentang proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakan, pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan tersebut. Dalil yang kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi dan atau keterkaitan yang tinggi dengan respons yang ditimbulkannya pertama kali. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang terakhir terjadi yang akan muncul atau terulang lagi seandainya kombinasi stimulus yang sama dihadirkan kembali.
Berdasarkan teori Contiguous Conditioning dari Guthrie, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil penelitiannya terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua binatang mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan tidak semua binatang memiliki indra yang sama untuk menerima informasi. Di samping itu, menurut Guthrie, latihan akan mengakomodasikan ataupun menghilangkan respons-respons tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang muncul dapat dihasilkan suatu respons yang menyeluruh sebagaimana yang diharapkan yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Guthrie percaya bahwa keterampilan mewakili sejumlah kebiasaan, oleh karena itu belajar dapat dicapai sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan. Lebih lanjut, Guthrie menyatakan bahwa motivasi mempengaruhi. belajar secara tidak langsung yang terlihat melalui penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu (merespons).
Reward atau penghargaan/pujian menurut Guthrie merupakan prinsip yang sekunder. Penghargaan dapat berhasil dengan baik jika binatang memang tidak dihadapkan pada situasi lain selain yang akan menghasilkan respons yang benar. Penghargaan juga tidak memberi penguatan terhadap respons yang benar, tetapi diakui bahwa penghargaan menghindari terjadinya pengurangan respons yang benar. Sama dengan penguatan, hukuman juga berpengaruh terhadap belajar, dan sangat ditentukan oleh alasan individu melakukan sesuatu. Secara umum, Guthrie percaya bahwa alat prediksi yang paling baik,terhadap belajar adalah respons yang muncul terhadap stimulus dalam suatu proses yang terakhir terjadi. Oleh karena itu proses belajar dapat dijelaskan melalui reaksi terkondisi yang akan muncul berdasarkan pengalaman masa lalu, dan sesuai dengan prinsip asosiasi.
Perampatan belajar dapat terjadi dalam situasi yang baru karena adanya kesamaan elemen atau komponen antara situasi/stimulus yang lama dengan situasi/stimulus yang baru. Penekanan Guthrie terhadap konsep yang dikenal dengan istilah movement-produced stimuli atau stimulus yang menghasilkan gerakan terkondisi merupakan modifikasi dari teori Thornlike. Namun demikian, menurut Guthrie, hasil belajar yang diperoleh dipercaya bersifat permanen, sampai terjadi proses belajar yang baru. Oleh karena itu, lupa dapat terjadi karena respons yang muncul dalam proses belajar yang baru menggantikan hasil belajar yang sebelumnya. Proses lupa ini terjadi secara bertahap, sama seperti hasil belajar juga diperoleh secara bertahap melalui serangkaian proses belajar yang berulang.

2.2.6 B.F. Skinner (1904-1980)        
B.F. Skinner, seorang  Psikolog Harvard mengusulkan sebuah teori yang disebut dengan Operant Conditioning. Dalam istilah sederhana, pengkondisian operant Skinner adalah belajar didasarkan pada konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku menimbulkan respon. Dengan cara ini, perilaku dapat dikatakan diperkuat, dan hampir semua acara dapat bertindak sebagai penguatan. Oleh karena itu, seperti dalam contoh kata-kata yang stimuli dalam tingkat tinggi pengkondisian.
Skinner menganggap Reinforcement  sebagai faktor terpenting dalam proses pembelajaran. Skinner berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Operant Conditioning merupakan suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat lebih kuat akibat Reinforcement  langsung. Skinner menguji teorinya dengan percobaannya terhadap tikus-tikus dalam sangkar, digunakan suatu "diskriminative stimulus" (tanda untuk memperkuat respon) misalnya tombol, lampu, pemindah makanan. Disamping itu digunakan pula suatu "Reinforcement  stimulus, berupa makanan"
            Reinforcement  dalam teori Skinner memiliki makna segala bentuk konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku. Konsekuensi ini akan memperkuat kemunculan perilaku yang diharapkan. Misalnya jika merpati memperoleh makanan sebagai akibat dari mematuk kunci maka merpati akan berusaha untuk selalu mematuk kunci (frekuensi mematuk kunci akan meningkat). Menurut Skinner, untuk dapat mendapatkan  efektifitas yang baik,  hal yang perlu dimodifikasi dalam penguatan harus diberikan langsung setelah pemunculan respon yang diharapkan.
            Setiap penguatan yang memperkuat pemunculan respon yang benar disebut penguatan yang positif. Namun ada juga jenis-jenis penguatan yang melalui penghilangan, justru memperkuat pemunculan respon yang benar  yang disebut dengan penguatan negatif. Misalnya penguatan dengan pemberian test yang mendadak kepada siswa. Test mendadak diberikan kepada siswa untuk meningkatkan proses belajar siswa, jika test mendadak itu tidak diberikan lagi, dan pemahaman siswa terhadap pelajaran terus meningkat maka test mendadak tersebut berfungsi sebagai penguatan negatif.
            Penguatan negatif sering kali menghasilkan dampak pengiring berupa emosi yang dikenal dengan nama anxiety (kecemasan) dan rasa takut. Kecemasan dan rasa takut dapat diwujudkan secara operasional dengan hilangnya perhatian dan minat terhadap kegiatan yang sedang berlangsung, atau secara fisik pergi atau lari dari situasi yang dihadapi. Misalnya anak yang selalu dimarahi karena tidak merapikan tempat tidurnya setelah bangun pagi, maka akan merasa cemas jika orang tuanya tahu.
            Penguatan positif merupakan penguatan yang merangsang pemunculan respon yang benar, sedangkan penguatan negatif memperkuat pemunculan respon yang benar melalui penghilangan. Disamping penguatan positif dan negatif, ada juga hukuman. Hukuman menurut Skinner melibatkan proses pengurangan bahkan penghilangan penguatan positif, serta menambahkan penguatan negatif. Skinner menekankan bahwa hukuman dapat menghasilkan tiga dampak yang tidak diharapkan, yaitu hukuman hanya bersifat sementara dalam menghilangkan respon yang tidak diinginkan, hukuman dapat menimbulkan perasaan yang tidak mengenakkan seperti malu, rasa bersalah, dan lain-lain, dan yang terakhir, hukuman dapat menimbulkan pemunculan perilaku yang dianggap mengurangi hadirnya stimulus yang tidak menyenangkan contohnya anak kecil berpura-pura sakit karena tidak mau mengikuti upacara bendera dll. Secara umum, hukuman tidak menghasikan perilaku yang positif. Oleh sebab itu, Skinner lebih menganjurkan penguatan positif dan negatif daripada pemberian hukuman jika ingin memperoleh respon yang benar.

2.2.6.1 Jenis-jenis Reinforcement    
Menurut Skinner jenis-jenis Reinforcement  ada 6 (enam) yaitu:
2.2.6.1.1 Positive Reinforcement : penyajian Reinforcement  yang meningkatkan probabilitas suatu respon.
2.2.6.1.2 Negative Reinforcement : pembatasan Reinforcement  yang tidak menyenangkan, yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon
2.2.6.1.3 Hukuman: pemberian Reinforcement  yang tidak menyenangkan misalnya, contradiction or reprimand. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus yang menyenangkan (revoving a pleasant or reinforcing stimulus).
2.2.6.1.4 Primary Reinforcement : Reinforcement  dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
2.2.6.1.5 Secondary or learned Reinforcement : Reinforcement  tingkat lanjutan berupa pemberian materi pembelajaran
2.2.6.1.6 Modifikasi tingkah laku guru: perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan minat kesenangan mereka.

2.2.6.2 Penjadwalan Reinforcement
Penjadwalan Reinforcement  menurut Skinner ada 4 (empat) cara diantaranya:
2.2.6.2.1 Fixed ratio schedule: yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang mana pemberi Reinforcement  baru memberikan penguatan respon setelah terjadi jumlah tertentu dari respon.
2.2.6.2.2 Variable ratio schedule: yang didasarkan atas penyajian bahan pelajaran dengan penguat setelah sejumlah rata-rata respon.
2.2.6.2.3 Fixed interval schedule : yang didasarkan atas satuan waktu tetap di antara Reinforcement.
2.2.6.2.4 Variable interval schedule : pemberian Reinforcement  menurut respon betul yang pertama setelah terjadinya kesalahan-kesalahan respon.
            Teori Skinner tidak hanya mencakup penjelasan terhadap proses belajar sederhana, namun juga proses belajar konfleks, yang dikenal dengan nama Shaping yang dilakukan secara bertahap perancangan (manipulasi) stimulus yang diskriminatif dan penguatan. Menurut Skinner, proses shaping dapat menghasilkan perilaku yang konpleks tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh secara alamiah atau dilakukan dengan sendirinya. Shaping yang bekelanjutan dilakukan untuk memperoleh perilaku kompleks, disebut dengan program menurut Skinner.
            Kesimpulan yang diperoleh Skinner setelah melakukan serangkaian percobaannya adalah bahwa:
1.      setiap langkah dalam proses belajar perlu dibuat pendek-pendek, berdasarkan tingkah laku yang pernah dipelajari sebelumnya,
2.      untuk setiap langkah yang pendek tersebut disediakan penguatan yang dikontrol dengan hati-hati,
3.      penguatan harus diberikan sesegera mungkin setelah respons yang benar dimunculkan,
4.      stimulus diskriminatif perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat diperoleh perempatan stimulus dan peningkatan belajar.
5.      Anteseden dan perubahan prilaku
Lebih lanjut dinyatakan oleh Skinner bahwa selain Reinforcement, anteseden dalam teori Operant Conditioning memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan petunjuk apakah sebuah prilaku akan mendapatkan konsekuensi yang positif atau negatif. Skinner membuat eksperimen dengan burung. Dalam eksperimennya tersebut dijelaskan ketika lampu menyala maka burung akan mematukkan paruhnya untuk mengambil makanan, Sebaliknya, ketika lampu mati burung tersebut tidak mematukkan paruhnya. Dengan kata lain, dalam eksperimen tersebut burung telah belajar menggunakan anteseden cahaya sebagai sebuah tanda untuk membedakan kemungkinan konsekuen yang akan dia dapatkan ketikan dia mematuk. http://kliknet.web.id/2011/11/09/makalah-psikologi-belajar-%e2%80%93-teori-belajar-menurut-skinner/ diakses Rabu, 30 November 2011 jam 14.12 Wita.

2.3 Penerapan Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran.
Teori psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah teori behaviorisme. Seperti yang telah dipaparkan di atas, teori  ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Konsep stimulus diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup. dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons dari Pavlov diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (perampatan dan atau diskriminasi stimulus – Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus-menerus. Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan melalui teori yang dikemukakan oleh Thorndike yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja entah itu dengan contoh, gambar, media, mapun melalui beragam metode sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita, bahwa latihan bagi siswa menjadi penting nilainya dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih.
Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, situasi di mana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang pangs, pada saat siswa barn saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga 'perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep observable behaviour dari Watson. Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Teori Behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret yang lebih menekankan pada outcome. Premis dasar dari teori Behaviorisme adalah stimulus dan respons. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulus. Di dalam proses stimulus dan respons terdiri dari beberapa unsur, yaitu dorongan (drive), stimulus atau rangsangan, respons dan penguatan (reinforcement). Hasil ilmu dan pengetahuan yang diperoleh oleh seseorang menurut pandangan Behaviorisme adalah merupakan hasil dari interaksi antara stimulus dengan  respons.  Teori Behaviorisme mengalami perkembangan dari masa ke masa. Tokoh- tokoh teori ini diantaranya Petrovich Pavlov, Edward L. Thorndike, John B. Watson, Clark Hull, Edwin R. Guthrie dan B.F. Skinner.
  
3.2 Saran
            Mengingat mutu pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi keberlangsungan individu maupun bangsa, maka seorang guru seyogyanya memiliki kecakapan dalam mengelola pembelajaran. Terkait dengan penerapan teori Behaviorisme dalam pembelajaran, seorang tenaga pendidik (guru) harus mampu mengelola hubungan stimulus respons dengan baik agar  hasil belajar siswa dapat optimal yang nantinya memberi imbas positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
           
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri C. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Marta, I Nengah. (2008). Modul Pengantar Pendidikan. Singaraja : Undiksha.
Winataputra, Udin S. dkk (2007). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.

Sumber Internet :
 http://alkohol7.wordpress.com/2008/11/21/makalah-psikopen-teori-belajar/
http://kliknet.web.id/2011/11/09/makalah-psikologi-belajar-%e2%80%93-teori-belajar-menurut-skinner/
http://my.opera.com/a6us/blog/2010/03/26/teori-behavioristik-dalam-pembelajaran
http://nuraeni68.blogspot.com/2011/10/makalah-teori-belajar-bahavioristik.html
http://rohman-makalah.blogspot.com/2008/07/teori-belajar-akhmad-sudrajat-m.html
http://www.maziatul.com/2009/07/teori-belajar-behaviorisme-dan.html






Pengkajian kristalisasi sekte-sekte yang pernah ada di Bali dalam ritual Panca Yadnya


Sejarah mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah memontum penting dalam perkembangan agama Hindu. Pada saat itu yang memegang tapuk kepemimpinan di wilayah Bali adalah raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dengan permaisuri Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Agama berkembang begitu pesat, ini dibuktikan dengan adanya banyak sekte pada zaman itu. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi konfik secara fisik. (Nurkancana, 1997 : 139). Persaingan sekteis ini menyebabkan ketenteraman Bali menjadi tergangu. Kemudian, raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni mengambil langkah  politis atas keresahan yang terjadi. Maka, diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba mencarikan solusi dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian mengundang semua pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan) yang diadakan di Batu Anyar (sekarang wilayah Kab. Gianyar).  Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :
1)             Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
2)              Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3)              Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).  
Konsensus (kesepakatan) tersebut merupakan wujud dari sinkretisme sekte-sekte yang ada pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi tentram. Masing-masing sekte saling menjaga toleransi antara satu dengan lainya, ini berkat kesuksesan Mpu Kuturan sebagai pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan yang mampu mengakomodir semua sekte Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte yang pernah ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). (Goris dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta.

1.               Sekte Siwa Shidanta
            Sekte Siwa Sidhanta merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara  yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga dunia. (Nurkancana, 1997 : 134).  Dari 2 buah deskripsi di atas  kata Shidanta  merujuk pada sebuah kesimpulan atau inti. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas kata Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaistik. Ajaran Siwa Sidhanta mengutamakan pemujaan terhadap Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Penganut Siwa Sidhanta tetap memuja Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya sesuai tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu merupakan manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda.

2.        Sekte Brahmana
   Sekte Brahmana adalah pemuja Dewa Api (Dewa Agni). Menurut  kepercayaan Hindu Dewa Api identikkan dengan Dewa Brahma ini karena perkembangan pemahaman theologi tentang dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi dewa Wisnu dan beberapa resuffle dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber : http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.01 Wita).
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara yang lebih banyak didominasi dengan penggunaan sarana api. Salah satu ritual yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana dalam Panca Yadnya secara nyata dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, dipa dan api takep.

3.        Sekte Resi
 Resi ini di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di hutan. Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui adanya tempat-tempat pertapaan  sebagaimana di Jawa, sehingga keberadaan Rsi itupun tidak jelas adanya. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan adanya Resi sebagai pedanda atau mereka yang bertindak sebagai pendeta yang bukan berasal dari wangsa Brahmana, tetapi pedanda Resi ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja.(Suhardana, 2008 : 114)

4.      Sekte Sora (Surya)
Sekte Sora (Surya) menempatkan Dewa Matahari (Surya) sebagai dewa utama dalam pemujaan. Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49). Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute 
Terjemahan : 
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan. 
5.      Sekte Pasupata
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu. (Gunawan, 2012 : 48 ; Nurkancana, 1997 : 135).
6.        Sekte Ganapatya
   Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja Dewa Ganesha sebagai dewa utama. Banyaknya patung-patung Ganesha yang ditemukan di Bali menunjukkan betapa besarnya pengaruh sekte ini. Semua patung tersebut di buat pada zaman kerajaan gelgel.  Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada umumnya patung-patung beliau di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada bahaya, misalnya di lereng-lereng gunung, di lembah maut, penyeberangan sungai dan lain sebagainya. (Nurkancana, 1997 : 136). Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain. Kini banyak masyarakat Hindu menstanakan arca Dewa Ganesha di depan rumah mereka sebagai simbol penghalang mara bahaya. Konsepsi pelinggih Jero Gede yang ada di Bali disinyalir  mengadopsi konsep Dewa Ganesha.
Di Bali, Ada sebuah ritual khusus yang didedikasikan untuk menghormati Dewa Ganesha yang disebut dengan Rsi Gana. Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru. (Sumber : http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html, diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.35 Wita).
7.      Sekte Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu Sekte Wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sad Cakra (enam cakra), yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012 : 49 ; Nurkancana, 1997 : 136).
Mada (mabuk-mabukan), Mamsa (makan daging), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu hitam) merupakan ciri-ciri dari sekte ini. Sehingga dalam ritual pemujaan, bahan-bahan seperti daging, darah, arak dan berem merupakan bahan yang sering digunakan oleh sekte ini. Bukti dari kristalisasi sekte Bhairawa ke dalam Siwa Sidhanta yang masih dianut oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah adanya Caru.  Hal unik, peninggalan sekte Bhairawa dalam bidang kuliner adalah masakan khas Bali yaitu Lawar. Lawar adalah  masakan yang berbahan dari daging cincang, kelapa parut, racikan bumbu dan darah mentah yang diaduk sedemikian rupa hingga menimbulkan  tekstur warna merah pada parutan kelapa dan memiliki cita rasa yang khas.

8.        Sekte Waisnawa
   Sekte Waisnawa adalah sekte yang memuja Wisnu sebagai dewa utama. Eksistensi sekte ini di Bali dapat dilihat dari adanya konsepsi pemujaan terhadap Dewi Sri (Sakti Dewa Wisnu). Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. (Gunawan, 2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memilki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suhardana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara.

8.1  Sisi Upacara
Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan :
1)             Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2)             Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3)             Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4)             Gayah Urip,  mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
5)             Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6)             Banten Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah, diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7)             Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .

8.2     Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini :
1)             Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
2)             Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru  di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3)             Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam, ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu. (Sumber : http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/, diakses diakses Kamis 29 Maret 2012 Pukul 16.03 Wita).
9.      Sekte Sogatha (Buddha)
Adanya sekte Sogatha atau Buddha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Buddha tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. (Gunawan, 2012 : 49). Sekte inilah yang dalam perkembangan selanjutnya diakui oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang disebut agama Buddha.
Sumbangsih sekte ini dalam ritual Hindu adalah penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut Pis Bolong dalam berbagai upacara yadnya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kewangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Kata Pis Bolong secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan berupa huruf-huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini  berupa mantra-mantra yang mengagungkan Siwa-Buddha serta adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.

Kesimpulan
Sebagaimana diketahui, pada masa silam di Bali terdapat banyak sekte meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau tempat suci. Tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta (utpeti), pemelihara (stiti) dan pelebur (pralina), namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara Kramaning Sembah ataupun Surya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Dewa Ganesha dipuja dalam upacara Rsi Gana sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh sekte Bhairawa. Tidak lupa pula, komponen-komponen penyusun ritual yadnya juga mendapat pengaruh dari masing-masing sekte. Adanya tirta dan bija merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa, adanya komponen berupa api adalah pengaruh dari sekte Brahmana, penggunaan pis bolong sebagai komponen pelengkap upakara  merupakan pengaruh sekte  Sogatha. Demikian pula persembahan berupa daging dan darah dalam caru adalah pengaruh dari sekte Bhairawa.
Berdasarkan  pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa memanglah benar adanya kristalilasi ajaran sekte-sekte dalam ritual Panca Yadnya yang ada di Bali. Kristalisasi ini bisa terjadi baik dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya. Sebagaimana sebuah warna bagi pelangi, seperti itu pula ajaran sekte-sekte yang terintegerasi  dalam  Hindu. Pelangi tidak akan indah bila hanya satu warna, apalagi bila masing-masing warna mengakui dirinya paling indah. Pelangi itu indah bila warna itu terpadu secara apik. Sejarah telah membuktikan bahwa, ego sektoral (ego sekteis) hanya akan mengantarkan peradaban ke ambang perpecahan.  Memanglah tidak mungkin bila kita ingin memisahkan ajaran-ajaran sekte tersebut di atas secara terpisah dan partial, mengigat ajarannya telah mengkristal dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah mencari tahu dari sekte mana sebuah kearifan ajaran itu berasal yang kemudian berkristal dan memberikan warna indah bagi "pelangi" Hindu. 

Daftar Pustaka
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja  (Tanpa Penerbit).                        
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar :  Bali Post
Suhardana, K.M. 2008. Tri Murti. Surabaya : Paramita.
                       , 1994. Doa Sehari-hari Menurut Hindu. Denpasar : Pustaka Manik Geni.
http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/
http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html