Taburan Hati

SCM Music

Rabu, 11 Desember 2013

UNSUR-UNSUR INTRINSIK KASUSASTRAAN BALI YANG BERTEMA CINTA

TUGAS MATA KULIAH
BAHASA DAERAH II

UNSUR-UNSUR INTRINSIK KASUSASTRAAN BALI
YANG BERTEMA CINTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Ada sebuah julukan yang pernah diberikan kepada pulau Bali berkaitan dengan dunia sastra dan naskah yaitu, Bali adalah penyimpan naskah-naskah dan budaya lama.  Hal ini wajar terlontar pasalnya, Bali memang memilki sejarah yang menarik dalam kaitannya dengan perkembangan kasusastraan. Pembendaharaan kasusastraan Jawa Kuna dan Jawa Tengahan memang "tersimpan" di Bali. Malah tidak  ada satupun karya sastra Jawa tengahan yang di temukan di Jawa, tetapi keseluruhannya ditemukan  di Bali.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam Agastia (1994 : 24) menyatakan, "Pulau Bali adalah peti tempat menyimpan perbendaharaan sastra dan budaya lama". Yang dimaksudkan"budaya lama" oleh beliau adalah sastra-sastra Jawa Kuna. Sastra-sastra Jawa Kuna itu memiliki kepustakaan dalam jumlah yang banyak dan beraneka, memiliki nilai yang sangat kaya dan indah termasukkidung di dalamnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Zoetmulder dalam Agastia (1994 : 24) berdasarkan penelitiannya berasumsi bahwa sekitaran pertengahan abad ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat berbagai pusat kebudayaan dan religi. Sehingga sebagai suatu konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa. Bahwa di pusat-pusat kebudayaan dan keagamaan itu, bahasa Jawa hampir tidak dituturkan dan ditulis.  Sastra Jawa tidak hanya dimaklumi dan dipelajari tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya baru yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan, semenjak itulah berkembang kasusastraan Bali pada mulanya dan masih eksis sampai sekarang
Kasusastraan Bali banyak mengangkat tema yang ada dalam realitas kehidupan sosial di masyarakat. Itulah salah satu mengapa sastra Bali bisa ajeg berdiri di balik gerusan zaman, dikarenakan tema yang diusungnya begitu akrab di mata masyarakat Bali dan mampu mengakomodir sisi perasaan masyarakat pendengar dan pembaca sastra (penikmat sastra Bali). Tema itu menjadi bagian integral penyusun karya sastra disamping unsur lainya. Tema dalam pandangan sastra, merupakan salah satu unsur intrinsik yang ada di dalam sebuah karya sastra. Salah satu tema yang begitu populis di mata khalayak sastra adalah tema cinta. Karena cinta adalah bagian dari kehidupan yang bisa dirasakan oleh semua orang, baik tua maupun muda, laki maupun perempuan, kaya dan miskin dan lain sebagainya.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1.2.1    Apakah yang dimaksud dengan kasusastraan Bali?
1.2.2    Apa saja unsur-unsur intrinsik kasusastraan Bali?
1.2.3    Apa saja unsur intrinsik dalam sekar rare yang bertema cinta?
1.2.4    Apa saja unsur intrinsik dalam sekar alit yang bertema cinta?
1.2.5    Apa saja unsur intrinsik dalam sekar agung yang bertema cinta?
1.2.6    Apa saja unsur intrinsik dalam puisi Bali yang bertema cinta?
1.2.7    Apa saja unsur intrinsik dalam cerpen Bali yang bertema cinta?

1.3       Tujuan
1.3.1    Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kasusastraan Bali
1.3.2    Untuk mengetahui unsur-unsur intrinsik kasusastraan Bali
1.3.3    Untuk mengetahui intrinsik dalam sekar rare yang bertema cinta
1.3.4    Untuk mengetahui intrinsik dalam sekar alit yang bertema cinta
1.3.5    Untuk mengetahui intrinsik dalam sekar agung yang bertema cinta
1.3.6    Untuk mengetahui intrinsik dalam puisi Bali yang bertema cinta
1.3.7    Untuk mengetahui intrinsik dalam cerpen Bali yang bertema cinta
BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Kasusastraan Bali
            Istilah kasusastraan jika dipenggal dari suku katanya akan menjadi ka-su-sastra-an. Berasal dari kata dasar "sastra" yang berasal dari bahasa Sansekerta "Castra"  ( Cas = ajar, tra = alat untuk. Ini berarti Castra = alat untuk belajar) sedangkan imbuhan su berarti baik, indah, bagus dan sesuatu yang lain yang bermakna positif lainya.  Sehingga susastra bisa bermakna isi tulisan yang indah.
            Kata sastra dalam arti sebenarnya mengandung makna (i) huruf (aksara), (ii) tulisan, dan kini dikenal sebagai (iii) karya tulis yang berupa sastra (meliputi prosa, puisi dan drama). Oleh karena berarti tulisan maka dalam pengertian sastra Bali tradisioanal pengertian sastra mencakup semua karangan yang dinyatakan dalam bentuk tulis. Sastra Bali juga mencakup pengertian huruf (aksara), yang meliputi hurufWresastra, Swalalita, Modre dan berarti semua yang ditulis di atas daun lontarpun dinyatakan sebagai karya sastra tradisional. (Antara, 2011 : 1)
            Kasusastraan Bali berarti segala hasil karya cipta sastra yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya, dan memuat kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif. Pada umumnya, kasusastraan bali telah dikomunikasikan dengan memakai huruf Bali dan huruf Latin. Para pengarang Bali diistilahkan dengan nama pengawi yang dalam istilah masa kini disejajarkan dengan istilah penyair (puisi), sastrawan (prosa), dalam jaman tradisional istilah karangan disebut karya atau damel, seperti sekar rare, sekar alit, sekar madya, sekar agung, disamping lontar bergambar atau diistilahkan denganprasi. (Antara, 2011 : 2)  
Layaknya kasusastraan pada umumnya, kasusastraan Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan (oralty) dan bentuk tertulis (literary). Menurut kategori periodisasinya, kasusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa merupakan sastra Bali yang diwarisi secara tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sedangkan Sastra Bali Anyar adalah karya sastra yang diciptakan masyarakat Bali yang telah mengalami modernisasi, atau biasa disebut sastra modern. Sastra Bali sebelum dikenal adanya kertas di Bali, umumnya ditulis di atas selembar daun lontar. Karena ditulis di atas   daun lontar, "buku sastra" ini disebut dengan "lontar". Memang ada bentuk tertulis lainnya, seperti prasasti, dengan menggunakan media seperti batu dan lempengan tembaga, namun tidak terdapat karya sastra Bali yang ditulis di atas bilah bambu, kulit binatang, katu, dan kulit kayu. Belakangan setelah dikenal adanya kertas, penulis karya sastra Bali menuliskan karyanya di atas kertas, bahkan sudah banyak yang diketik.
Bentuk-bentuk kasusastraan Bali sangat beragam dan mengangkat berbagai tema tertentu, berikut akan penulis bahas bentuk-bentuk kasusastraan Bali itu. Bentuk-bentuk kasusastraan Bali itu meliputi :
1.       Tembang (puisi)
Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan tembang menjadi empat kelompok, yaitu: Gegendingan (Sekar Rare), Gending Sanghyang, Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare, Sekar Madya/Kekidungan
       Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk pengertian. Ada tiga jenis gegendingan, yaitu:
(a)   Gending Rare atau Sekar Rare, mencakup berbagai jenis lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilakukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira. Beberapa contoh tembang adalah Meong-meong, Juru Pencar, Ongkek-ongkek ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, Pul Sinoge dan lain-lain.
(b)     Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) sanghyang-sanghyang,misalnya pada prosesi budaya peninggalan zaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang yang meliputiSanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojong, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat dan sebagainya.
(c)  Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan secara bersama-sama dan saling sahut-menyahut satu sama lain. Contoh Gending Jejanggeran yaitu Putri Ayu, Siap Sangkur, Mejejangeran dan lain-lain.
b)      Sekar Alit
Kelompok sekar alit yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan, atau pupuh terikat oleh hukum padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdongGuru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan pada setiap suku kata pada setiap barisnya. Guru dingdong adalah uger-uger (peraturan) yang mengatur jatuhnya huruf vocal pada tiap-tiap akhir suku kata.
c)       Sekar Madya/Kekidungan
Yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa Tengah, yaitu seperti bahasa yang diergunakan di dalam lontar/ cerita panji atau malat dan tidak terikat  oleh guru laghu maupun padalingsa.
d)      Sekar Agung
Meliputi lagu-lagu berbahasa kawi yang diikat oleh hukum guru laghu. Pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah kakawin. Kakawin adalah puisi bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa jawa kuno. Masyarakat Bali mengenal banyak jenis kakawin seperti: Aswalalita, Wasantatilaka, Tanukerti, Sardulawikradita, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
2.      Gancaran (Prosa)
Gancaran biasa ditulis dalam bentuk syair atau tembang. Gancaran adalah karangan yang tidak bersajak. Contoh:
Mahabarata oleh Bhagawan Byasa
Satua Ni Diah Tantri oleh I Made Pasek
Tunjung Mekar oleh I Ketut Sukrata, dan lain sebagainya.
3.      Palawakya (Prosa Liris)
Prosa liris adalah bentuk prosa yang terpengaruh oleh puisi. Contoh dari Palawakya ini adalah drama. Antara drama dan sastra sangat erat hubungannya. Hampir semua drama di Bali berasal dari khasanah sastranya. Munculnya drama dalam sastra Bali merupakan hasil ciptaan langsung sebagai karya pentas. Tidak ada drama yang merupakan hasil olahan karya sastra seperti novel. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya karya prosa dalam sastra Bali.
Drama dalam kasusastraan Bali terbagi atas 2, yaitu drama Bali klasik dan modern. Unsur-unsur drama Bali klasik dapat kita lihat dari segi cerita dan suasana cerita , ilustrasi dan beberapa aspek gerak. Sedangkan unsur-unsur drama Bali modern terletak pada dialog dan tata lampu atau dekorasi. Ditinjau dari struktur umumnya, drama Bali modern belum ada yang mengambil bentuk drama kontemporer. Namun dasar strukturnya jelas berasal dari drama sastra Indonesia modern. Hal ini dapat kita lihat melalui teknik adegan, dialog, dan petunjuk mengenai suasana. Aspek yang banyak terdapat dalam drama Bali klasik sudah tak ada lagi.
2.2     Unsur-unsur intrinsik kasusastraan Bali
          Unsur-unsur intrinsik kasusastraan Bali adalah komponen-komponen "dalam"  yang membangun kasusastraan Bali.  Unsur-unsur intrinsik itu meliputi : (1) Judul adalah suatu nama yang diusung yang mengungkapkan makna apa yang terjadi dalam alur cerita yang digambarkan oleh pengarang. (2) Tema adalah topik yang menjadi sumber karangan dalam karya sastra. (3) Alur cerita adalah apa yang menjadi cerita bagaimana cerita itu dan bagaimana akhir cerita dalam karya sastra yang berhubungan dengan kronologi waktu. (4) Penokohan adalah orang maupun pribadi yang diceritakan dalam karya sastra serta watak masing-masing pribadi tersebut. (5) Latar adalah lingkungan atau tempat peristiwa berlangsungnya jalan cerita. (6) Gaya Bahasa adalah seni atapun model bahasa yang bisa membuat karya sastra menjadi lebih indah maupun menarik. (7) Sudut Pandang adalah posisi dari pengarang dalam karya sastra yang ia buat. (8) Amanat adalah pesan atau petuah yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karya sastranya.
          Tema yang kami usung dalam kajian kami tentang kasusastraan Bali adalah cinta. Mengapa kami mengusung tema ini, tiada lain karena tema ini adalah sesuatu yang universal dan menurut kami begitu menarik untuk dibahas. Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya Purwodarminto, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang (kepada). Pengertian ini jika dikaji secara mendalam ternyata memiliki pandangan yang begitu sempit. Cinta dalam pengertian yang luas adalah bukan hanya hubungan dari dua orang anak remaja yang saling suka. Sri Krisna pernah mewejangkan spirit tentang cinta kepada Arjuna di medan laga Kuruksetra, beliau mengatakan "Ketahuilah wahai Partha, di antara Tuhan dengan pemujanya, antara ayah dengan anak, antara guru dengan murid, diantara sahabat dan kekasih, dasar hubungan mereka adalah pengabdian dan kasih sayang (cinta).  Dari kutipan di atas dapat kita cermati bahwa cinta memilki cakupan yang begitu luas.
          Hubungan cintalah yang mengantar setiap insan mencapai kebahagiaan. Cinta merupakan hubungan yang harmonis antara Tuhan dengan hambanya, antara orang tua dengan anak, antara guru dengan murid, antara sahabat dan yang ada diantara dua sejoli dengan kata lainnya semua hubungan sejatinya adalah cinta.  Ada pandangan lain pula, bahwa di satu sisi cinta adalah penderitaan, deritanya tiada akhir. Pandangan ini jika diteropong dengan kaca mata holistik dan universal ternyata sebuah kekeliruan. Merunut apa yang pernah disampaikan oleh seorang motivator super Indonesia, Mario Teguh bahwa "bukan cinta yang membuat orang menderita tapi cara mencintai dan dicintai yang salah"
          Terkait dengan kasusastraan Bali dengan tema yang diusung, ada suatu wilayah khayal yang berada diantaranya yaitu rasa. Pengertian rasa dalam sastra memang tidak sama dengan pengertian rasa sebagaiman diartikan oleh masyarakat luas. Rasa merupakan pengolahan sang kawi atas emosi, karena rasa berbeda dengan emosi. Emosi bersifat personal sedangkan rasa bersifat universal (Agastya, 1994 : 55). Cinta adalah salah satu rasa, ia begitu dahsyat dan hebat, hingga para pengawi kasusastraan Bali-pun ikut memunculkannya ke dalam garapan cerita dan karangannya. Lewat kesusastraan, pengawi bisa mengajak pembaca mengikuti riak-riak perasaan cinta.
2.3     Kasusastraan Bali yang bertema cinta
2.3.1  Sekar Rare
Sekar Rare
Terjemahan
Mara bangun 
Kamare kedasin
Luhune sampatang
Mailehan nganteg ke natahe  
Laut manjus
Awake kedasin                                   
Suba pada bersih                   
Ditu cening mara masuk        
Baru bangun
Bersihkanlah kamar tidur
Sapukanlah sampah (kotoran) yang ada
Sekeliling sampai di halaman
Lalu kemudian mandi
Membersihkan diri
Kalau sudah bersih
Disana kamu (anak) baru bersekolah.

Interpretasi : - Secara harfiah, lagu diatas adalah sebuah wejangan bagi seorang anak agar selalu menerapkan disiplin dan cinta terhadap kebersihan diri dan wilayah sekitar serta rajin menimba ilmu
                       - Secara filsafat, di sini hubungan antara manusia dengan Tuhan. manusia dipandang sebagai anak (cening) dan tuhan adalah orang tua semesta yang penuh cinta kasih yang memberikan wejangan suci. Ketika manusia itu sadar (bangun), bersihkanlah raga (tempat tidur) ini, tempat yang menyebabkan manusia itu lupa terhadap esensi hidup. Segala kekotoran harus dihilangkan, dari kehidupan diri dan sekitarnya. Di saat semua sudah bersih, barulah manusia itu bisa dikatakan masuk ke wilayah atapun kehidupan suci.  
Tema : Cinta (Kasih Sayang).
Alur : Maju.
Sudut pandang: Orang ketiga, pengarang sebagai peninjau.
Amanat : - Secara harfiah, Menjadi seorang anak harus rajin menjaga kebersihan diri dan lingkungan sebagai cetusan rasa cinta dan bhakti kepada diri sendiri dan lingkungan.
                - Secara filsafat, seorang hamba tuhan dan penekun jalan kerohanian (pecinta Tuhan) hekdaknya selalu menjaga kebersihan jiwa dan raga.

2.3.2    Sekar Alit (Pupuh)
            Untuk sekar alit, di bawah ini adalah salah satu contoh pupuh yang akan kami bahas, yaitu pupuh Semarandhana, seperti disebutkan di bawah ini:
Sadurung tityang mapamit
Aksi sembah tityange Bapa
Mogi-mogi sanilar tityange
Urip I Bapa sadya jumah
Miwah belin tityange Cupak
Apang tuara nemu kengguh
Pamit sampun tityang Bapa
Teges ipun:
Inggih Bapa Guru pengajian titiange sane tresnain titiang, sadurung titiang mapamit, pirengang atur titiang Bapa,
Atur titiang puniki, kadulurin antuk sembah bhaktin titiang, aksi sembah titiang puniki Bapa,
Titiang nunas ica ring Ida Sang Hyang Parama Kawi, dumogi risampun titiang matilar, saking genah iriki ngubu,
Sepanjang yusa Bapa ring jagate, state satya nyantos titiang mewali, driki ring rarompok.
Nenten lali naler ring belin titiange Cupak, mangda nyarengin Bapa driki ring kubu,
Mangdane Bapa lan Beli jumah, nenten je nemu pikobet.
Wantah asapunika titiang matur Bapa, mangkin titiang nglungsur pamit majeng ring Bapa.
Terjemahan:
Ayah yang sangat kucintai, sebelum anakmu ini pergi, dengarkanlah,
Kata-kataku ini Ayah, kuimbangi dengan sujud bhaktiku, terimalah hormat anakmu ini Ayah,
Aku selalu berdoa pada Sang Pencipta, semoga nanti setelah aku pergi dari rumah ini,
          Ayah setia menungguku sampai akhir hayat Ayah di rumah,
Begitu pula kakakku, Cupak, agar menemani Ayah di rumah.
dan semoga Ayah serta kakak tidak menemui bahaya,
Hanya itu yang aku bisa sampaikan, izinkanlah aku untuk pergi Ayah.
          Adapun unsur-unsur instrinsik yang terkandung dalam pupuh Semarandhana di atas adalah sebagai berikut:
Tema                 : Cinta (Kasih Sayang)
Alur                   : Menceritakan tentang pesan yang disampaikan oleh Gerantang kepada Ayahnya serta memohon doa restu sebelum ia pergi meninggalkan rumah.
Penokohan        : Pelaku adalah Gerantang yang menyampaikan pesan terakhir kepada Ayahnya sebelum kepergiannya dari rumah.
Sudut pandang: Orang pertama tunggal, pengarang sebagai pelaku utama
Amanat             : Sebagai anak, wajib berbhakti kepada orang tua (guru pengajian), dengan kasih sayang yang tulus, pengabdian dengan orang tua adalah kewajiban seorang anak.

2.3.3  Sekar Agung
          Dalam pembuatan makalah ini, kami juga mengambil contoh sekar agung yang memiliki keterkaitan dengan tema yang kami angkat yaitu tentang cinta, tepatnya wujud pancaran kasih kepada tuhan berupa konsepsi sauca (kebersihan jiwa dan raga), yaitu sebagai berikut:
Arjuna Wiwaha (Wirama Tothaka)
Sasi wimba haneng ghata mesi banyu
Ndanasing suci nirmala mesi wulan
Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin
Ringangambeki yoga kiteng sakala
Teges ipun:
Sekadi lawat bulane sane wenten ring junne medaging toya
Sakewanten wantah sane ening tan pateleteh kewanten madaging lawat bulan
Sekadi punika paduka Bhatara ring saluwir panumadianne
Ring sang ngincepang yoga paduka Bhatara pikanten nyekala
Terjemahan:
Bagaikan bayangan bulan di dalam sebuah belanga/periuk yang berisi air.
Hanya pada setiap tempat yang suci tanpa noda berisi bayangan bulan.
Seakan-akan demikianlah Engkau terhadap semua makhluk.
Kepada orang yang sedang melaksanakan yogalah engkau (Tuhan) menampakkan diri
Tema : Sauca (kebersihan jiwa dan raga) yang merupakan wujud cinta                kepada Tuhan
Sudut pandang : Pengarang sebagai orang kedua, pencerita
Amanat : Tuhan akan datang kepada orang yang memiliki jiwa dan pikiran yang jernih, bagaikan tempayan yang berisi air yang jernih, maka bayangan bulan akan nampak di dalam air tersebut. Air yang jernih merupakan perumpamaan dari pikiran manusia, sedangkan bulan merupakan perumpaan Beliau (Tuhan Yang Maha Esa). Oleh karena itu, kita sebagai manusia diharapkan memiliki jiwa dan pikiran yang jernih untuk mampu bertemu dengan-Nya.

2.3.4 Puisi
Tresna Meme Lan Bapa
Olih : Ni Made Ayu Indra Wahyuni

Tuuh titiange mangkin sampun duang dasa tiban
Nanging titiang durung prasida
Ngwales tresnan meme lan bapa

Meme...!
Ipun sane mobotang tan salawas sangang sasih
Sane ngembasang titiang
Sane ngurukang mlajah majalan
Nyantos mangkin titiang matuuh dasa tiban

Bapa....!
Ipun mekarya ngerereh jinah
Mangda prasida numbasang titiang susu
Mangda prasida titiang ngeranjing
Nyantos titiang mangkin bajang tur prasida
Ngerereh urip manut amah, umah, miwah somah

Meme miwah bapa
Tresnan meme lan i bapa kawastanin tulus tanpa pamrih
Nenten manuntut walesan ring sikian titiang sakadi pianak
Wit titiang kantun magenah ring tengahing weteng i meme
Nyantos titiang pramangkin sampun kawastanin kelih

Terjemahan :

Usuiaku sekarang sudah dua puluh tahun
Tapi aku belum bisa
Membalas cinta ibu dan ayah

Ibu.....!
Dia yang mengandungku selama sembilan bulan
Yang melahirkanku
Yang mengajariku berjalan
Sampai sekarang aku berumur sepuluh tahun

Ayah.....!
Dia bekerja mencari nafkah
Supaya bisa membelikan aku susu
Supaya bisa aku bersekolah
Sampai aku sekarang dewasa dan dapat
Mencari nafkah untuk makan, rumah dan suami

Ibu dan ayah
Cintamu adalah tulus, tanpa pamrih
Tak menuntut balasan kepadku sebagai anak
Semasih aku ada di dalam perut ibu
Sampai aku sekarang dinamakan dewasa

Unsur- unsur intrinsik dari puisi diatas ialah :
1.             Tema puisi diatas tentang kecintaan seorang ayah dan ibunya yang senantiasa menjaga dan merawat anaknya hingga dewasa. Sang anak belum dapat membalas atas semua pemberian orang tuanya. Dia akan selalu ingat dengan kasih sayang yang telah diberikan oleh orangtuanya.
2.             Judul puisi diatas Tresna Meme Lan Bapa (Cinta dari ibu dan ayah)
3.             Alur atau plot dengan menggunakan alur maju dan mundur
4.             Gaya bahasa  :  Majas Klimaks, karena pengarang dalam puisinya menceritakan umur dari yang muda/ kecil meningkat ke umur yang lebih dewasa
 (...Ipun sane mobotang tan salawas sangang sasih.., ...Nyantos mangkin titiang matuuh dasa tiban...) dan (...Wit titiang kantun magenah ring tengahing weteng i meme, Nyantos titiang pramangkin sampun kawastanin kelih...)
5.             Sudut pandang : Orang pertama tunggal, pengarang sebagai pelaku utama
6.             Diksi : Penggunaan bahasanya sangat datar bahkan tidak ditemui ragam bahasa kias. 
7.             Sudut Pandang : Orang pertama tunggal, pengarang sebagai pencerita.
8.             Amanat yang dapat di petik dalam puisi yang berjudul meme lan bapa yakni:  kita sebagai anak tidak beleh lupa dengan orang tua, ingat pengorbanan sang ibu yang mengandung kita selama 9 bulan yang sudah menyusahkan ayah kita agar bekerja untuk menghidupi anaknya. Orang tua tak pernah memaksa agar kita membalas semua yang diberikannya. Ia selalu iklas dan mengajarkan kita agar kita selalu berada di arah yang benar dan dapat menncapai tujuan akhir bisa mencari makan, mempunyai rumah dan berkeluarga. Pada akhirnya kita akan merasakan bagaimana perjuangan orangtua kita demi anaknya agar tumbuh dewasa.

2.3.5  Cerita Pendek (Cerpen)

NI LUH SARI
Olih: Putu Sedana

   Kacerita mangkin wenten jadma mapumahan ring Banjar Tegal, ipun medrebde bapa sampun ninggalin padem, kantun padaduanan Ni Luh Sari ring memen ipune. Ni Luh Sari sampun anom jegege tanpa tanding, kenyemne mangalap jiwa, kemikan bibihe manis nyunyur, putih gading, pangadege langsing lanjar. Bengong wiakti anake mengantenang. Naning kejegegane tan anut ring parisolah ipune. Sering tungkas ring papineh anak tua, tur degage mangonyang.
   Ni Luh Sari mangkin sampun kelas kalih ring SLTA. Santukan merasa ring dewek jegeg, jantos engsap ring paplajahan tungkul ngitungang kejegegan. Selid sanja mapayas ring kamare nenten naenin melajah. Sabilang wengi mapeneman ring para anggurane nyantos dalu. Memene sampun merasa kuciwa ngwelin ipun, taler tan prasida antuka.
   Sedek dina anu sedeng nyalah masa, Ni Luh Sari madabdab-dabdab mapayas, santukan inget ring janji pacang melali sareng timpalne muani-muani. Parisolah Ni Luh Sarine senglad kakantenang olih memenipune, raris kasambat sara, “Ning, man lakar kija kali jani nyalah masa Ning? Buina jani rainan gede, meme jumah padidi merasa kosek yening Cening megedi.”
   Ni Luh Sari gelis nyaurin sada banggras, “Tiang lakar jumah timpale sep Me, pacang melajah santukan benjang wenten ulangan ring sekolah.”
   Di gelis mecebur Ni Luh Sari melaib ka rurunge sebenge sada jengis mirib anak sebet santukan kasambatsara olih memen ipune. Ring jabaan sampun wenten timpal ipun muani nyadia nyantos Ni Luh Sari. Akejepan sampun megandeng sareng timpalne muani gragak-gruguk sayan ngedohang. Mangkin kantun memen ipun jumah padidi naanang sedih ngembeng yeh peninggalane ngantenang parisolah pianak ipune raris ipun ngeranjing ring genah pianakne masare. Kancit kakantenang potrekan anak muani katah pisan majajar magantung ring tembok kamare. Saos malih wenten buku matumpuk-tumpuk ring duur mejane tongos Ni Luh Sarine melajah. Iseng taler memen ipun nyemak bukune abesik, nanging boya ja buku paplajahan sane wenten irika, boya seos sami buku-buku komik miwah buku-buku cabul. Ajahan mekebios yeh peningalane, antuk tan sida naanang kebus atine buka borbor. Sambilang ipun ngebahang dewek ring plangkane, sigsigan ipun ngeling inget teken ngelah pianak setata nyakitin rerama. Sampun wengi paksana ngidemang peningalane mangda dados ugi mesare. Nanging tan sida sirep santukan inget ring pianak kantun melali mamukti karasmin. Sampun reke das lemah Ni Luh Sari raris nogdog jelanan.
   “Me, Me ampakin jelanan tiang mara teka.” Gelis memen ipun nyagjagin tur ngampakin jlanan.
   “Yah....nguda dadi kali jani mara teka Ning? Man nyen ane ngatehang Ning?”
   “Meme data-data takonanga mirib te Meme tusing taen bajang.” Ngedebros Ni Luh Sari melaib ka pasarean tur ngancing jelanan. Mekebios yeh peningalane memen ipun ningehang pasaut pianakne keto. Ring pedeman memen ipun terus nyiksik bulu sambilanga mapineh-pineh ngalih daya anggon ngurukang pianak nyane.
   Benjang pesemengan Ni Luh Sari sampun nabdabang payas nyadia pacang luas ngulurin keneh liang. Kenyem memen ipune nyambat sara, “Ning, lakar kija semengan Ning? Mangsegan anake kapah-kapah de bas ngulurin keneh gati!”
   “Ih Me, mangkin raina Redita tiang lakar melali sep!”
“Oh........meme anak suba nawang jani mula Redita Ning, nah Nning mai te malu paakang awake, meme ada besenang malu abedik!” Macebur Ni Luh Sari ngelenang liat, tan rungu ring patakon memene, terus nyagjag ka rurunge. Ajahan sampun ba duur sepeda motore magandeng ngajak timpalne muani. Ngencolang memen ipun nyagjag ngetut aji paliat, nanging ajaban sampun ical kapalaibang antuk sepeda motor. Kasuen-suen ngancan kaon kakantenang parisolah pianak ipune, nyantos berag tegreg kisut reraman ipune ngenehang pianakne.
Sedek dina anu semengan Ni Luh Sari nabdabang payas pacang melali sareng timpal-rimpal ipune muani. Saking tan sida antuk naanang kebus atine, raris memen ipun nyambatsara sada keras, “Sari kapahin ja melali, senglad meme nepukin tingkah anak luh buka nyai, busan-busan ngajak anak muani sep ngajak ne, sep ngajak to tusing pesan matilesang awak anang gigis..........” Di gelis nyagjag Ni Luh Sari sadia pacang nimpalin raos memen ipune.
“Ye......Meme da suba nambakin anake buka tiang, tiang anak suba kelih, ngelah batis anggon majalan, ngelah peningalan anggon medasin. Meme anak suba tua mirib to tusing taen bajang.”
“Oh.......adengan malu mamunyi Ning! Da keto awak ngancang kelih, melahang mapineh......” Dereng puput memen ipune ngeraos saget kasaurin olih Ni Luh Sari, “Anak mula len sela Karang teken sela Badulune, anak mula len jaman sekarang teken jaman malune. Jaman malu jaman cikar, yen care jani sube jaman kapal terbang. Jaman jani bebas, japi luh japi muani tusing ada bedane. Pantes Meme anak kolot mong tusing nawang bebedag, ah.......” Ngencolang nyemak tas jeg ngedebros melaib ka rurunge......
“Anti malu Luh.....meme ada raosang abuku.....” Sepanan memen ipune nyagjagin jeg sampun baduur motor pite megandeng ngajak anak muani, ajahan sampun ical tan kakantenang. Duaning tan dados ngelemekin Ni Luh Sari, antuk sampun merasa kemig tur kenjel mituturin pianakne taler tan runguange, mangkin nengil memen ipune tan rungu ring pianakne.
Sampun kasuen-suen sedek dina anu dauh ro, memen ipune sampun usan meratengan ring paon, raris negak ring kursine sambilanga mapineh-pineh. Ni Luh Sari wau bangun uli di kamare sebenge layu dudus paningalane bengul, digelis nyagjagin meme, saha ature alus masambilan ngeling.
“Me.....Me titian nunas ampura, nista Meme madrebde pianak kadi titiang.....” Mekesyab memen ipune antuk tumben ngantenang solah pianakne kadi sapunika.
“Man apa Ning, apa mirib ane sebetang Cening tumben anake buka Cening paak teken meme!”
“Tiang....tiang....”, pegat-pegat munyin ipune santukan lintang lek teken i meme.
“Nah lautang Ning da lek teken meme!”
“Tiang.......sampun......sampun........misi.” Makebios yeh peningalan memen ipune wau miragi atur pianake kadi sapunika.
“Nah.....nah....dong taraning suba. Meme kemig nguel anake buka Cening dong ane buka kene jejehang meme. Anak cara jani bas bebas pergaulan luh-luhe, liu ane tungkas teken papineh anak tua mapi paling ririh, nganti engsap teken awak luh, liu ane suba mabukti liu ane tusing nyidaang menerusang sekolah ban kene suba buka Cening.”
“Am....ampura...titiang Me, ampura..........”
“Nah kudiang ngalih lemahe ibi Ning, tusing nyandang selselang ane sube liwat. Meme lacur ngelah pianak buka Cening, anak Cening mula anggon meme sasuluh sesai, anggon meme bungan umah ane nyandang cagerang, meme sing sube tua, apang ada ane slelegin meme. Nanging ane kene temu meme. Nah anak titah, Ning, sing dadi olih iraga, Ida Hyang Parama Kawi ane uning. Yen tusing pelih ban meme ngorahang ne ane madan karmapala.”
Irika raris Ni Luh Sari nyelsel raga tau teken dewek pelih. Duk saking irika raris ngobah papineh anut ring tutur reraman ipune.
                                                           
Adapun unsur-unsur intrinsik pada cerpen berjudul Luh Sari di atas adalah sebagai berikut :
1. Tema : Kasih Sayang (Cinta)
2. Alur : Maju
3. Tokoh : Ni Luh Sari, Meme Ni Luh Sari
4. Perwatakan :
Ni Luh Sari : Keras kepala, berbohong, angkuh, sombong.
Meme Ni Luh Sari : Sabar, Tabah dan Bijaksana.
5. Latar : Di Rumah Ni Luh Sari
6. Sudut Pandang : pengarang sebagai orang ketiga, pencerita
6. Gaya Bahasa :
     Pleonasme :
    ...ngelah batis anggon majalan, ngelah peningalan anggon medasin..
     Metaphora :
     ...anggon meme bungan umah ane nyandang cagerang...
     Hiperbola :
     ...kenyemne mangalap jiwa, kemikan bibihe manis nyunyur...
     Litotes :
     ...nyantos berag tegreg kisut reraman ipune ngenehang pianakne...
    Sarkasme :
   ...Pantes Meme anak kolot mong tusing nawang bebedag...
7. Amanat : - Semasih kita menuntut ilmu lakukanlah kewajiban-kewajiban sebagai siswa, jangan sampai gara-gara masalah cinta semua cita-cita yang di inginkan  menjadi musnah,
- Janganlah terlalau membanggakan diri akan wajah yang cantik atau tampan. Karena wajah/rupa yang tampan ataupun cantik bisa membuat lupa diri sehingga mengakibatkan kehancuran.
- Jalanilah saran orang tua karena tidak mungkin orang tua mengajarkan anaknya tidak baik.

BAB III
PENUTUP
3.1       Simpulan
            Kasusastraan Bali berarti segala hasil karya cipta sastra yang mempergunakan bahasa Bali sebagai media komunikasinya, dan memuat kehidupan masyarakat Bali secara imajinatif. Unsur-unsur intrinsik dalam kasusastraan Bali meliputi : Judul, Tema, Alur cerita, Penokohan, Latar, Gaya Bahasa, Sudut Pandang dan Amanat. Tema tentang cinta dalam karya sastra adalah tema yang memilki nilai universal, karena cinta ada dalam setiap perikehidupan manusia. Cinta bukan lagi didefenisikan sebagai hubungan dua remaja semata namun lebih dari pada itu cinta merupakan dasar relasi kehidupan. Cinta adalah salah satu rasa, ia begitu dahsyat dan hebat, hingga para pengawi kasusastraan Bali-pun ikut memunculkannya ke dalam garapan cerita dan karangannya. Lewat kesusastraan, pengawi bisa mengajak pembaca mengikuti riak-riak perasaan cinta.
           
DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

Antara, I Gusti Putu. 2005. Sastra Bali Purwa. Singaraja : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Ganesha.

Antara, I Gusti Putu. 2010. Telaah Puisi Bali Modern. Singaraja : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Ganesha.

Antara, I Gusti Putu. 2011. Prosa Fiksi. Singaraja : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Ganesha.

Astawa, I Made Olas. 2010. Buku Ajar Ilmu Sosial Budaya Dasar. Singaraja : Tanpa Penerbit.







0 komentar:

Posting Komentar