Seni Sakral (Kidung)
Oleh : I Putu Ngurah Restiada
1. Defenisi Kidung
Ada idiom mengatakan "tak kenal maka tak sayang", karena
itu sebelum jauh membahas tentang kidung
ada baiknya penulis paparkan dahulu tentang apa sebenarnya defenisi dari kidung?. Setelah kita mengetahui
defenisinya barulah kita bisa menyelami lebih dalam apa dan bagaimana kidung itu. Terkait defenisi kidung, ada 2 ahli yang
memberikan sumbangsih pendapat. Agastia (1994 : 8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai
kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai
jumlah silabel tertentu dalam tiap
baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu
dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya bunyi a, i, u).
Sekalipun kidung adalah kata Jawa
asli, tapi isinya banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan
musik Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama. Di lain sisi, Bandem
(1983 : 31) menyatakan bahwa kidung
adalah jenis puisi yang menggunakan metric
dan bahasa Jawa Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malat di Jawa. Namun dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, kidung sering dimainkan bersama dengan
Istrumen dan lagu-lagu pokok kidung
ditulis dalam lontar Tabuh-tabuh Gambang.
Kidung mempergunakan laras pelog
7 yang memakai 5 nada pokok dan 2 nada pemero.
Hanya dalam kidung di Bali terdapat
modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah dan amat banyak
dipergunakannya nada pemero. Secara
lebih spesifik, kidung
di Bali memiliki bagian-bagian sebagai berikut
a. Pangawit yaitu Pembuka
b. Pamawak yaitu bagian yang pendek
c. Panama yaitu bagian yang panjang
d. Pangawak yaitu bagian utama dari kidung
Dalam
perkembangan selanjutnya, kidung
diklasifikasikan masuk ke dalam sub ruang lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu Dharmagita Pengklasifikasian ini tiada
lain bertujuan untuk memudahkan dalam mempelajarinya berdasarkan beberapa
persamaan maupun perbedaan dengan nyanyian yang lainnya. . Pengklasifikasian
ini didasarkan pada kelompok umur maupun sulit ataupun tidaknya nyanyian itu
dibuat berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya, sekar rare, nyanyian yang diperuntukakan untuk anak kecil/balita (rare). Sekar alit, nyanyian yang diperuntukan untuk anak kecil (6-12 tahun).
Sekar Agung, nyanyian yang menggunakan aturan tertentu seperti wreta dan matra, guru dan laghu serta
menggunakan pemahaman yang lebih ketika kita ingin memahami maksud dari bahasan
yang ada dalam nyanyian tersebut (sekar
agung), karena besar dan sulitnya itulah mengapa adalah istilah "agung” yang melekat pada jenis nyanyian ini. Secara garis besar
semua nyanyian di Bali diklasifikasikan ke dalam Dharmagita
2. Sejarah
Kidung
Karya sastra
lahir dari proses kreatif seorang pengarang, disamping proses imajinatifnya.
Dalam kaitan dengan hal ini amat menarik mengapa seorang pengarang disebut
sebagai sang kawi, sang
"pencipta". Istilah kreatifitas sendiri berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan istilah mencipta yang berarti mengarang atau membuat
sesuatu yang berbeda bentuk, susunan atau gayanya daripada yang lazim dikenal
oleh orang banyak. Proses kreatif seorang kawi
atau para kawi yang telah melahirkan
karya-karya sastra termasuk juga nyanyian ketuhanan yaitu kidung.
Apabila kita
ingin melacak asal mula kidung yang
ada di Bali mau tidak mau kita harus menoleh ke sastra Jawa Kuna. Karena sastra
Jawa Kuna merupakan asal mula sastra yang ada di Bali. Prof. Dr. Poerbatjaraka
dalam Agastia (1994 : 24) menyatakan, "Pulau
Bali adalah peti tempat menyimpan perbendaharaan sastra dan budaya lama".
Yang dimaksudkan "budaya lama"
oleh beliau adalah sastra-sastra Jawa Kuna. Sastra-sastra Jawa Kuna itu
memiliki kepustakaan dalam jumlah yang banyak dan beraneka, memiliki nilai yang
sangat kaya dan indah termasuk kidung
di dalamnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Zoetmulder dalam Agastia (1994 : 24)
berdasarkan penelitiannya berasumsi bahwa sekitaran pertengahan abad ke-14 Bali
masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat berbagai pusat
kebudayaan dan religi. Sehingga sebagai suatu konsekuensi, bahwa semenjak saat
itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa.
Bahwa di pusat-pusat kebudayaan dan keagamaan itu, bahasa Jawa hampir tidak
dituturkan dan ditulis. Sastra Jawa
tidak hanya dimaklumi dan dipelajari tetapi juga ditiru dan dikembangkan.
Karya-karya baru yang ditulis yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan.
Maka kesusastraan Bali, termasuk kidung
di dalamnya tidak dapat memisahkan sejarahnya dengan sejarah kasusastraan Jawa
Kuna.
Agastia
dalam bukunya yang berjudul "Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah
Pengantar)" menyatakan, apabila kita ingin melacak dan memeriksa sastra kidung, maka pertama-tama kita
dikesankan oleh banyaknya cerita-cerita Panji
yang sangat kental di dalamnya. Adalah kidung
Malat sebagai kidung terbesar dalam khasanah sastra kidung memang mengolah cerita Panji
sebagai bahan ceritanya, di samping kidung-kidung lainnya yaitu Wangbang Wideya, Waseng dan yang lain. Di lain pihak ada kidung-kidung historis
yang cukup banyak dikenal seperti kidung
Harsawijaya, kidung Sunda, kidung Sorandaka, kidung Ranggalawe, ada pula kidung yang mengolah cerita binatang
sebagaimana tertuang dalam Tantri
Kamandaka menjadi kidung Tantri Pisacaharana dan kidung Tantri Manduka Prakarana.
Prof.
Zoetmulder sebagaimana dikutip oleh Agastia (1994 : 39) pernah menyatakan bahwa
bentuk kakawin dan bahasa Jawa Kuna
merupakan saluran tradisional bagi kisah-kisah yang berpangkal pada epos-epos
India, tetapi bentuk kidung dan
bahasa Jawa Tengahan secara eksklusif dipakai untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Tidak ada satu kakawin pun menampilkan kisah Panji, sedangkan disisi lain kidung-kidung yang menyajikan sebuah tema India, jarang sekali didapat.
Walaupun demikian kita masih dapat membaca kidung
Sudamala dan Kidung Sri Tanjung, dua
buah kidung kerakyatan yang cerita
aslinya murni berasal dari Jawa namun dewa-dewa dari mitologi India dan
tokoh-tokoh Mahabrata muncul di dalamnya.
Yang lebih
penting untuk dicatat di sini adalah kehadiran kisah perjalanan Bhima untuk
mencari tirtha pawitra atas perintah
guru Drona, sebuah kisah yang masih sangat populer di Jawa dewasa ini, ternyata
kita dapati dalam bentuk kidung
berjudul Dewaruci atau Nawaruci. Kidung ini memang lebih bersifat penuangan ajaran-ajaran kerohanian
khususnya pengetahuan esoteris ke dalam kerangka naratif dengan mengambil
bentuk kidung. Masih ada yang lain
yang perlu di catat adalah kidung Korawasrama, sebuah karya yang
mengungkap hidupnya kembali kaum Korawa serta pelaksanaan tapanya. Dalam kidung ini, Korawa bermaksud membalas
dendam terhadap Pandawa, namun Pandawa tidak berhasil ditewaskan olehnya karena
mereka menegakkan kebenaran itu senantiasa dilindungi oleh para dewa.
3. Jenis-jenis Kidung
Kidung memang
tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya,
setiap upacara yadnya tertentu pasti
menggunakan gegendingan (kidung) tertentu
pula. Wayan Budi Gautama dalam bukunya yang berjudul "Kidung Panca Yadnya", mengaitkan jenis-jenis kidung dengan prosesi yadnya yang ada di Bali. Jenis-jenis kidung menurut Wayan Budi Gautama adalah
sebagai berikut :
1.
Kidung Dewa Yadnya digunakan
ketika upacara Dewa Yadnya
2.
Kidung Rsi Yadnya digunakan
ketika upacara Rsi Yadnya
3.
Kidung
Manusa Yadnya digunakan ketika upacara Manusa Yadnya
4.
Kidung Pitra
Yadnya digunakan ketika upacara Pitra Yadnya
5.
Kidung Bhuta
Yadnya digunakan ketika upacara Bhuta Yadnya
3. 1 Contoh wirama kidung berkaitan dengan Panca Yadnya :
a. Pada upacara
Dewa Yadnya ditembangkan kidung:
1)
Di saat memuja Ida Bhatara : Kawitan
Wargasari atau Wargasari
2)
Di saat sembahyang menggunakan bunga
(muspa): Mredu Komala atau Totaka
3)
Di saat memohon tirta ( nunas tirta) : Wargasari
4) Di saat penutupan
upacara (nyineb) : Warga Sirang.
b. Pada upacara
Rsi Yadnya ditembangkan kidung:
1)
Upacara Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara
Sangupati atau Palu Gangsa.
2)
Upacara Diksa: Rara Wangi.
c. Pada upacara
Manusa Yadnya ditembangkan kidung:
1) Upacara Raja Swala: Demung sawit
2) Upacara Metatah: Kawitan Tantri atau Demung Sawit
3)
Upacara Mapetik: Malat Rasmi
4)
Upacara Pawiwahan: Tunjung Biru.
d. Pada upacara
Pitra Yadnya ditembangkan kidung :
1) Di saat
menurunkan atau memandikan jenazah : Sewana
Girisa atau Bala Ugu.
2)
Di saat mebawa jenazah ke kuburan (setra) : Indra Wangsa
3)
Upacara mengurug kuburan (gegumuk): Adri
4)
Upacara Ngeseng sawa: Praharsini
5)
Upacara Reka Abu: Aji Kembang
6)
Upacara melarung abu ke laut (nganyut) : Sikarini atau Asti
7)
Upacara Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
e. Pada upacara
Bhuta Yadnya ditembangkan: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, atau Swaran Kumbang.
3. 2 Contoh
syair- syair Kidung
a. Dewa Yadnya
1)
Kawitan
Warga Sari - Pendahuluan
sembahyang
1.
Purwakaning
angripta rumning wana ukir.
Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
2. Sukania harja winangun winarne sari.
Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng.
Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng.
2)
Pangayat -
Menghaturkan sesajen
- Kidung Warga Sari
1.
Ida Ratu
saking luhur. Kawula nunas lugrane.
Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
Sami sampun puput. Pratingkahing saji.
Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
Sami sampun puput. Pratingkahing saji.
2.
Asep menyan
majagau. Cendana nuhur dewane,
Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
3. Bhatarane saking luhur. Nggagana
diambarane.
Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.
Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.
3)
Pamuspan –
Sembahyang, Merdu -
Komala
1.
Ong sembah
ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
2.
Wyapi-wyapaka
sarining paramatatwa durlabha kita.
Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.
Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.
3.
Sasi wimbha
haneng: ghata mesi banyu.
Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
Ring angambeki yoga kiteng sakala.
Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
Ring angambeki yoga kiteng sakala.
4.
Katemun ta
mareka sitan katemu.
Kahidepta mareka si tankahidep.
Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
Paramartha Siwatwa nira warana.
Kahidepta mareka si tankahidep.
Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
Paramartha Siwatwa nira warana.
4)
Nunas
tirtha - Mohon
tirtha
1.
Turun tirtha
saking luhur. nenyiratang pemangkune.
Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
Sami pada lebur. Malane ring gumi.
Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
Sami pada lebur. Malane ring gumi.
b. Rsi Yadnya
1)
Wilet
Mayura
1.
Sarwi
angataging sarwa sinom, sarwi anangis ring luhur, pangrikning sundari ampruang,
sriokning cemara angelur, kasangga den luahning warih, sakuehning wong
amemaluk, taluktak lan jurang suarania anarung, er talinia kumeroncong, tibet
parangan
2.
Angrerimang
sang ulangun, sang lara angundur guyu, sang karwa lingnia kasmaran, amawas
istri kaleson, dadia ta amuwuhing angrawit, sapolahira sangarum, sang kakung
lingnia duh yayi, paran den kwang dumung, sakeng larasta.
c. Manusa Yadnya
2)
Kawitan
Tantri - Pendahuluan.
3.
Wuwusan
Bhupati. Ring Patali nagantun.
Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.
Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.
4.
Tuhu tan
keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari.
Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
Sri dhara patra sang katong.
Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
Sri dhara patra sang katong.
5.
Wetning raja
wibawa, mas manik penuh.
Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
Bratang penacasyan.
Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.
Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
Bratang penacasyan.
Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.
6.
Kadi kreta
yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati.
Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra.
Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.
Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra.
Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.
3)
Demung
Sawit (bawak, dawa)
1.
Tuhu atut
bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala.
Dala kusuma patra nglung,
Eswarya raja laksmi.
Sang kulahamenuhi rajya.
Kwening bala diwarga.
Mukya sira.
Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.
Dala kusuma patra nglung,
Eswarya raja laksmi.
Sang kulahamenuhi rajya.
Kwening bala diwarga.
Mukya sira.
Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.
2.
Nityasa
angulih- ulih amrih sutrepting nagara,
lan sang paradimantriya.
Tuhu widagda ngelus bhumi.
Susandi tinut rasaning aji,
Kutara manawa.
Mwang sastra sarodrsti.
Matangyan tan hanang baya kewuh.
lan sang paradimantriya.
Tuhu widagda ngelus bhumi.
Susandi tinut rasaning aji,
Kutara manawa.
Mwang sastra sarodrsti.
Matangyan tan hanang baya kewuh.
3.
Pirang warsa
Sri Nrapati Swaryadala.
Tusta ngering sana.
Kaladiwara hayu.
Sri narapati.
Lagya gugulingan ring taman.
Ring yaca ngurddha angunggul.
Yayamireng tawang.
Tinum pyata tinukir.
Kamala kinanda-kada.
Langu inipacareng santun.
Tusta ngering sana.
Kaladiwara hayu.
Sri narapati.
Lagya gugulingan ring taman.
Ring yaca ngurddha angunggul.
Yayamireng tawang.
Tinum pyata tinukir.
Kamala kinanda-kada.
Langu inipacareng santun.
4.
Mangamyat
kalangenikang nagara.
Tisoba awiyar.
Indra bhuwana nurun,
Kweh tang pakwana titip.
Pada kabhi nawa.
Dening sarwendah linuhung.
Liwar sukanikang wong.
Anamtami kapti.
Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.
Tisoba awiyar.
Indra bhuwana nurun,
Kweh tang pakwana titip.
Pada kabhi nawa.
Dening sarwendah linuhung.
Liwar sukanikang wong.
Anamtami kapti.
Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.
d. Pitra Yadnya
1)
Nedunang
layon pacang nyiramang - Menurunkan Jenazah untuk dimandikan (Cewana – Girisa)
1.
Ata
sedengira mantuk sang suralaga ringayun.
Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.
Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.
2.
Lalu
laranira nasa sambat putranira pejah.
Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.
Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.
2) Nyiramang layon - Memandikan Jenazah (Bala – ugu)
1.
Bala ugu
dina melah, manuju tanggal sasih.
Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.
Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.
2.
Ikang layon
ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah.
Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
Sumar ganda mrbuk arum.
Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
Sumar ganda mrbuk arum.
3.
Pusuh menuhe
uttama. Malem sampun macawisan.
Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.
Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.
4. Buku-buku panyosalasan. Pagamelane
salaka.
Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.
Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.
3)
Mamarga ka
setra - Pergi
ke Kuburan (Indra – wangsa)
1.
Mamwit
narendratmaja ring tapowana.
Manganjali ryagraning indra parwata.
Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.
Manganjali ryagraning indra parwata.
Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.
2.
Mangkat
dateng toliha rum wulat nira.
Sinambaying camara sangkaring geger.
Panawanging mrak panangisnikungalas.
Erang tininggal masaput-saput hima.
Sinambaying camara sangkaring geger.
Panawanging mrak panangisnikungalas.
Erang tininggal masaput-saput hima.
3.
Lunghang
lengit lampahira ngawe tana.
Lawan Sang Erawana bajranaryama.
Tan warnanen decanikang katungkulan.
Apan leyep muksa sahinganing mulat.
Lawan Sang Erawana bajranaryama.
Tan warnanen decanikang katungkulan.
Apan leyep muksa sahinganing mulat.
4)
Ngeseng
Sawa - Memperabukan
Jenazah.
1.
Sang atapa
sakti bhakti, astiti purwa sangkara.
Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.
Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.
2.
Nghulun
angadeg ring natar. Kamajaya cintanya.
Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.
Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.
3.
Yan sampun
sira araup. Isinikang kundi manik.
Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.
Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.
4. Wewangen dadi tembaga. Rurube kang
dadi emas.
Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.
Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.
5)
Rikala
ngayut - Melarung
abu ke laut.
1.
Ring wetan
hana telaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.
2.
Ring kidul
hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
3.
Ring kulon
hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
4.
Ring lor
hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
5.
Ring madya
hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
6.
Sampun ta
sira abresih, anambut raja bhusana.
Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.
Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.
e. Bhuta Yadnya
1)
Pupuh
Jerum
1.
Tangeh hana
muntu rida,
salimur tan kasalimur,
prakerti abayeng dangu,
tumuwuh ta andadi wong,
rasa tan kadi agemang,
marmanira misreng kidung,
tan anut ring pupuh basa pina ewa de
sang wiku.
2.
Endan
kapracita ring gita,
kundangdeya aranipun,
taruna ring banjar kidul,
kang kumawi catur mangko,
kocapan i kundangdeya,
anglunjar gawenipun,
kasih-asih ingeman-eman,
kambankara dening ibu.
3.
Kidung
pangundang ring buta,
basa lumbrah pupuh jerum,
buta asih widi asung,
caru pasajine reko,
genep saha upacara,
manut warna lawan ungguh,
sekul iwak pada bina,
olah-olahan sadulur.
4. Kidung, Nilai Religius dan Pelestarian Budaya Bali
Kidung begitu erat
hubungannya dengan ritual keagamaan di Bali. Kidung dalam pelaksanaannya selalu mengiringi dalam setiap upacara Panca Yadnya. Masyarakat Hindu Bali
percaya bahwa ritual-ritual keagamaan yang mereka jalani sarat akan nilai-nilai
ketuhanan (religius). Sebagaimana pula yadnya,
karena kidung merupakan komponen dari
ritual yadnya, kidung juga sarat nilai religius magis. Yadnya
yang tanpa kidung dirasakan kurang
nilainya, seperti sayur tanpa garam. Dalam kepercayaan Hindu, setiap ritual yadnya seyogyanya ada 5 komponen suara
(bunyi) sakral yang harus mengiringi yadnya tersebut. Suara (bunyi) tersebut
adalah : kentongan (kulkul), gamelan
(balaganjur), kidung, genta, dan mantra. Donder (2007 : 35) dalam jurnal ilmiah "Pangkaja, Jurnal
Agama Hindu Vol. VII. No. 2", menyatakan bahwa kelima bunyi-bunyian sakral
tersebut ada dalam ritual yadnya
adalah bermaksud untuk melakukan super posisi gelombang-gelombang mikro dan makro kosmos agar terhubung dengan kesadaran tuhan. Hal ini berarti
bahwa setiap bagian kosmos (alam
semesta) dapat menghubungkan manusia dengan kesadaran tuhan sebagai penguasa
kesadaran kosmos. Masih menurut
Donder, hal ini merupakan inti dan puncak kesadaran manusia yang harus dicapai
oleh setiap orang bila ingin dapat berkomunikasi dengan pikiran alam semesta
atau kesadaran kosmos.
Kidung adalah seni
suara yang sakral. Lewat lantunan kidung
oleh pengidung, ajaran-ajaran ketuhanan
ditranforsmasikan melalui suara yang indah dan mempesona. Kidung yang tepat, dinyanyikan oleh pengidung yang ber-taksu mampu menggugah suasana hati bagi
orang yang mendengarkannya. Melalui
pengidung ini, pendengar mampu
dibawa "hanyut" bersama suara kidung sesuai dengan keperuntukan kidung itu. Lewat alunannya, kidung
menuntun kita mengalir mengikuti riak-riak perasaan. Kidung juga mengajarkan kita peka terhadap perasaan dan keadaan. Bagaimana
seseorang bisa dibuat bulu romanya berdiri dan hatinya hening damai ketika
mendengar suara kidung warga sari
pada saat pujawali?. Bagaimana hati seseorang bisa ikut
dibuat "nelangsa" ketika jenazah diturunkan hendak dimandikan dengan alunan kidung wirama cewana girisa dari seorang
pengidung?. Lalu, bagaimana pula hati kita
bisa ikut berbahagia, ketika mendengar kidung
tunjung biru dalam upacara pernikahan
(pawiwahan)?. Kidung dalam alunan
suara dan keadaan telah menjelma menjadi "jembatan
perasaan". Semua itu, karena kidung
tidak dibuat oleh orang sembarangan, kidung
dibuat oleh sang kawi, yang telah
mantap dalam orah rasa dan seni yang disampaikan lewat olah suara yang di
dalamnya sarat nilai religius magis.
Kidung adalah warisan yang adiluhung yang memiliki nilai-nilai
kearifan ajaran agama Hindu. Nilai-nilai ini bersifat universal dan mengandung
kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti ini sudah seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun budaya. Karena itu kidung-kidung yang di Bali perlu dilestarikan.
Adapun pelestariannya adalah melalui pesantian
ataupun Utsawa Dharma Gita. Melalui
jalan inilah diharapkan kidung-kidung
yang ada di Bali bisa tetap ajeg dari
waktu ke waktu. Perhatian yang sungguh-sungguh memang harus dilakukan terhadap kidung di Bali bukan semata-mata dalam
usaha kelestarian budaya tetapi juga dalam pengembangan budaya itu sendiri.
Suatu saat, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyatakan "ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam
suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-perubahan itu, maka
selamatlah peradaban itu berjalan. Tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan
dan manusia tidak menguasainya maka hancurlah peradaban manusia". Oleh
karena itu, terkait dengan pernyataan diatas, satu-satunya jalan bagi manusia
untuk menghadapi hal itu ialah manusia harus menegakkan kehidupan rohaninya,
kehidupan agama dan sastra-sastra agama, termasuk juga kidung di dalamnya sehingga ia utuh dalam menghadapi perubahan itu
sendiri dan tetap dapat berjalan dalam mengembangkan kreatifitasnya sebagai
subjek untuk menjalankan tugas dan kewajiaban umat yang beragama Hindu
DAFTAR
PUSTAKA
Gautama, Wayan Budha. 1983. Kidung
Panca Yadnya. Denpasar : CV Kayu Mas.
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar : (Tanpa Penerbit).
Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar : Yayasan
Dharma Sastra.
Anonim . 2007. Jurnal
Pangkaja, Jurnal Agama Hindu. Vol.VII. No. 2. Denpasar : Institut Hindu
Dharma Negeri Denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar