Taburan Hati

SCM Music

Kamis, 12 Desember 2013

SEJARAH KEBUDAYAAN HINDU KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PENGARUH HINDU DAN BUDHA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1980).
            Pendapat lama mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah sangat rendah. Dan pendapat ini harus diterima dengan hati-hati. Dari keterangan-keterangan orang asing, didapat kesan bahwa mereka memandang bangsa Indonesia telah memiliki kebudayaan yang agak lumayan kebudayaannya tetapi masih perlu dihidupkan agar dapat lebih maju (Setyawati Sulaiman: 1986).
            Berdasarkan data arkeologi, dapat diketahui bahwa bagaimana kebudayaan Indonesia sebelum mendapat pengaruh Hindu itu masuk. Hal itu bisa dilihat dari hiasan-hiasan pada nekara-nekara perunggu sehingga dapat diketahui bahwa rumah-rumah orang kaya merupakan rumah besar bertiang dengan atap melengkung. Kolong rumah merupakan tempat pemeliharaan ternak. Rumah semacam ini biasanya didiami oleh beberapa keluarga.(Putu Gelgel dkk, 1996: 92)
            Kebudayaan Indonesia asli yang belum mendapat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hindu India tercermin dalam kebudayaan yang berkembang pada masa prasejarah. Unsur-unsur kebudayaan asli tersebut terwujud dalam bentuk bahasa, teknologi, organisasi sosial, religi dan kesenian prasejarah Indonesia dan telah memberi gambaran  kepribadian dari manusia pendukungnya.
            Akulturasi terjadi di dalam kebudayaan Indonesia dimulai pada awal zaman sejarah, di mana kebudayaan Indonesia mulai mendapat pengaruh dari Kebudayaan Hindu dari India. Dikatakan pada awal zaman sejarah karena sebelum Hindu masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia belum mengenal tulisan. Semenjak Hindu masuk ke Indonesia, banyak kebudayaan yang mendapat pengaruh serta mengalami akulturasi dengan kebudayaan Hindu India.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan, yaitu:
1.2.1        Apa saja unsur-unsur kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia?
1.2.2        Bagaimana pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hindu dan Budha pada masa kerajaan di Indonesia?
1.2.3        Apa saja hasil-hasil kebudayaan pada masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia?

1.3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui unsur-unsur kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia
1.3.2        Untuk mengetahui pengaruh Hindu dan Budha pada masa kerajaan di Indonesia
1.3.3        Untuk mengetahui hasil-hasil kebudayaan pada masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Unsur-Unsur Kebudayaan Hindu yang Mempengaruhi Kebudayaan Indonesia
            Unsur-unsur dari kebudayaan Hindu India yang datang mempengaruhi kebudayaan Indonesia sedikitnya terdiri dari enam unsur, yaitu:
1.   Bahasa (Bahasa Sansekerta), serta huruf Pallawa
            Sebelum bahasa Sanskerta masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memiliki bahasa Ibu. Di mana pada masa ini telah berkembang bahasa Austronesia yang berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan bercocok tanam.  Setelah bahasa Sankerta masuk disertai dengan adanya penggunaan huruf Pallawa, maka bangsa Indonesia masuk ke dalam masa sejarah yang dimulai dengan berdirinya kerajaan Kutai.
2.   Teknologi, terutama arsitektur bangunan  dan  irigasi
            Teknologi dalam hal ini bukan hanya terbatas benda-benda yang terlihat pada zaman sekarang, tetapi teknologi yang dimaksud yaitu pada intinya suatu alat yang dipakai untuk dapat menguasai lingkungan. Sistem peralatan dan teknologi kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia terutama dapat dilihat dalam teknologi arsitektur dan irigasi. Contoh konkret dari pengaruh unsur peralatan dan teknologi ini adalah terlihat dalam bentuk bangunan candi-candi di pulau Jawa seperti: Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Mendut dan lain-lain. Namun yang perlu diingat bahwa pengaruh unsur kebudayaan Hindu ini tidak langsung ditelan mentah-mentah oleh bangsa Indonesia, tetapi mengalami penyesuaian dengan kepribadian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga bentuk candi-candi yang berada di Inonesia tidak sama dengan candi-candi yang berada di India. 
3.    Organisasi sosial
Unsur kebudayaan Hindu di bidang organisasi sosial yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia dalam hal ini tampak nyata dalam konsep dasar sistem kerajaan dan sistem Warna yang berkembang di Indonesia. Sebab, sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia belum mengenal sistem kerajaan serta sistem Warna. Hal ini terbukti dengan kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan yang beridentitaskan Hindu (kerajaan Hindu) yaitu kerajaan Kutai.
4.   Sistem pengetahuan
            Dalam sistem pengetahuan, pengaruh kebudayaan Hindu terlihat dalam ilmu kedokteran, yang tercantum dalam buku-buku Usada, Ilmu hukum antara lain terdapat dalam kitabManawadharmasastra, dan pengetahuan seksologi yang terdapat dalam kitab Kamasutra.
5.   Agama atau Religi
            Kebudayaan Hindu memberikan pengaruh di bidang agama yaitu yang berupa agama Hindu dan Budha. Dalam hal kepercayaan atau religi, bangsa Indonesia tidak menelan begitu saja pengaruh kebudayaan Hindu di bidang agama karena sebelum agama Hindu datang ke Indonesia, bangsa Indonesia telah mengenal sistem kepercayaan pemujaan kepada roh nenek moyang yang merupakan budaya asli Indonesia berdampingan dengan pemujaan kepada Sang Hyang Widhi yang merupakan pengaruh kebudayaan Hindu.
6.   Kesenian
            Unsur kesenian adalah unsur yang paling menonjol dalam suatu kebudayaan jika dibandingkan dengan unsur-unsur lainnya. Mengenai unsur kesenian dari kebudayaan Hindu yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia terlihat dalam wujud seni sastra, seni bangunan, seni patung dan seni hias (Koentjaraningrat,1980:84).
         
2.2 Pengaruh Hindu dan Budha pada Masa Kerajaan di Indonesia
2.2.1 Kerajaan Kutai
            Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia abad ke 4 Masehi. Bukti sejarahnya dengan ditemukan 7 buah prasasti dalam bentuk yupa yang memakai huruf Pallawa berbahasa Sanskerta dalam bentuk syair.
            Ditulisnya prasasti-prasati yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa menunjukkan bahwa kerajaan Kutai telah mendapat pengaruh agama Hindu dari India, di mana bahasa serta tulisan banyak dikuasai oleh kaum Brahmana yang menduduki status tertinggi dalam masyarakat. Golongan ini pula yang mungkin memimpin upacara vratyastoma untuk pengangkatan Aswawarman dan Mulawarman sebagai raja dan Pendeta Brahmana agama Hindu di Kerajaan Kutai. 
            Salah satu prasasti yang berbentuk yupa menyebutkan bahwa raja yang memerintah adalah Raja Mulawarman yang merupakan raja yang besar, yang berbudi baik, kuat, anak Aswawarman, cucu Kundungga. Nama Kudungga kemungkinan adalah nama asli yang belum mendapat pengaruh dari India, sedangkan kata yang berakhiran –warman merupakan nama yang biasa digunakan di India. Ini menunjukkan bahwa pada saat Kudungga memiliki anak yang kemudian diberi nama Aswawarman, kerajaan Kutai telah mendapat pengaruh Hindu.
Prasasti lainnya  semua berkaitan dengan yajna yang dilakukan oleh Raja Mulawarman. Menurut cerita penduduk setempat, Kerajaan Hindu di Kalimantan Timur yang disebut Kutai Martapura ini berlangsung sampai 25 generasi. Raja terakhir bernama Dharma Setia dikalahkan oleh Pangeran Sinum Panji Mendapa yang beragama Islam pada awal abad ke-17.
2.2.2 Kerajaan Tarumanegara
            Kerajaan Tarumanegara berdiri di Jawa Barat sekitar abad ke 4-5 Masehi. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Bukti tentang keberadaan kerajaan ini terlihat dari ditemukan 7 buah prasasti antara lain: Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Ciaten, Tugu, dan Lebak. Prasasti ini menggunakan Huruf Pallawa dengan Bahasa Sanskerta. Ketujuh prasasti tersebut memberi keterangan tentang keberadaan kerajaan Purnawarman di Jawa Barat.
Diantaranya yang terpenting adalah :
1)      Prasasti Ciaruteun
            Prasasti ini menyebutkan bahwa adanya bekas tapak kaki seperti kaki dewa Wisnu yaitu kaki yang mulia Purnawarman, raja di negeri Taruma yang gagah berani. Sedangkan di Kebon Kopi disebutkan adanya gambar tapak kaki gajah yang dikatakan sebagai tapak kaki gajah Dewa Indra (Airawata).
2)      Prasasti Tugu
            Prasasti ini merupakan prasasti terpanjang dan paling lengkap diantara prasasti Raja Purnawarman. Prasasati ini menyebutkan Raja Purnawarman yang berhasil menggali sebuah sungai bernama Gomati yang mengalir di tengah-tengah istana Raja Purnawarman. Penggalian dilakukan dalam waktu 21 hari dengan panjang 12 km. Pekerjaan ditutup dengan pemberian hadian 1000 ekor lembu kepada para brahmana.
Selain prasasti-prasasti tersebut, ada 3 buah artefak (arca) yang ditemukan :
            1). Arca Rajarsi
            Dalam prasasti Tugu juga disebutkan bahwa arca ini menggambarkan rajarsi yang memperlihatkan sifat-sifat Wisnu-Surya, dan Purnawarman dianggap penganut ajaran tersebut. W.F. Stutterheim berpendapat arca tersebut adalah arca Ciwa yang berasal dari abad ke-11 Masehi.
            2). Arca Wisnu Cibuaya I
            Diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi, dianggap memiliki persamaan dengan langgam seni Pallawa di India Selatan dari abad ke-7 sampai ke-8 Masehi, atau dengan Calukya (Marwati Djoened Poesponegoro, dkk; 1984:43)
            3). Arca Wisnu Cibuaya II
            Ditemukan di daerah Cibuaya juga, diperkirakan sebagai arca yang agak tua dilihat dari segi jenis bahan batu yang digunakan, bentuk arca, bentuk badan dan mahkotanya.
            Dari semua artefak baik prasasti maupun arca yang ditemukan, dapat dilihat bahwa kerajaan Tarumanegara mendapat pengaruh dari Agama Hindu. Kerajaan ini merupakan kerajaan kedua di Indonesia. Unsur-unsur kehinduan pada masa pemerintahan raja Purnawarman sangat jelas diungkapkan dalam prasasti-prasatinya antara lain disebutkan dalam prasasti Ciaruteun tentang gambar telapak kaki dewa Wisnu, prasasti Jambu tentang tapak tentang tapak kaki gajah Airawata yaitu gajah Dewa Indra dan hal ini mencerminkan adanya unsur-unsur yang tertuang dalam Rg.Weda. Selanjutnya dalam prasasti Tugu diungkapkan tentang adanya pelaksanaan upacara kurban setelah selesai melakukan penggalian sebuah sungai dengan pemberian hadiah 1000 ekor lembu kepada Brahmana. Ungkapan ini menunjukkan adanya pelaksanaan yadnya serta pemberian hadiah kepada brahmana tidak lain merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan ajaran dana punia yang merupakan isi dari ajaran agama Hindu.
            Unsur-unsur budaya Hindu India yang mempengaruhi budaya Indonesia pada masa kerajaan Tarumanegara terutama pada masa pemerintahan raja Purnawarman dapat terlihat dari budaya tulisan yang telah mempergunakan tulisan dan bahasa Sanskerta di samping agama Hindu. Namun pengaruh Hindu masih belum kuat pada golongan rakyat jelata, tetapi golongan bangsawan elit lingkungan keraton Raja Purnawarman sangat kuat memegang kebudayaan Hindu India. Mereka merupakan golongan terdidik yang menguasi bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa. Raja Purnawarman sendiri adalah pemeluk Hindu yang taat dan sangat dekat hubungannya dengan golongan Brahmana. Diberikannya 1000 ekor slembu kepada golongan ini yang tertulis dalam prasasti Tugu, menunjukkan bukti eratnya hubungan tersebut. Dari segi ekonomi diungkapkan dalam prasasti Tugu yakni penggalian sungai Gomati ini membuktikan bahwa raja Purnawarman menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan masyarakat terutama di bidang pertanian dan keamanan sebagai pengendali banjir.
2.2.3 Kerajaan Holing/Kaling
            Keberadaan tentang adanya Kerajaan Holing/Kalingga yang berlokasi di Jawa Tengah ini terdapat dalam sumber luar negeri yaitu berita Cina dan Prasasti Mahakutta serta sumber dalam negeri yakni Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu
            Prasasti Mahakutta (601 Masehi) menyebutkan bahwa raja Kertiwarman I yaitu raja negeri Calukya barat yang mengalahkan beberapa musuh-musuhnya raja negeri Pandya, Dramila, Chola dan Kalingga. Pembesar Kalingga melarikan diri ke Indonesia beserta orang Hindu dan mendirikan kerajaan Kalingga. Sumber berita Tionghoa dari zaman pemerintahan raja T’ang (618-906) disebutkan nama kerajaan Kaling/Holing berlokasi di Jawa Tengah. Holing/Kalingga diperintah oleh seorang raja putri bernama Ratu Sima (674-675 M) dengan hukum kejujuran dan setiap peraturan mutlak dilaksanakan.
            Kabar dari I-tsing menceritakan tentang kegiatan keagamaan di Holing/Kalingga, khususnya Agama Budha Hinayana dibuktikan dengan kunjungan pendeta tionghoa bernama Hwui-ning bekerjasama dengan seorang pendeta Holing bernama Joh-po-to-lo yg menerjemahkan salah satu kitab Agama Budha. Kitab tersebut memuat cerita tentang nirwana yang amat berlainan dengan cerita nirwana yang lazim di dalam agama Budha Mahayana. Sifat Kehinayanaan agama Budha di tanah Jawa diceritakan pula oleh T-tsing dengan membandingkan agama Budha yang dipeluk oleh orang kepulauan selatan, termasuk juga di Holing (tanah Jawa) ialah agama Budha Hinayana menurut mazhab Mulasawastiwadin (Poerbatjaraka; 1981:12).
            Sumber dalam negeri tentang proses kehidupan di Jawa Tengah sekitar pertengahan abad ketujuh didapatkan di dalam sumber prasasti yaitu Prasasti Tuk Mas. Dalam prasasti Tuk Mas (650 Masehi) mempergunakan huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Isi lengkapnya adalah:
             “sumber mata air yang airnya jernih dan dingin mengalir dari celah-celah batu    pasir    dihiasi dengan bunga tunjung putih dan berkumpul menjadi satu seperti      Sungai Gangga”.
            Di samping itu terdapat pula gambar alat-alat untuk upacara keagamaan Hindu seperti kendi, kapak, kalasangka dan sebagainya. Dari bukti-bukti yang didapat, terlihat bahwa kerajaan Holing/Kaling ini mendapat pengaruh selain agama Budha Hinayana yang berkembang pada pertengahan adab ke tujuh, juga hidup agama Hindu sesuai dengan keterangan yang didapat dari prasasti Tuk Mas berangka Tahun 650 Masehi.
2.2.4 Kerajaan Sriwijaya
            Kata Sriwijaya dijumpai dalam prasasti Kota Kapur (pulau Bangka). Sriwijaya yang dimaksud di sini adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan dengan pusat kerajaannya adalah Palembang. Bukti-bukti adanya kerajaan Sriwijaya terlihat dari ditemukannya 6 buah prasasti yang tersebar di Sumatera Selatan dan pulau Bangka.
            Prasasti tua ditemukan di daerah Kedukan Bukit di tepi sungai Talang, dekat Palembang yang berangka tahun 604 Saka atau 682 Masehi. Prasasti ini mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya mengenai perjalanan suci yang dilakukan oleh Depunta Hyang dengan perahu yang membawa tentara sebangyak 20.000 orang dan berhasil menaklukan daerah-daerah di sekitarnya.
             Prasasti Talangtuo (dekat Palembang) berangka tahun 684 Masehi ditulis dengan mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya tentang pembuatan taman Sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk kemakmuran semua mahluk Semua harapan dan doa yang tercantum dalam prasasti itu jelas sekali bersifat agama Buddha Mahayana.
            Prasasti Telaga Batu ditemukan dekat Palembang dengan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Pada bagian atas prasasti ini dihiasi dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang dengan hiasan kalung. Di bagian bawah prasasti ini terdapat cerat (pancuran) seperti yoni. Menurut Casparis prasasti ini diperkirakan sezaman dengan prasasti Kota Kapur yaitu dari pertengahan abad ke-7 Masehi. Isi prasasti ini adalah tentang kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja, serta memuat tentang data bagi penyusunan ketatanegaraan Sriwijaya. Dilihat dari isinya, maka dapat disimpulkan bahwa Prasasti Telaga Batu memiliki fungsi sebagai tempat untuk melaksanakan sumpah jabatan para pembesar keraton sebelum melaksanakan tugasnya.
            Prasasti Kota Kapur ditemukan di dekat sungai Menduk di Pulau Bangka bagian barat. Prasasti ini mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan angka tahun 686 Masehi. Isinya tentang kutukan kepada mereka yang berbuat jahat,  tidak tunduk dan setia kepada perintah raja akan mendapat celaka dan yang terpenting isinya adalah mengenai usaha Sriwijaya untuk menaklukan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
            Prasasti yang isinya hampir sama dengan prasasti Kota Kapur adalah Prasasti Karang Berahi yang ditemukan di tepi sungai Merangin di Jambi Hulu. Prasasti ini tidak menyebut kalimat terakhir prasasti kapur yang memuat angka tahun dan usaha penyerangan bumi Jawa.
            Adapun prasasti-prasasti singkat (pragmen) yang ditemukan yang berkaitan dengan kerajaan Sriwijaya, seperti prasasti Palas Pasemah yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 M yang isinya tentang peringatan hari takhluknya daerah Lampung Selatan oleh Sriwijaya. Disebutkan pula tentang kutukan-kutukan yang ditujukan terhadap daerah bumi Jawa termasuk di daerah Lampung Selatan dan daerah sekitarnya yang berani memberontak kepada Sriwijaya. Kemudian ditemukan pula pragmen prasasti Bukit Seguntang, pragmen prasasti Sabukiling dan sebagainya.
            Dari daerah Ligor Tanah Melayu ditemukan sebuah prasasti batu yang kedua sisinya bertulisan. Prasasti ini dikenal dengan nama prasasti Ligor A yang berangka tahun 775 Masehi dan menyebutkan seorang raja Sriwijaya membangun trisamaya caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Vajrapani. Selanjutnya  yang biasanya disebut prasasti Ligor B tidak menyebutkan angka tahun tetapi menyebutkan tentang seorang raja yang bernama Wisnu dengan gelar Sarwarimadawimathana atau pembunuh musuh-musush yang sombong tiada bersisa.
            Kemudian dari Nalada di India bagian Timur (Negara bagian Bihar) ditemukan sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa yang mempergunakan bahasa Sanskerta yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-9 M. Isinya tentang pendirian bangunan biara di Nalanda oleh raja Balaputradewa, raja Sriwijaya yang menganut agama Budha serta menyebutkan kakek raja Balaputradewa yang dikenal sebagai raja Jawa dengan gelar Sailendrawamsatilaka Sri Wirairimathana atau permata keluarga Syailendra pembunuh musuh-musuh yang gagah berani. 
            Berdasarkan sumber-sumber berita Cina menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan ilmiah agama Budha dan merupakan tempat persinggahan pendeta-pendeta Budha dari Cina yang akan menuju ke India dan juga yang akan pulang ke Cina dari India. Berita I-Tshing pada abad ke-8 menyebutkan terdapat 1000 orang pendeta yang belajar Agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Salah seorang guru besar Budha yang berdarah asli Sriwijaya adalah Dharmakirti yang bukan hanya disegani di Sriwijaya, melainkan juga oleh para pendeta dari Cina. Seorang pendeta Cina bernama Atica sangat mengagumi Dharmakirti dan menjadikannya sebagai guru Budha.
2.2.5 Kerajaan Mataram
            Sebelum kerajaan ini disebut kerajaan mataram, terdapat dua keluarga raja atau dinasti atau wangsa yang berkuasa di Jawa tengah sejak abad ke-8. Kedua wangsa tersebut memiliki corak kebudayaan yang berbeda. Mereka adalah Wangsa Sanjaya yang bercorak Hindu dan Wangsa Syailendra yang bercorak Budha. Penyatuan kedua wangsa ini terjadi pada abad ke-9 dengan adanya perkawinan antara Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) dan raja seorang putri keluarga Syailendra bernama Pramodawardhani yang merupakan anak Samaratungga, raja Syailendra.
            Bukti tentang keberadaan kerajaan ini terdapat dalam prasasti yang ditemukan di desa Canggal (sebelah barat daya Magelang), kemudian diberi nama Prasasti Canggal yang berangka Tahun 732 Masehi dan mempergunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskreta. Isinya menyebutkan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah Bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya.
            Prasasti Canggal juga menyebutkan Raja Sanjaya yg memerintah kerajaan Mataram di Jawa Tengah pertengahan abad ke-8 M adalah memeluk agama Hindu yang berkonsepsikan Tri Murti. Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo Jawa Tengah yang dihiasi / dipahatkan dengan relief Tri Murti di ketiga dinding candi. Candi Prambanan dekat Klaten Jawa Tengah, arca Tri Murti masing-masing diletakkan dalam candi sendiri-sendiri. Diperkirakan didirikan tahun 856 M dan dihubungkan dengan raja Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya.
             Pendirian sebuah lingga yang dilakukan oleh Raja sanjaya merupakan perlambang pendirian suatu kerajaan. Oleh karena itu, Sanjaya dianggap sebagai pendiri atau wamsakarta dari kerajaan Mataram Hindu. Ternyata pernyataan ini ditemukan juga dalam sumber-sumber yang lain seperti sumber cerita Parahyangan yaitu sebuah kitab yang menguraikan tentang sejarah Pasundan. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Sanna dikalahkan oleh Purbasora dari Galuh, dan menyingkir ke gunung merapi, tetapi penggantinya Sanjaya kemudian menaklukan Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Melayu.
            Gunawarman, putra raja Kasmir membawa ajaran Agama Budha Hinayana ke Jawa. Kehidupan Budha di Jawa Tengah berlangsung hanya sampai munculnya Dinasti Sailendra yang menganut Budha Mahayana. Munculnya Budhisme Mahayana di Jawa Tengah berasal dari Sriwijaya di Sumatera yang telah memeluk Budha Mahayana tahun 683 M
            Dalam kurun waktu 100 tahun pemerintahan Dinasti Sailendra didirikan beberapa bangunan suci Budha Mahayana seperti Candi Kalasan, Mendut, Borobudur, Tahun 856 M, Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dapat merebut kekuasaaan pemerintahan di Jawa Tengah, selanjutnya pemujaan Dewa Tri Murti mendapat tepat yang utama.
2.2.6        Isana di Jawa Timur
2.2.6.1  Isana di Jawa Timur
            Istilah wangsa Isana dijumpai dalam prasati Pucangan. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041) Masehi. Bagian prasasti yang berbahasa Sanskerta diawali dengan penghormatan terhadap raja Airlangga. Selanjutnya dimuat tentang silsilah raja Airlangga mulai dari raja Mpu Sindok mempunyai anak perempuan bernama Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahir seorang putra yang yaitu Sri Makutawangsawardhana dan di dalam bait ke-9 dari prasasti Pucangan sengaja dibuat keturunan wangsa Isana.
            Tampilnya Isana di Jawa Timur sebagai pengganti kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Hal ini dimungkinkan kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran yang diperkirakan disebabkan oleh adanya letusan gunung Merapi. Karena itu maka Mpu Sindok yang membangun kembali kerajaan di Jawa Timur, dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana
            Mpu Sindok sekurang-kurangnya memerintah sejak tahun 929 Masehi sampai dengan 948 Masehi. Dari pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar ditulis di atas batu. Isinya pun sebagian besar berkenaan dengan penetapan Sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa (Marwati Djoened Poesponegoro dkk, 1984;162 dst).
            Setelah pemerintahan Mpu Sindok, diikuti masa pemerintahan yang kurang jelas hingga pemerintahan Dharmawangsa hingga Airlangga. Pada masa pemerintahan Airlangga di jawa Timur dari tahun 1019-1042 Masehi menggantikan Dharmawangsa, ketentraman rakyat dapat diwujudkan. Ibu kotanya bernama Kahuripan. Ketentraman dan kemakmuran masa perintahan Airlangga Nampak pula tumbuhnya seni sastra seperti kitab Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa tahun 1030.
            Tahun 1041 atas pertolongan seorang Brahmana, kerajaan Kediri dibagi menjadi dua bagian yaitu Jenggala (Singasari) dengan ibukotanya Kahuripan dan Panjalu (Kediri) dengan ibukotanya Daha. Airlangga wafat dalam tahun 1049 Masehi yang dimakamkan di Tirta, sebuah bangunan suci dengan kolamnya yang terletak di Lereng Gunung Pananggungan dan terkenal sebagi Candi Belasan.
                       
2.2.6.2  Kerajaan Kediri
            Dari dua kerajaan yaitu Kediri dan Singosari didapatkan keterangan bahwa hanya Kedirilah yang mengisi perjalanan sejarah selanjutnya setelah Airlangga meninggal. Raja pertama yang memerintah berdasarkan prasasti tahun 1104 adalah raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu yang juga menamakan dirinya titisan Wisnu seperti Airlangga.
            Selanjutnya Kameswara (1115-1130) Masehi. Ada tampil kesusatraan yang digubah oleh Mpu Darmaja yaitu kitab Smaradhana yang memuji sang raja sebagai titisan dewa Kama. Pengganti Kameswara adalah Jayabaya (1130-1160) Masehi. Pengganti Jayabaya, Sarweswara (1160-170 M) dilanjutkan oleh raja Aryeswara (1170-1180 M), Gandra dari tahun 1190-1200 Masehi. Pemerintahan berada di tangan raja Srngga. Sebagai raja terakhir masa kekuasaan Kediri adalah raja Kertajaya (1200-1222 M) dan pada masa akhir pemerintahannya tahun 1222 M, menyerahkan mahkota kerajaan kepada Singasari.

2.2.6.3  Kerajaan Singasari
            Tampuk pemerintahan pertama di kerajaan Singasari adalah di tangan Ken Arok (1222-1227 M). Ken Arok pada mulanya mengabdi kepada seorang Awuku (semacam bupati) di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung, kemudian dibunuh oleh Ken Arok, lalu jandanya (Ken Dedes) dinikahinya. Tidak lama setelah Tunggul Ametung meninggal, Ken Dedes melahirkan anak yang diberi nama Anusapati. Dari perkawinannya dengan Ken Arok, Ken Dedes melahirkan putra yang bernama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari istrinya yang lain, Ken Umang, Ken Arok mendapat anak laki-laki yang bernama Tohjaya.
            Secara berututan setelah Ken arok meninggal dibunuh oleh Anusapati, pemerintahan berada di tangan Anusapati (1227-1248 M). Anusapati digantikan oleh Tohjaya (1248)M dan selanjutnya digantikan oleh Rangga Wuni (1248-1268 M). Raja ini adalah raja pertama yang namanya dikekalkan dalam prasati khususnya dari raja-raja Singasari.
            Dalam tahun 1254 M, Rangga Wuni menobatkan anaknya yaitu Krtanegara sebagai raja dan ia sendiri tetap memerintah kerajaan untuk anaknya. Rangga Wuni wafat pada tahun 1268 M dan dimakamkan di Waleri dalam perwujudannya sebagai Siwa dan Jajaghu (Candi Jago) sebagai Budha Amoghapasa.
            Pada masa pemerintahan Krtanegara paling banyak diketahui aktivitasnya. Dalam bidang pemerintahan, raja dibantu oleh tiga orang maha mantra, di bidang agama sang raja mengangkat seorang dharmadhyaksa rikasogatan (kepala agama Budha). Di samping itu juga ada seorang mahabrahmana mendampingi raja dengan pangkat sangkhadhara.
            Krtanegara adalah seorang raja yang menganut aliran Tantrayana. Hal ini dibuktikan bahwa pada saat dibunuhnya Krtanegara oleh tentara musuh, Krtanegara sedang melakukan upacara Tantrayana. Dari beberapa peninggalan arkeologi yang ditemukan, menunjukkan bukti lebih kuat tentang aliran Tantrayana yang dianut oleh Krtanegara. Seperti pada lapik arca”Joko Dolok” di Surabaya menyebutkan bahwa Krtanegara telah dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha), Aksobhya dan joko Dolok tersebut adalah arca perwujudan Krtanegara sendiri. Setelah Krtanegara wafat ia dinamakan Siwabudha (Pararaton dan Negarakertagama)

2.2.6.4  Kerajaan Majapahit
            Raja-raja yang berkuasa di Majapahit masih keturunan dari raja-raja Singasari. Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit adalah keturunan langsung Ken Arok dan Ken Dedes. Mungkin karena faktor genealogis maka cara-cara Raja Singasari memerintah diteruskan oleh raja-raja Majapahit. Pada pemerintahan Raden Wijaya (1293-1309) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh teman-teman seperjuangan yang tidak puas atas kedudukan yang diberikan oleh Raden Wijaya kepada mereka. Raden Wijaya meninggal tahun 1309 dan dibuat patung dalam bentuk Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.
            Pemberontakan juga terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara (1309-1328) M. Pemberontakan tersebut di lakukan oleh Juru Demung, Gajah Biru, Nambi, Semi, dan Kunti karena fitnah Mahapatih.
            Menurut kekawin Negarakertagama, pada masa pemerintahan Raja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350 M), juga terjadi pemberontakan di Sadeng dan Kunti pada 1331. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Gajah Mada. Karena jasanya ia diangkan sebagai Patih Mangkubumi pada 1331 M.
            Menurut kitab pararaton, sesudah peristiwa Sadeng, Gajah Mada mengeluarkan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa,yang menyatakan bahwa dia tidak akan amukti palapa sebelum dia dapat menundukkan seluruh nusantara, yaitu Gurun (Maluku), Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
            Tindakan pertama yang dilakukan untuk membuktikan sumpahnya adalah dengan menyatukan Bali (1343 M) disusul Melayu dan Pagarruyung (Minangkabau). Dalam melakukan sumpahnya berbagai taktik dilakukan termasuk tipu muslihat. Satu-persatu negara-negara kecil di Nusantara dapat ditundukkannya dengan mudah dan dipaksa untuk mengakui kedaulatan Majapahit. Namun, usaha menundukkan kerajaan Sunda Pajajaran yang dilakukan dua kali mengalami kegagalan. Akibat peristiwa tersebut, Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya sebelum dia kembali ketangga pemerintahan. Penyebab pengunduran diri itu adalah dia merasa gagal dalam menuntut pengakuan Kerajaan Sunda atas kedaulatan Majapahit.
            Kebesaran Majapahit lambat laun mengalami kesuraman pada masa akhir kekuasaan Hayam Wuruk. Kematian Gajah Mada pada 1369 dan ibu raja Hayam Wuruk pada 1379 menyebabkan Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dalam menjalankan pemerintahannya.
            Intrik politik di antara keluarga raja kembali terjadi setelah Hayam Wuruk meninggal pada 1389. Anaknya yang lahir dari seorang selir yang bernama Bhre Wirabhumi dan menantu  Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana memperebutkan kekuasaan dan pada akhirnya yang mendapatkan kekuasan itu adalah Wikramawardhana. Dan kemarahan Bhre Wirabhumi semakin memuncak ketika Wikramawardhana meyerahkan kekusaan kepada anaknya. Selama lima tahun (1401-1406 M) terjadi peperangan dari pihak Bhre Wirabhumi dengan Pihak Wikramawardha. Perang ini disebut perangParegreg yang berakhir dengan terbunuhnya Wirabhumi, menyebabkan semakin lemahnya kerajaan Majapahit.
            Menurut beberapa teori, Majapahit hancur karena perselisihan di antara keluarga raja dan diakhiri dengan serangan pasukan kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
            Struktur kerajaan Majapahit bersifat Teretorial dan desentralisasi dengan susunan anggota keluarga. Dalam struktur birokasi pemerintahannyaraja dibantu oleh tiga maha mentri yaitu I hono, I hulu, dan I sirikan. I hono paling tinggi kedudukannya. Dia paling dekat dengan raja dan berhak mengeluarkan piagam-piagam berupa prasasti.
            Sebagai kerajaan besar yang penduduknya menganut agama berbeda yaitu Hindu-Budha dan Siwa-Budha aspek keagamaan merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Banyaknya pejabat menunjukkan kompleksnya permasalahan agama yang harus diatur di Kerajaan Majapahit.
            Dalam aspek kehidupan ekonomi kerajaan Majapahit masih mencerminkan sebagai negara agraris. Walaupun wilayahnya luas dan meliputi hampir seluruh kepulauan Nusantara, kerajaan ini tidak berkembang sebagai kerajaan maritim seperti kerajaan Sriwijaya. Hasil utama dari sektor agraria adalah beras, kelapa, lada, pala, dan cengkeh.
            Zaman Kerajaan Majapahit ditandai dengan kemajuan dibidang sastra. Para sastrawan mampu mencatat peristiwa-peristiwa penting dalam kerajaan, kebesaran raja yang berkuasa, kisah kepahlawanan, dan kisah hidup menurut ajaran Agama Hindu atau Budha. Karya-karya sastra berupa prosa yang disebut kekawin, diantaranya Negarakertagama, karangan Empu Parthayajna yang tidak diketahui pengarangnya.
2.2.7 Kerajaan Bali
2.2.7.1 Kerajaan Bedahulu (Wangsa Warmadewa)
            Kira-kira pertengahan abad ke-9 di Bali memerintahlah seorang raja yang bernama Sri Mayadanawa yang bertahta di Bedahulu, putra raja di Balingkang. Beliau sangatlah sakti namun memiliki sifat yang sangat angkara murka. Ia menganggap dirinya yang paling sakti sehingga ia membenci orang yang melaksanakan tapa brata, melarang dan meniadakan upacara yadnya. Pulau Bali akhirnya dilanda kemarau panjang, panen rakyat gagal, wabah penyakit meraja lela. Singkatnya keadaan bali sangat memprihatinkan ketika berada di bawah pemerintahan raja Sri Mayadanawa. Atas prakarasa Mangku Kulputih dari Besakih dan para pemangku di desa-desa diadakanlah upacara dewa yadnya di Pura Besakih untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan  kembali kepada masyarakat Bali. Berita ihwal kesemena-menaan raja Sri Mayadanawa terdengar oleh para Arya Hindu keturunan Sri Kesari Warmadewa yang kemudian menyerang Bali dan membinasakan  raja Sri Mayadanawa di hulu Sungai Petanu. Kemenangan raja Sri Kesari Warmadewa terhadap raja Sri Mayadanawa yang tepat pada hari Budha Kliwon Dungulan selanjutnya diperingati sebagai hari raya Galungan.
            Setelah peperangan berakhir dan dimenangkan oleh Sri Kesari Warmadewa secara otomatis tahta kerajaan jatuh ke tangan beliau. Pada masa pemerintahannya dibangun dan di pugarlah kembali kahyangan-kahyangan atau pura-pura yang rusak akibat kesemena-menaan raja Sri Mayadanawa bersama penduduk Bali asli (Bali Aga). Daerah teritorial Kerajaan Bali pada saat itu meliputi Bali, Makasar, Sumbawa,Sasak dan Blambangan. Pulau Bali aman dan masyarakatnya pun  makmur dan sejahtera.  Sepeninggal raja Sri Kesari Warmadewa tahta kerajaan berturut turut diwariskan kepada keturunan beliau meliputi Sri Ugrasena Warmadewa (915-942 M), Sri Candrabhaya Singha Warmadewa (942-991 M), Sri Dharma Udayana Warmadewa (991-1018 M), Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa (1018-1049 M), Sri Aji Wungsu (1049-1077 M), Ratu Sakalindhu Kirana (1077-1101 M), Sri Suradhipa (1101-1119 M), Sri Jaya Sakti (1119-1150 M), Sri jaya Pangus (1150-1181 M), Sri Hekajaya (1181-1200 M), Sri Dhanadhiraja (1200-1204 M), Sri Jaya Sunu (1214-1284 M), Sri Masula Masuli (1284-1328 M), Sri Tapolung (1328-1343 M).
            Peristiwa yang bersejarah dalam perkembangan agama Hindu pada trah keturunan raja Warmadewa tercatat pada masa pemerintahan  raja Sri Dharma Udayana Warmadewa, ketika masa pemerintahan beliau datanglah seorang  Brahmana dari Jawa bernama Empu Kuturan. Beliau adalah penasehat dari raja Airlangga yang juga merupakan saudara dari Empu Bharadah. Di Bali beliau menanamkan konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat sebagai kristalisasi dari semua ajaran sekte-sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte adalah aliran kepercayaan yang mengagungkan dan memuja salah satu dewa sebagai Ista Dewata tertinggi. Sekte-sekte yang ada di Bali pada masa itu meliputi sekte Siwa Sidhanta, sekte Bairawa, sekte Ganapati, sekte Waisnawa, sekte Boddha, sekte Brahmana dll.  Pertimbangan politis raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni atas rekomendasi dari Empu Kuturan akan keresahan adanya sekte-sekte merupakan cikal dasar diadakannya pengkristalisasian semua ajaran sekte tersebut diatas, karena asumsinya dengan banyaknya sekte yang berkembang akan menimbulkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Akhirnya diadakanlah pesamuan (pertemuan) di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar untuk menyatukan persepsi diantara sekte-sekte yang dihadiri pucuk pimpinan masing-masing sekte, menghasilkan sebuah konsensus Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat. Konsep Tri Murti, Kahyangan Tiga dan Kahyangan Jagat bagi masyarakat Hindu di Bali masih dipegang teguh hingga sekarang. 
            Raja terakhir yang memerintah dari dinasti (trah) Warmadewa adalah Sri Tapolung. Beliau bergelar Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten. Beliau termasyur sampai terkenal ke pulau Jawa, karena sangat sakti tidak ada bandingannya, lagi pula senopati-senopati beliau sangat sakti-sakti contohnya Ki Kebo Iwa, beliau terkenal karena kekebalannya terhadap senjata. Pada tahun 1343 datanglah para Arya Majapahit menyerang pulau Bali. Penyerangan itu dipimpin oleh patih Gajah Mada dan Arya Dhamar. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, raja Bali Sri Tapolung akhirnya gugur di medan perang. Para senopati beliau ada yang gugur adapula yang tunduk menyerah. Pertempuran inilah yang akhirnya meruntuntuhkan trah Warmadewa di Bali. 

2.2.7.2 Kerajaan Gelgel (Wangsa Krsna Kapakisan)
            Setelah kerajaan Bedahulu runtuh oleh pasukan Majapahit, pulau Bali menjadi sunyi sepi, kacau balau, masing-masing para petinggi pemerintahan mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri, tidak mau menuruti sesamanya. Di Bali terjadilah kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Mahapatih Gajah Mada menjadi gelisah melihat situasi Bali hancur tanpa adanya peraturan, karena tidak adanya raja yang memimpin. Karena itu Gajah Mada berunding dengan Mpu Sanakpitu. Untuk calon raja yang akan menduduki posisi sebagai raja di Bali, Gajah Mada memohon kepada guru penasehatnya yaitu Dang Hyang Kapakisan agar  mengangkat putranya sebagai raja di pulau Bali. Permohonan itu akhirnya ditembuskan ke raja Hayam Wuruk dan dikabulkan. Mulai saat itu pulau Bali di pimpin oleh raja yang merupakan keturunan dari Dang Hyang Kapakisan. Raja yang diberikan mandat untuk memerintah Bali adalah Sri Aji Kudawandhira yang bergelar Dalem Ketut Krsna Kapakisan yang memerintah di daerah Samprangan, dekat Gianyar. Perombakan tata pemerintahan juga dilakukan pada jabatan menteri-menteri, para menteri (Arya) semuanya berasal dari Majapahit dan diberikan tempat kedudukan masing-masing, yaitu Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Kanuruhan di Tangkas dan para Arya lainnya yang diberi daerah teritorial lainnya.
Setelah keadaan pulau Bali aman, Dalem Ketut Krsna Kapakisan bermaksud memperbaiki kahyangan (pura) di Bali, maka beliau memanggil pemimpin-pemimpin Pasek agar menghadap ke Samprangan. Para pemimpin Pasek diberi tugas memelihara dan menyelenggarakan upacara-upacara dewa yadnya di Sad Kahyangan, Kahyangan Tiga dan pura-pura lainnya.
Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Smara Kapakisan (keturunan ke II wangsa Krsna Kapakisan) terjadi pemindahan ibu kota kerajaan yang dahulunya terletak di Samprangan (Gianyar) pindah ke Gelgel (Klungkung). Proses perpindahan ibu kota berjalan secara lancar. Dasar logis perpindahan ibu kota ini adalah pertimbangan komunikasi dan transportasi. Raja-raja yang memerintah Bali dari wangsaKrsna Kapakisan adalah Dalem Ketut Krsna Kapakisan,  Dalem Ketut Smara Kapakisan, Dalem Watu Renggong, Dalem Bekung, Dalem Sagening, Dalem Anom Pemahyun dan Dalem Dimade.
Masa keemasan dari keturunan raja-raja Krsna Kapakisan terjadi pada masa pemerintahan raja Dalem Watu Renggong. Raja Dalem Watu Renggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Watu Renggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ketut Smara Kapakisan dan para mentri serta pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan. Dalem Watu Renggong dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana. 
Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong, datanglah ke Bali seorang Brahmana Siwa bernama Dang Hyang Nirarta (Ida Pandita Sakti Wau Rauh). Konsep keagamaan yang telah ditanamkan oleh Empu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana, disempurnakan lagi oleh beliau dengan menambahkan satu konsep yaitu Padmasana. Diceritakan menurut babad beliau secara spiritual masuk ke dalam mulut naga (lambang Bhuana, merujuk pada pulau Bali) dan melihat tiga bunga terarai yang mahkotanya berwarna merah, hitam dan putih yang tidak berisi inti (sari). Kemudian beliau menganjur pada tiap-tiap kahyangan tiga seyogyanya didirikan pelinggih berupa padmasana sebagai inti ajaran konsep ketuhanan. Dari tempat Dharmayatra beliau, didirikanlah pura-pura sebagai berikut :
  1. Pura Purancak dan Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana
  2. Pura Pulaki, Pura Melanting, Pura Ponjok Batu di Kabupaten Buleleng
  3. Pura Tanah Lot di Kabupaten Tabanan
  4. Pura Peti Tenget dan Pura Ulu Watu Kabupaten Badung
  5. Pura Watu Klotok di Kabupaten Klungkung.
  6. Pura Air Jeruk di Kabupaten Gianyar
Secara spiritual pura-pura di atas dipercaya sampai sekarang sebagai benteng dan tanggul yang menyangga Bali dari kekuatan negatif dari luar. Selain peninggalan berupa pura-pura, Dang hyang Nirartha juga memberikan sumbangsih karya sastra beliau berupa lontar lontar antara lain : Dharmasunya, Jong Beru, Usana Bali, Sundarigama dan lain sebagainya.

2.3      Hasil-Hasil Kebudayaan Pada Masa Kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia
Salah satu unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia pada masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia yang menjadi pokok bahasan di sini adalah adalah unsur kesenian yang terutama berwujud seni sastra, seni bangunan, seni patung dan seni hias.       
Beberapa hasil kebudayaan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia adalah sebagai berikut:
2.3.1 Bangunan
            Hasil kebudayaan berupa bangunan yang dimaksudkan adalah bangunan sebagai tempat suci yaitu candi. Candi sebagai salah satu hasil kebudayaan pengaruh Hindu dan Budha adalah berasal dari perkataan/nama untuk Durga sebagai Dewi Maut atau Candika. Jadi bangunan Candi erat hubungannya dengan Dewi Durga sebagai Dewi Maut. Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan untuk memuliakan orang yang sudah meninggal, khususnya untuk orang tertentu yaitu para Raja atau orang-orang terkemuka. Yang dikuburkan dalam candi bukanlah sang raja atau pun abu jenasah, melainkan bermacam-macam logam dan batu-batu akik yang disertai dengan saji-sajian. Benda-benda demikian dinamakan pripih.
            Dilihat dari segi fungsinya, maka candi dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu candi berfungsi sebagai pedharman, candi berfungsi sebagai petirtaan/permandian, candi berfungsi sebagai pintu gerbang/pintu masuk suatu areal bangunan tertentu.
            Beberapa peninggalan/hasil kebudayaan dalam bentuk bangunan candi pada masa kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang terletak di Jawa Tengah adalah:
A.    Candi Kalasan,
            Candi ini terletak di Desa Kalasan (antara jalan jurusan Jogjakarta menuju Surakarta). Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh Raja Panangkaran tahun 778 M. Hal ini didasarkan atas temuan prasasti Kalasan tahun778 M yang menyebutkan tentang seorang raja dari keluarga Syailendra membuat suatu bangunan keramat untuk menghormti Dewi Tara dan menghadiahkan kepada pendeta suatu wihara. 
B.     Candi Sari
            Candi Sari terletak dekat dengan candi Kalasan. Candi ini diperkirakan didirikan pada waktu yang bersamaan dengan Candi Kalasan. Dilihat dari bentuknya, diperkirakan bahwa candi ini berfungsi sebagai wihara.
C.     Candi Borobudur
            Candi Borobudur adalah candi peninggalan kerajaan Syailendra yang beragama Budha dan terletak di desa Muntilan, daerah kabupaten Kedu (Magelang), Jawa Tengah. Borobudur berarti asrama/wihara (kelompok candi) yang terletak di atas bukit. Berdasarkan prasasti Sri Kahulunan yang berangka tahun 842 M disebutkan adanya kuil ”Bhumisambhara Bhudara” yang akhirnya menjadi nama Borobudur.
            Bangunan Borobudur pada hakikatnya adalah stupa yang telah mengalami perkembangan dan bercampur dengan arsitektur Indonesia. Di samping Borobudur berfungsi sebagai lambang tertinggi agama Budha, stupa Borobudur juga sebagai tiruan (replica) dari alam semesta, yang menurut filsafat agama Budha terdiri dari tiga bagian besar, yaitu:
a.       Kamadhatu (alam bawah), dapat dilihat pada kaki candi
b.      Rupadhatu (alam tengah) yaitu bagian badan candi dengan bentuk bujur sangkar
c.       Arupadhatu (alam atas) yaitu stupa induk
(Soedirman, 1977;31)
D.    Candi Mendut
            Candi Mendut terletak di sebelah timur Borobudur yang sifat keagamaannya adalah Budha Mahayana. Tepatnya terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Candi ini erat kaitannya dengan prasati Karang Tengah tahun 824 Masehi yaitu disebut dengan Wenuwanamamandira. Bangunan candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan yang bersifat Budha.  Beberapa candi lainnya yang ditemukan di daerah Jawa Tengah yang bersifta Budha antara lain Candi Plaosan, Candi Sewu, Candi Lumbung dan sebagainya.
E.     Candi Loro Jongrang/Prambanan
            Nama candi Loro jongrang erat kaitannya dengan cerita rakyat setempat, dan disebut dengan candi Loro Jongrang adalah khusus untuk candi Siwa karena di dalamnya ada sebuah arca yaitu arca Durga yang dianggap sebagai penggambaran putri raja Baka yang diberi nama Loro Jongrang.     
            Nama Prambanan ditemukan dalam prasasti di Desa Poh tahun 905 M yang menyebutkan bahwa nama sebuah desa yaitu Paramwan yang kemudian menjadi Prambanan. Bila dihubungkan dengan raja yang berkuasa saat itu adalah raja Rakai Wutukura Diah Balitung (898-910 M). Hal ini diperkuat pula adanya pendapat yang mengatakan bahwa arca Siwa yang terdapat dalam candi Siwa diperkirakan sebagai arca perwujudan dari raja Balitung itu sendiri.
Beberapa candi sebagai peninggalan sejarah pada masa kerajaan Hindu dan Budha yang terdapat di Jawa Timur adalah:
A). Candi Kidal
            Candi Kidal ditemukan dekat Malang dan merupakan candi untuk memuliakan raja Anusapati dan didirikan pada tahun 1260 Masehi. Menurut kitab Negarakertagama candi Kidal didirikan pada upacara Srada yaitu 12 tahun setelah wafatnya sang raja. Pada candi Kidal didapatkan adanya relief yang menggambarkan cerita pragmen Adi Parwa.
B). Candi Jago
            Candi Jago terletak di desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dalam kitab Negarakertagama candi ini dinamakan candi Jajaghu yang lama-kelamaan menjadi candi Jago. Struktur bangunan candi jago memperlihatkan adanya pencampuran antara unsur India dengan Indonesia asli.  Relief yang dipahatkan dalam candi diambil dari cerita Tantri, Kunjarakarna, Parthyadnya, Arjuna Wiwaha, dan Kresnayana. Candi ini merupakan pedharman dari raja Wisnuwardhana.  
C). Candi Singosari
            Nama candi ini diperkirakan disesuaikan dengan nama letak candi yaitu di desa Singosari. Fungsinya adalah sebagai pedharman dari raja Kertanegara yang dimuliakan sebagai Bhairawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan arca Bhairawa di sekitar candi tersebut. Sifat candi Siwa Budha dengan dasar candi menggambarkan Siwa dan bagian atas candi menggambarkan Budha.
D). Candi Penataran
            Candi Penataran merupakan sebuah komplek candi yang terletak di desa Penataran, Klegok, Blitar. Candi Penataran terdiri dari tiga halaman serupa dengan pura di Bali yaitu terdiri dati Jaba Luar, Jaba Tengah, dan jeroan (Jaba Dalam).
            Candi Penataran dihubungkan dengan kerajaan Majapahit dan sebagai pedharman terbesar dari raja. Ada sebuah candi di dalam kompleks candi Penataran yang disebut dengan candi Palah atau Paduraksa, di bawah Klamrga terdapat angka tahun 1291 Saka. Di samping itu pada sebuah bangunan yang merupakan Bale Agung terdapat relief dari cerita Bubhukshah dan Gagak Aking dan angka tahun 1297 Saka. Di sebelah timur atau pada bagian belakang candi Penataran terdapat sebuah kolam dan pada bagian dinding kolam sebelah barat bertulis angka tahun 1337 Saka. Ini menunjukkan diperkirakan bangunan-bangunan ini didirikan secara bertahap pada masa kerajaan Majapahit.

2.3.2 Patung Dewa
            Seni patung/arca tersebut erat kaitannya dengan keagamaan. Patung-patung itu menggambarkan dewa/dewi. Raja yang telah wafat dan telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya, maka dibuatkanlah sebuah patung sebagai perwujudannya dan patung atau arca menjadi arca induk dalam sebuah candi. Untuk membedakan arca dewa yang satu dengan dewa yang lainnya, maka setiap arca mempunyai tanda-tanda tersendiri atau disebut dengan laksana, seperti:
a. Arca Siwa sebagai Mahadewa laksananya: bulan sabit, tengkorak, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, cawat kulit harimau, tangannya empat masing-masing memegang camara, aksamala, kamandalu dan trisula.
b. Arca Siwa sebagai Mahaguru atau Mahayogi laksananya: kamandalu, trisula, perutnya gendut, kumis panjang, dan berjanggut runcing.
c. Arca Siwa sebagai Mahakala laksananya: bersenjatakan gada dan wajahnya menakutkan seperti raksasa.
d. Arca Durga biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramardhini. Berdiri di atas seekor lembu, bertangan 8,10,12, masing-masing tangannya memegang senjata.
e. Ganesha yaitu arca dewa berkepala gajah berbadan manusia yang disembah sebagai dewa ilmu dan penyingkir rintangan-rintangan serta mempunyai kedudukan sebagai dewa perang.
f. Arca Wisnu laksananya: bertangan empat masing-masing memegang gada, cakra, sangkha dan kuncup teratai, kendaraannya garuda dan saktinya adalah Laksmi.
g. Arca Brahma laksananya: bermuka empat, tangan empat memegang aksamala dan camara. Kendaraannya angsa dan saktinya Saraswati.
            Selanjutnya di dalam agama Budha dikenal adanya Dhyani-Budha, Manisa Budha, dan Dhyani Bodhisattwa. Bentuk patung Dhyani-Budha dengan Manusi-Budha adalah hampir sama, hanya dapat dibedakan dalam hubungannya dengan lain-lain petunjuk. Arca Budha bentuknya sangat sederhana tanpa memakai hiasan, hanya memakai jubah. Rambutnya keriting, di atas kepala ada tonjolan seperti sanggul yang bernama usnisa, dan diantara keningnya ada semacam jerawat yang disebut urna.
            Perbedaan Dewa yang mana dilukiskan dengan arca Budha hanyalah dapat diketahui dari mudra (sikap tangan)nya saja. Seperti :
a). Wairocana yaitu penguasa Zenith, mudranya Dharmacakra yaitu sikap tangan memutar roda dharma.
b). Aksobhya adalah penguasa timur, mudranya bhumisparsa, yaitu sikap tangan memanggil bumi sebagai saksi.
c). Amoghasidhi yaitu penguasa utara, mudranya abhaya, yaitu sikap tangan menentramkan.
d). Amithaba adalah penguasa barat, mudranya dhyana, yaitu sikap tangan bersemedi.
e). Ratnasambhawa adalah penguasa selatan, mudranya wara yaitu sikap tangan memberi anugerah.
f). Awalokiteswara adalah sebuah arca Amitabha di mahkotanya. Sebagai padmapani ia memegang sebatang bunga teratai merah dengan laksana adalah Maitreya yaitu stupa di mahkotanya.

2.2.3 Seni Ukir
            Hasil-hasil seni ukir adalah berupa hiasan-hiasan pengisi pada bangunan candi utamanya pada bagian dinding. Pola hiasan yang dipergunakan adalah pola hiasan makhluk-makhluk ajaib dan tumbuh-tumbuhan sesuai degan suasana pegunungan dalam hal ini adalah gunung Mahameru. Makhluk-makhluk ajaib itu biasanya dipancangkan di atas relung atau ambang pintu yang disebut dengan Kepala Kala atau Banaspati. Pada candi-candi Jawa Tengah banaspati ini dirangkai dengan makara atau semacam ikan yang mulutnya ternganga, sedangkan bibir atasnya melingkar ke atas seperti belalai gajah yang diangkat.

2.2.4 Kesusastraan
            Beberapa hasil kebudayaan pada zaman Hindu dan Budha di Indonesia yang berasal dari kesusastraan terutama dari kerajaan Kediri adalah sebagai berikut:
1. Arjunawiwaha
            Kitab ini dikarang oleh Mpu Kanwa, menceritakan tentang Arjuna bertapa untuk mendapatkan senjata dalam rangka perang melawan Kurawa. Sebagai pertapa, Arjuna berhasil membunuh raksasa Niwatakawaca yang menyerang kahyangan.
2. Kresnayana
            Isinya menceritakan Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi  orang karena suka menolong dan mempunyai kesaktian dan kekuatan luar biasa dan setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini. Kitab ini dikarang oleh Mpu Triguna.
3. Sumanasantaka
            Kitab ini dikarang oleh Mpu Monaguna yang menceritakan tentang bidadari Harini yang dikutuk Bhagawan Trnawindhu dan menjelma menjadi seorang putri, kemudian menikah dengan seorang raja. Dari perkawinan ini  lahirlah putra yang bernama Dasaratha. Setelah habis masa kutukannya ia kembali ke kahyangan.
4. Smaradhahana
            Kitab ini dipersembahkan kepada raja Kameswara yang dianggap sebagai titisan dewa Kama. Inti ceritanya adalah lenyapnya Kama dan Ratih dari kahyangan, karena habis terbakar oleh sinar api dari mata ketiga dewa Siwa dan kemudian mengembara di atas dunia menjadi penggoda umat manusia. Kitab ini dikarang oleh Mpu Darmaja.
5. Bharatayudha
            Bharatayudha karangan oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang peperangan selama 18 hari antara pandawa dan Korawa.

6. Gatotkacasraya
            Kitab ini dikarang oleh Mpu Panuluh, isinya tentang perkawinan antara Abimanyu dengan Siti Sundhari dan hanya dapat dilakukan dengan bantuan Gatotkaca. Dalam kitab ini untuk pertama kalinya muncul tokoh penawakan.
7. Wrttasancaya
            Dikarang oleh Mpu Tanakung dimaksudkan untuk dapat dipakai sebagai bimbingan/pelajaran dalam melayani tembang Jawa Kuno (kekawin). Isinya mengisahkan burung belibis dalam usaha menolong seorang putri yang kehilangan kekasih.
8. Lubdhaka
            Dikarang oleh Mpu Tanakung yang menceritakan soerang pemburu yang tidak sengaja melakukan pemujaan yang sangat istimewa terhadap Siwa, maka meskipun roh seorang pemburu yang mestinya masuk neraka, namun karena ia memuja Siwa tepat pada waktunya, roh Lubdhaka diangkat oleh Siwa ke surga.

                Beberapa hasil kesusastraan pada zaman kerajaan Majapahit, meliputi:
1). Negarakertagama
            Merupakan karangan Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi. Isinya menguraikan tentang Singasari dan Majapahit sebagai sumber pertama dan tenyata sesuai dengan isi prasasti. Kitab ini memuat tentang kota Majapahit, daerah jajaran Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk di sepanjang Jawa Timur dijalin dengan daftar candi-candi, upacara Sradha yang dilakukan oleh roh Gayatri, termasuk soal pemerintahan dan keagamaan pada masa pemerintahan hayam Wuruk.
2). Sutasoma
            Merupakan karangan dari Mpu Tantular yang menceritakan tentang riwayat Sutasoma seorang anak raja, yang meninggalkan kehidupan dunianya karena taat dengan ajaran agama Budha. 
3). Kunjarakarna
            Kitab ini menceritakan tentang seorang raksasa, Kunjarakarna yang ingin menjelma menjadi manusia, kemudian menghadap Wairocana dan diizinkan melihat keadaan neraka. Ia taat kepada ajaran agama Budha dan akhirnya permohonannya dikabulkan.
4). Perhyayajna
            Isinya tentang para Pandawa setelah kalah main dadu dan mendapat penghinaan-penghinaan dari para korawa. Akhirnya meraka ke hutan dan Arjuna bertapa di gunung Indrakila.
5). Tantu panggelaran
            Isinya tentang penugasan Brahma dan Wisnu serta Bhatara Guru  mengisi pulau Jawa dengan manusia karena pulau tersebut selalu goncang sehingga para dewa pun memindahkan gunung Mahameru dari India ke Jawa. Runtuhan gunung tersebut jatuh dan menjadi gunung-gunung yang berjajar sepanjang pulau Jawa. Sedangkan gunung Mahameru menjadi gunung Semeru di dekat Malang. Wisnu kemudian menjadi raja pertama di pulau Jawa dengan nama Kandiawan.
6). Calon Arang
            Menceritakan kisah tentang seorang janda yang memiliki anak gadis yang cantik namun tak seorang pun yang berani meminang karena  janda tersebut ditakuti oleh masyarakat sebagai juru tenung. Akibatnya janda yang bernama Calon Arang tersebut menyebarkan wabah penyakit di seluruh Negara pada masa pemerintahan Airlangga di Jawa Timur. Calon Arang dapat dibunuh oleh Mpu Baradah dengan tipu muslihat atas perintah raja Airlangga.
7). Korawasrama
            Isinya menceritakan tentang sehabis perang besar antara korawa dan pandawa, maka para korawa dihidupkan kembali. Kepada mereka dijanjikan kelak akan dapat membalas dendam kepada para Pandawa, kalau mereka bersedia melakukan tapa yang berat sekali. Maka pergilah mereka ke hutan-hutan untuk bertapa.
8). Bubhukshah
            Mengisahkan tentang dua orang bersaudara yaitu Bubhukshah dan Gagang Aking yang tidak dapat sepakat mengenai cara-cara yang baik untuk mendapatkan kesempurnaan. Maka mereka pergi bertapa. Bubhukshah makan segala apa yang dapat dimakan, sedangkan Gagang Aking hanya makan tumbuh-tumbuhan, datanglah kepada mereka seekor harimau putih utusan Bhatara Guru. Harimau itu menginginkan daging manusia. berkatalah Gagang Aking bahwa tak ada gunanya kalau harimau itu hendak memakan dirinya yang kurus kering itu. Sebaliknya Bubhukshah dengan tak ragu-ragu menyediakan dirinya untuk dimakan. Bubhukshah segera digendong oleh harimau itu ke surga sedangkan Gagang Aking boleh turut berjalan kaki.
9). Pararaton
            Isinya menceritakan tentang perjalanan atau kisah para orang-orang besar, namun sifatnya tidak seperti sejarah, melainkan dongeng. Mula-mula diuraikan sifat Ken Arok yang penuh dengan kegaiban. Begitu pula denga raja Singosari lainnya. Kemudian menguraikan Raden Wijaya mulai ikut Kertanegara sampai menjadi raja Majapahit. Kemudian diceritakan tentang Jayanegara dan pemberontakan-pemberontakan Rangga Lawe, Sora dan juga peristiwa putri Sunda di Bubat.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Kebudayaan Hindu banyak mempengaruhi kebudayaan yang ada di Indonesia terutama pada masa kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha. Adanya kebudayaan Hindu yang masuk ke Indonesia menyebabkan adanya akulturasi budaya. Bangsa Indonesia sangat berperan aktif dalam proses akulturasi Kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia. Bangsa Indonesia tidak menelan begitu saja pengaruh kebudayaan Hindu tersebut tetapi kebudayaan itu diolah dan disesuaikan dengan kepribadian kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri sehingga kebudayaan Hindu akhirnya mampu memperkaya kebudayaan yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana Suparta, I.B. 2002. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Surabaya : Paramita.
Putu Gelgel, dkk. 1996. Sejarah Kebudayaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha dan Universitas Terbuka.
Supriatna, Nana. 2006. Sejarah SMA (Kelas XI). Jakarta : Grafindo Media Utama.
Sumber internet :


0 komentar:

Posting Komentar