Taburan Hati

SCM Music

Selasa, 31 Desember 2013

Lirik Lagu Putri Bulan - Awal Bulan Juni

     Putri Bulan - Awal Bulan Juni

Putri Bulan


Di awal bulan juni 
Dingine tanpa sisi 
Kala rindune teka 
Ngarep ngarepang beli 

Ane jejehang hati 
Saja teka mabukti 
Kala tiang nerima 
Sms saking beli 
Tanpa merasa beli 
Nyakitin titiang 
Tanpa guna hidup 
Tiange lara 
Say good bye keto 
Beli ngorahang 
Sekadi ngarepang 
Titiang mati 

Dija ke rasa 
Tanggung jawab 
Beli ne ken tiang 
Ne suba kadung 
Nyerahang raga 
To nguda jani 
Campahang beli 

Di awal bulan juni 
Tiang nyakitang hati 
Asibak angkian tiang 
Angseh angsehin beli 
Sakit 

Ane jejehang hati 
Saja teka mabukti 
Kala tiang nerima 
Sms saking beli 
Tanpa merasa beli 
Nyakitin titiang 
Tanpa guna hidup 
Tiange lara 
Say goodbye keto 
Beli ngorahang 
Sekadi ngarepang 
Titiang mati 

Dija ke rasa 
Tanggung jawab 
Beli ne ken tiang 
Ne suba kadung 
Nyerahang raga 
To nguda jani 
Campahang beli 

Di awal bulan juni 
Tiang nyakitang hati 
Asibak angkian tiang 
Angseh angsehin beli 
Sakit 

Senin, 30 Desember 2013

Arumi Album Nyakan Krikil

Arumi_ Nyakan Krikil

Arumi Album Nyakan Krikil

    Tonton Video Lagu-lagu di Album Ini via Youtube Di Sini
  1. Arumi - Nyakan Krikil
  2. DOWNLOAD
  3. Arumi - Baya Nemu Bagia
  4. DOWNLOAD
  5. Arumi - Cicing Kejepit
  6. DOWNLOAD
  7. Arumi - Kidung Lara
  8. DOWNLOAD
  9. Arumi - Sayang Dadi Sing Blanjaang (SDSB)
  10. DOWNLOAD
  11. Arumi - Takut Sing Laku
  12. DOWNLOAD
  13. Arumi feat Dek Blag - Mas di Lubukan
  14. DOWNLOAD
  15. Arumi feat Goes Toenk - TUH (Tusing Ulian Hobi)
  16. DOWNLOAD

    Bonus Lagu
  17. Arumi feat Ray Peni - Sing Ade Ubadne
  18. DOWNLOAD
  19. Arumi feat Yan Se - Kangen Rindu
  20. DOWNLOAD
  21. Arumi feat Yan Se - Sayang Kanti Mekurenan
  22. DOWNLOAD
  23. Arumi - Sampi Boya Bulldozer @ Lagu Kampanye (NB : Bukan politik, hanya sekedar Sharing)
  24. DOWNLOAD


Kamis, 26 Desember 2013

Dek Ulik Album Jegeg Nyelolet


Dek Ulik_ Jegeg Nyelolet


Tonton Video Karaoke Lagu-lagu di Album Ini via Youtube Di Sini

  1. Dek Ulik - Jegeg Nyelolet
  2. DOWNLOAD
  3. Dek Ulik - Meli Sambuk Di Dawan (Ft Lolak)
  4. DOWNLOAD
  5. Dek Ulik - Tiyang Demen
  6. DOWNLOAD
  7. Dek Ulik - Babakan Pule
  8. DOWNLOAD
  9. Dek Ulik - Mai Mai Mai (3M)
  10. DOWNLOAD
  11. Dek Ulik - Nyerahang Dewek
  12. DOWNLOAD
  13. Dek Ulik - Peteng Dedet
  14. DOWNLOAD
  15. Tut Asmara - Kurenan Jegeg
  16. DOWNLOAD

Rabu, 25 Desember 2013

Ary Kencana Album Putih Bagus



Ary Kencana Album Putih Bagus

    Tonton Video Karaoke Lagu-lagu di Album Ini via Youtube Di Sini
  1. Ary Kencana - Balian Sonteng
  2. DOWNLOAD
  3. Ary Kencana - Bli Nyak Nampi
  4. DOWNLOAD
  5. Ary Kencana - Boya Tresna Kapertama
  6. DOWNLOAD
  7. Ary Kencana - Cinta Mati
  8. DOWNLOAD
  9. Ary Kencana - Gek Rani 2
  10. DOWNLOAD
  11. Ary Kencana - Honor Pas-pasan
  12. DOWNLOAD
  13. Ary Kencana - Ngengkebang Sebeng
  14. DOWNLOAD
  15. Ary Kencana - Putih Bagus
  16. DOWNLOAD
  17. Ary Kencana - Rahwana Ngandong Sita
  18. DOWNLOAD
  19. Trio Januadi -  Telepon Salah Sambung
  20. DOWNLOAD

Sabtu, 21 Desember 2013

Canang Sari

Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”. Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Berbicara masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.
Banten adalah Weda, sama halnya dengan mantra. Ketika umat tidak mampu merapalkan mantra Weda dengan baik, sebagai bentuk bukti syukur umat dapat membuktikannya dengan menghaturkan sesajen atau banten yang baik sesuai dengan ajaran Weda. Melalui banten inilah sebagai penolong manusia menghubungkan antara yang dipuja dengan yang memuja (Rai Sudarta, 2001:58).
Ida Bagus Sudarsana dalam bukunya yang berjudul Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya menyebutkan dalam pelaksanaan upacara harus ada tiga unsur yakni bunga, air dan api, maka dalam pelaksanaan upacara kuantitas yang terkecil dari sarana yang dibutuhkan adalah berupa sarana yang merupakan inti atau kanista yang disebut dengan canang 
Canang  berasal dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/Jawa Kuno (Sudarsana, 2010:1). Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan  kekuatan Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa  beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi umat Hindu khususnya di Bali. 
Canang sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang dalam bahasa Jawa kuno awalnya berarti sirih, sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau, dan buah pinang.
Di Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu
Karena dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi. Selain itu canang sari merupakan sarana upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam Bhagawad Gita IX.26, dikatakan
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tat aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah

Terjemahan :
siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci

Jika dicermati petikan Sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan canang sari merupakan sarana upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil, karena isi canang umumnya terdiri dari daun,bunga, buah, dan biji yang semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Canang dan upakara yang lain merupakan pengejahwantahan Weda yang lahir dari konsep Yadnya, Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yakni Yaj yang berarti korban pemujaan. Jadi, Yadnya berarti korban suci (Made Ngurah, 2005:147). Jenis yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya.
Dalam konteks ritual upacara inilah yang melahirkan konsep upakara. Upakara yaitu bahan atau material yang akan menjadi wujud dalam persembahan itu. Berdasarkan besar kecilnya upakara yang digunakan yadnya dibedakan menjadi tiga yaitu nistha ( tingkat kecil), Madya ( tingkat menengah), Utama ( tingkat besar). Walaupun terbagi menjadi tiga tingkatan namun dari segi kualitas ketiganya tidak ada perbedaan, sepanjang dalam pelaksanaannya didasari dengan ketulusan dan kesucian hati. Begitu pula dengan canang walau merupakan upakara yang paling sederhana dibanding upakara yang lain namun dalam konteks yadnya, canang tetap meupakan pengorbanan suci sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Arti dan makna simbolik itu terkandung baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan dalam pembuatan upakara tersebut yang keseluruhannya merupakan simbol-simbol ketuhanan.
Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten.
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. 
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten yang lain,
Komponen canang sari :
  • Daun janur sebagai alas;
  • Porosan (sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih);
  • Seiris pisang;
  • Seiris tebu:
  • Boreh miik (sejenis bubuk berbau wangi);
  • Kekiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis);
  • Di atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);
  • sesari Pis Bolong atau uang 
Makna Filosofis Komponen dari Canang Sari? 
        1. Ceper.
Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. berbentuk segi empat juga merupakan simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).

        2. Beras.
Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.

        3. Porosan.
Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor (kapur) dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan). 
  • Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan), 
  • Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan), 
  • Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran). 
Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya
.
        4. Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu, seiris pisang serta sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali). Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
        
        5. Sampian Uras.
Setelah tersebut diatas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.

        6. Bunga.
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
  • Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
  • Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
  • Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
  • Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan

        7. Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa). Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).

        8. Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.

        9. Minyak wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini. Isi canang sari mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam lontar. Jadi, canang sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi Weda yang kemudian diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali.

Kamis, 12 Desember 2013

Sekilas Tentang Sejarah Desa Depeha

Om Swastyastu, 
1.    SEJARAH DESA DEPEHA
Peta Desa Depeha
Sejarah Desa Depeha tidak bisa lepas dari kaitan sejarah Pulau Bali secara keseluruhan. Karena bagaimana kerajaan-kerajaan kuno di Bali berdiri, demikian pula Desa Depeha didirikan. Desa merupakan salah satu pintu gerbang masuk ke kerajaan Bali Kuno. Bagaimana kerajaan pusat diatur, demikian pula aturan yang berlaku di desa yang menjadi pos terdepan tersebut, hanya saja dalam skala yang lebih kecil.
Sejak jaman dahulu Pulau Bali sudah dikenal oleh pedagang dan pendeta Tiongkok (Cina). Kala itu, para pedagang dan pendeta memasuki Pulau Bali melalui pantai-pantai di mana saja, karena mereka datang menggunakan perahu-perahu dan sampan kecil. Untuk Bali Utara (Buleleng) pada umumnya mereka mendarat di Teluk Terima (Celukan Bawang), PantaPemuteran, Sungai Raja (Singaraja), Sangsit, Kubutambahan dan Julah. Kalau armada perang biasanya mereka masuk melalui pesisir Desa Julah atau long march dari Gilimanuk ke timur. Kalau di Bali selatan mereka mendarat melalui Pantai Sanur. Karena panjangnya pantai utara, maka kita akan membaginya  menjadi tiga wilayah yaitu: Pantai timur (Julah), Pantai Tengah (Kubutambahan-Sangsit), Pantai Barat (Celukan Bawang).
Sekarang kita akan meninjau pasang surut perkembangan pantai tengah saja.  Di bagian ini sejak jaman dahulu dikenal tiga desa yang sangat terkenal yaitu Desa Menasa (Penarukan-Sangsit-Sinabun), Desa Banyubuah (Bungkulan-Kubutambahan-Sanih Barat) dan Desa Indrapura (Depeha-Sanih Timur-Bukti). Ketiga Desa ini seolah-olah merupakan kerajaan-kerajaan kecil dan bahkan beberapa dari antara raja-raja Bali ada  yang pernah bermukim di desa-desa itu.
            Menasa merupakan “kota perdagangan” yang cukup ramai di Pantai Utara. Desa Banyubuah merupakan desa pertahanan/benteng dan tempat persembunyian juga sebagai tempat pemunggutan cukai masuk ke kerajaan Pusat. Sedangkan Desa Indrapura merupakan desa pengembangan spiritual untuk wilayah pantai utara itu. Di Desa Indrapura terdapat pura Bukit Sinunggal sebagai tempat memuja Wisnu. Kata Sinunggal berasal dari kata Si berarti seseorang dan Nunggal berarti menyatu. Jadi Bukit Sinunggal artinya tempat seseorang untuk menyatukan diri pada Hyang Pencipta.
           Dahulu Pulau Bali juga dikenal sebagai pulau pusat para pertapa, para pendeta dan para brahmana. Mereka mendirikan pusat-pusat pemujaan dan pertapaan di sekitar Gunung Batur dan Gunung Agung. Nama kuno kedua gunung adalah Agni Cala dan gunung Udaya. Asrama-asrama disekitar gunung banyak dikunjungi orang sehingga tempat berjualan dan tempat bermalam di buka di sana. Orang yang mengusahakan semua fasilitas tersebut kebanyakan saudagar-saudagar Cina. Saudagar Cina tersebut sebagian besar datang dari Sumatra yang membongkar muatan perahunya di Pantai Sangsit kemudian melanjutkan perjalanan ke selatan melalui Desa Sinabun, Bebetin, Bila Tua lanjut ke Dausa, Kintamani dan desa-desa di sekitar Danau Batur, khususnya Desa Pinggan. Pada saat itu jalan melaluiDesa Bulian dan Depeha belum dikenal.
            Adalah saudagar Cina yang terkenal pada saat itu bernama Ma Ping Gan atau lebih dikenal dengan nama Tuan Ping. Beliau membuka tempat usaha, kemudian desa tersebut dikenal dengan nama Desa Pinggan. Dari sana diedarkanlah mangkok-mangkok porselin yang kemudian juga disebut pinggan. Orang yang dipandang paling berkuasa di Bali saat itu juga keturunan Cina dari Sumatra bernama Beng Kui Lun. Orang Cina ini memang kaya raya dan telah berkuasa di Pulau Bangka (Bengkulu), Hongkong (Beng Kow Loon) dan di Bali berkedudukan di Bangli (Beng Sui Li). Beng Kui Lun oleh orang Bali dianggap sebagai  Ida Hulu bersahabat baik dengan saudagar kenamaan Ma Ping Gan tersebut. Suatu saat saudagar Ma Ping Gan oleh orang Bali disebut Ngkoh Ping mempersembahkan seorang anak gadisnya kepada Beng Ida Hulu dengan harapan agar cucunya nanti dapat mewarisi kekayaan dan kekuasaan Beng Ida Hulu itu. Dari perkawinan itu lahirlah anak putra-putri kembar yang diberi nama Ma Sui La dan Ma Sui Li menggunakan nama keluarga Ma dari pihak ibunya sebagai tanda kecintaan raja Beng kepada istrinya. Saudagar Ma Ping Gan memang orang berambisi  dan licik. Sejak dulu dia sudah mengumpulkan ahli-ahli silat bayaran memproduksi senjata tajam yang sangat halus dan mendirikan perguruan silat aliran tenaga IM, yang disebut Bali IM Kang. Kemudian pusat perguruan silat ini disebut Balingkang. Sejak Ma Sui La dan Ma Sui Li diangkat menjadi penguasa tertinggi menggantikan keturunan Beng pusat kerajaan itu mendapat julukan Bedahulu. Ma Sui La-Ma Sui Li oleh orang Bali menyebutnya dengan nama Masula-Masuli yang lahir dari Keloping yang mestinya lahir dari Ngkoh Ping.
            Kekayaan orang-orang Cina di Bali terkenal sampai ke Sumatra (kerajaan Sriwijaya). Raja Sriwijaya tidak senang akan hal itu. Akhirnya dia mengirim armada perang yang dipimpin oleh Sri Kesari Warmadewa untuk menyerang Bali saat itu. Armada perang tersebut mendarat dan membuat pos di Sanur. Dari Sanur lah Sri Kesari Warmadewa menyerang orang- orang  kaya Cina yang berkuasa di Bali. Pasukan gabungan Beng Kui Lun dan Ma Ping Gan pecah berantakan diserang oleh pasukan Sumatra yang menyerang dari selatan. Oleh karena itu pasukan Cina yang masih hidup melarikan diri Bali Utara sebagian dari mereka yang masih hidup ada yang tinggal menetap disebuah desa yang sekarang disebut Desa Bengkala. Sejak itu ia terkenal bisu (kolok). Nama Bengkala berasal dari kata Beng Kala dilumut Sumut la yang artinya raja Beng kalah direbut Sumatra. Orang Bali bilang Bengkala kacau direbut semut. Sebagai bukti  di Bengkala banyak sekali ada orang bisu (kolok) dan mereka itu ahli silat aliran IM. Dialek orang-orang di sana iramanya seperti bahasa cina/dialek cina.                                               
            Sebagian pasukan Cina itu lari ke Pacung (Ma Pa Cung) dan Julah (Ma Sui La). Sebagian lagi menuju Bungkulan (Beng Kui Lun), yang kebanyakan tinggal di Desa Alasarum sekarang Irama bahasa mereka semua sampai sekarang mirip dengan irama bahasa Cina dan banyak dari mereka berkulit putih dan bermata sipit. Hingga sekarang mereka masih memuja ke Balingkang. Demikian orang-orang cina itu dikalahkan oleh pasukan Sumatra yang dipimpin oleh Sri Kesari Warmadewa. Setelah Bali dapat dikuasai kerajaan diserahkan kepada pamannya yang bernama Raja Ugrasena. Sedangkan Sri Kesari Warmadewa ditugaskan untuk membangun Parahyangan-Prahyangan penting yang diawali dengan membangun Pamrajan Selondingtempat pemujaan bagi keluarga Raja Pusat di Bedahulu.
            Sementara Sri Kesari Warmadewa sibuk membangun kuil-kuil pemujaan di Besakih. Kerajaan Ugrasena diserang oleh pasukan dari Jawa dan juga dimusuhi oleh orang-orang Cina. Oleh karena itu kurun waktu 15 tahun kerajaan itu jadi kacau, raja dan putra-putrinya dapat ditewaskan/ditawan. Seorang Putri cucu dari Ugrasena kemudian diangkat menjadi Ratu, bernama Sri Subhadrika Darmadewi.Beliau menikah dengan seorang Panglima Perang putra dari Sri Kesari Warmadewa yang bernama Tabanendra Warmadewa. Tetapi kerajaan masih sering sekali kacau diserang dari Jawa. Akhirnya pusat pemerintahan/kerajaan dipindahkan ke daerah Kintamani. Disana selama 4 tahun Tabanendra Warmadewa sibuk memerangi musuh-musuhnya.Ratu Subhadrika sibuk mengatur dan membuka tanah-tanah pertanian baru untuk memperbaiki kehidupan/kesejahtraan rakyatnya.
            Pemasukan negara meningkat sehingga kerajaan menjadi kaya raya. Seorang abdi yang tidak jelas asal usulnya  namun cerdas dan setia mengendalikan pembendaharaan negara kala ituAbdi tersebut kemudian ingin menyingkirkan Tabanendra yang selalu sibuk memerangi musuh-musuhnya. Atas desakan Mentri, Bendaharawan Negara dan pertimbangannya sendiri, akhirnya Tabanendra Warmadewaberangkat ke Merajan Selonding untuk memperdalam ilmu yoga dan ilmu perang. Tiga tahun kemudian ada utusan istana yang memberi tahu Tabanendra bahwa, di Istana telah terjadi keributanratu lari menunggang kuda dan jatuh ke jurang hingga tewas.
            Mendengar laporan tersebut Tabanendra segera berangkat ke tempat Ratu Subhadrika jatuh, didapatilah ratu masih hidup. Ratu hanya pingsan dan cedera. Ratu dirawat di tempat persembunyian dan Tabanendra mengamankan Istana. Setelah Negara aman kemudian putranya yang bernama Jayasingha Warmadewa dinobatkan menjadi raja. Tidak lama kemudian ratu Subhadrika Dharmadewimangkat. Tabanendra Warmadewa sangat sedih akhirnya Beliau memutuskan untuk melakukan pengembaraan di Bali Utara. Dibukanya hutan, didirikanya desa-desa di tempat-tempat tersembunyi dan strategis bersama beberapa pengawal/pasukanya. Baginda itulah yang membuka Desa Banyubuah (Bulian) dan Indrapura (Depeha). Mereka tahu bahwa di daerah sekitarnya seperti Pacung, Bengkala,Bugkulan telah diduduki orang-orang Cina. Setelah membuka Desa Indrapura dan Bulian mereka melanjutkan perjalanan ke barat  menyusuri pantai. Baginda terus berkelana sampai daerah Sepang dan Jembrana, bahkan sampai ke Jawa Timur (Blangbangan-Madura). Akhirnya Baginda mengambil seorang istri dari Jawa timur yang kemudian dikenal dengan nama Dewi SubhandarNama itu diberikan untuk mengenang istrinya pertama yaitu Subhadrika Dharmadewi. Kemudian Baginda kembali ke istana. Baginda dan prameswari tinggal di Singaraja dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Disana mereka membangun kuil dengan nama Gunung Sari untuk menghormati dan mengenang istrinya yang pertama. Di daerah pesisir Beliau membangun Kuil Taman Sari. Di Pantai Singaraja ini Baginda menghimpun kekuatan untuk melawan pasukan Cina yang berkeliaran di wilawah Sangsit, Sinabun dan Bungkulan. Akhirnya Baginda dapat menguasai wilayah itu.
            Baginda Raja kemudian mendirikan pusat kota yang disebut SumanasaNama Sumenasa juga untuk mengenang istri pertamanya yang menurut Baginda istrinya mati setelah terjatuh dari kuda.Baginda terkenang akan sebuah cerita tentang kesetiaan cinta, yaitu cerita Sumenasa AntakaKemudian pusat Kota Sumenasa tersebut kini dikenal dengan nama Menas(terletak di Desa Sinabun sekarang)Di tempat itu Baginda mendirikan istana kecil lengkap dengan benteng dan tempat pemujaan. Dewa yang dipuja di sana Dewa Wisnu dan Ganesha (Dewa Ghana), yaitu dewa pembuka dan pengaman jalan,menjauhkan kita dari segala kesukaran. Selain itu dipuja juga Dewi Subhadrika (Gunung Sari). Daerah kekuasaan Beliau terbentang dari Bungkulan, Sangsit, Pantai Singaraja sampai ke barat (tetapi tidak jejas batas baratnya).
            Pada saat Baginda mulai uzur pembrontak oleh Cina terjadi lagiKota Sumenasa diserang, tetapi Raja dan anggota keluarganya sempat melarikan diri ke Desa Banyubuah (Bulian) dan di desa itu Baginda menetap hingga wafat. Putra putri Baginda dari istrinya ke 2 ada yang menetap di Desa Banyubuah, Indrapura dan ada kembali ke Pusat kerajaan. Namun tetap Desa Banyubuah dan Indrapura dianggap Desa kelahiran mereka. Setelah Baginda Tabanendra Warmadewa wafat mayatnya diperabukan /disemayamkan  di Bukit Sinunggal.
            Desa/kota Sumenasa telah di duduki oleh pasukan Cina yang dipimpin oleh Panglima Bun. Dari sinilah kemudian menjadi Cinabun (Sinabun). Pasukan Panglima Bun memperluas kekuasaan sampai menuju Tabanan yang dulu merupakan kekuasaan Tabanendra. Nama Tabanan diperkirakan berasal  dari nama Raja Tabanendra yang pernah berkuasa di wilayah tersebut.
2.    KERAJAAN  INDRAPURA
  Kerajaan Indrapura didirikan oleh salah satu putra Baginda Raja Tabanendra Warmadewa dengan Prameswarinya yang ke 2 yaitu Dewi Subandar. Nama Indrapura diperkirakan untuk mengenang ayah beliau yang banyak membangun tempat suci seperti pura/kuil. Pusat Kerajaan berada di sebelah barat Bukit Sinunggal (wilayah Tampul  Lawang-Dalem Dasar di Tajun). Tampul Lawang berasal dari kata Tampul berarti tiang,dan Lawang berarti pintuJadi Tampul Lawang merupakan salah satu pintu kerajaan menuju ke pucak Bukit Sinunggal. Bukit Sinunggal juga terkenal dengan sebutanPucak Sinunggal yang artinya tempat terakhir untuk seseorang menyatukan diri pada Hyang Pencipta (Widhi Wasa) dan dalam ajaran Agama Hindu disebut Moksah. Hal ini dapat  dibuktikandengan keberadaan raja Bali kuno di dalam mengakhiri hidupnya. Beliau datang bertapa ke Pucak Sinunggal untuk bisa Moksa. Bagi raja yang tidak moksa abunya disemayakan di sana sebagai wujud penyatuan dengan Sang Hyang Widhi (Sang Pencipta).
Kerajaan Indrapura dan Bukit Sinunggal termuat dalam Prasati Gobleg nomor 010 tahun caka 905, Prasasti Sableng nomor 006 caka 836 dan nomor 507 caka1037 serta Prasasti Depaa nomor 555.Prasasti yang dikeluarkan Maharaja Sri Kesari Warmadewa tahun caka 836 juga memuat nama Indrapura. Adapun bata-batas kerajaan Indrapura menurut Picendek/catatan Paduka Sri Maharaja Jayasakti yang menjadi raja Bali tahun caka 1055-1072 menyebutkan:
            1. Di sebelah Utara Laut
            2. Di sebelah Timur Tukad (sungai) Air Hinipi
            3. Di sebelah Selatan Amuhan/Kembangsari
            4. Di sebelah Barat Tukad (Sungai) Air Buah (Yeh Buah)
            Diceritakan, pada suatu hari salah seorang raja Bali yang bernama Suradipa, Beliau keturunan Raja Sri Kesari Warmadewa, paman dari Raja Indra Pura setelah berusia lanjut beliau mengundurkan diri menjadi raja di Bali, lalu Beliau pergi bertapa ke Bali Utara yaitu wilayah hutan IndrapuraBegitu Baginda wafat abu jenasahnya di semayamkan di Pucak Bukit Sinunggal. Untuk mengenang beliau pernah sebagai raja Bali sekaligus sebagai paman sang raja. Maka  Desa/kerajaan Indrapura diberinama Desa/kerajaan Dipa menjadi Depaa yang diambil dari nama Saradipa.
            Setelah beberapa lama Desa Depaa/Indrapura pindah ke Utara yaitu ke Barat Laut Bukit Sinunggal di wilayah Wana Sari (masuk wilayah Desa Tunjung sekarang). Pada saat saat itu namadesa/kerajaan berubah yaitu bernama Ulap SariBeberapa sumber mengatakan nama ini diambil dari keberadaan Putri Baginda Raja yang sangat cantik bagaikan apsari/bidadari yaitu kata Apsari menjadiUlap SariAda juga yang mengatakan Ulap Sari berasal dari 2 kata yaitu Ulap berarti menjemput/mendak sedangkan sari berarti kemakmuran.
            Setelah Putri raja Ulap Sari dewasa, Beliau sering diajak Baginda Raja tangkil ke Menasa untuk mengadakan sembah bakti pada leluhur beliau. Karena pura Gunung Sari di Menasa dibuat mendiang Tabanendra Warmadewa, ayah kandung Baginda raja Indra Pura untuk mengenang istri pertamanya Subhadrika DharmadewiDi sanalah mereka kenal dengan seorang raja tampan dari Bakung (Sukasada). Akhirnya Sang Putri jatuh cinta pada Pangeran,sehingga diceritakan Sang Putri akhirnya dipersunting oleh seorang pangeran/putra raja dari Bakung (Sukasada).
            Disebutkan pula Baginda Raja, ayah dari Dewi Ulap Sari ikut ke Bakung (Sukasada) bersama beberapa pasukannya dan masyarakatnya. Baginda Raja tidak mau dipisahkan dari anaknya. Akhirnya Raja Bakung memberikan tepat tinggal di Penataran (Buleleng). Karena Sang Raja tinggal di sana akhirnya rakyat Ulap Sari banyak yang pindah ke Penataran ikut Baginda raja. Saking lamanya Beliau tinggal di Penataran akhirnya Baginda wafat dan disemayamkan di sana. Lalu dibuat tempat menstanakan dan memuja Beliau. Tempat itu diberi nama Dalem Depaa, Dalem artinya raja sedangkanDepaa asal mula Baginda yaitu dari kerajaan Depaa/IndrapuraSemenjak itu hubungan Desa Adat Depeha dengan Desa Adat Sukasada tetap terjalin. Hal ini dapat dibuktikan, dimana setiap tahun yaitu setiap Piodalan di Sukasada selalu mengundang (Ngontelin) ke Desa Adat Depeha. Begitu pula bila Desa Adat Depeha mengadakan Upacara memakur pastilah mengundang (Ngontelin) ke Sukasada sebagai bukti  hubungan sang ayah dengan anaknya.
            Diceritakan beberapa masyarakat Ulap Sari yang tidak ikut Baginda raja ke Penataran (Buleleng) akhirnya lagi pindah ke Timur yaitu di Timur Laut Bukit Sinunggal. Kemudian di sana mereka menetap dan lama kelamaan membentuk desa baru yang diberi nama Desa Bayad. Bayad berasal dari kata Bah dan Yad, karena ketika warga sampi di sana dijumpai banyak pepohonan yang rebah (basa bali Bah)dan tanah-tanah bekas longsor (basa Bali Biyad) sehingga kedua kejadian itu dijadikan nama desa yaitu Desa Bah Biyad menjadi Bayad.
            Sementara itu masyarakat Desa Depaa yang tinggal di Penataran (Buleleng) setelah Baginda wafat mereka sepakat untuk kembali pulang. Sampai di Singkung (wilayah Tangkid, timur Desa Tamblangterdengarlah berita bahwa pusat kerajaan sudah ada yang menduduki. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal membuka pertanian di sana.
            Adapun yang tinggal di sebelah Barat Daya Bukit Sinunggal adalah  masyarakat pelarian dari Desa Selulung dari Bali Selatan. Mereka pada mulanya ingin  meminta bantuan pada Raja Indrapurakarena Desa Selulung diserang pasukan dari daerah lainTetapi setibanya di daerah Indrapura ternyata hanya ada bekas kerajaan. Kemudian masyarakat dari Selulung itu membuka desa dekat dengan Istana Indrapura. Karena yang mereka bawa dari Selulung hanya alat-alat perang seperti tombak akhirnya mereka berniat mencari alat-alat di bekas kerajaan Indrapura. Dari pencarian itu ditemukan satu alat perambah hutan yaitu Tah (Parangdan satu alat untuk mengambil air yaitu Jun (Priuk Tanah). Kedua alat itulah sebagai alat membuka lahan pertanian dan membentuk desa yang diberi nama Desa Tahjundan lama-kelamaan menjadi Tajun.
            Setelah berapa tahun masyarakat Tajun berkembang pesatakhirnya sebagian dari mereka ada yang membuka lahan sampai ke utara. Namun mereka mencari air saat itu sangat sulit. Kemudian beberapa dari mereka pergi ke barat di daerah sungai.  Tiba-tiba mereka tercengang melihat bunga tunjung berwarna warni. Kemudian mereka itu mendekati bunga itu di bawah bunga ternyata ada mata air (tempat itu berada di sebelah timur Pura Mas Desa Depeha sekarang). Hal ini menyebabkan dari mereka tidak lagi pulang ke Tajun. Setelah beberapa lama penduduk semakin banyak akhirnya mereka membentuk desa baru yang diberi nama Desa Tunjung.
            Masyarakat Depaa yang tinggal di Singkung diceritakan kehidupannya agak susah terlebih-lebih adanya serangan semut (Kalahang Semut). Ada tapsiran lain bahwa, semut yang dimaksud  bukanserangga melainkan pasukan dari Sumatra. Dalam Eka Lekita Desa Indrapura yang dibuat Bapak Gede Sekar tahun1999 dikatakan Desa Depaa di Singkung dikalahkan semut (semut serangga) yang mengganggu tanaman mereka sehingga masyarakat jatuh miskin. Karena desanya diserang semut akhirnya mereka berpindah ke timur menuju Bahbyu (Babyu). Tapi tidak semua masyarakat ikut,beberapadari masyarakat pindah ke selatan dekat dari Singkung kemudian membentuk  desa baru yang diberi nama Desa TangkidTangkid artinya ngambil/nyimpan (ngampilang) barang-barang yang ditinggalkan penduduk. Desa Adat Tangkid memiliki struktur desa yang hampisama dengan Desa Depeha yaitu ada Jro Bau, Jro Kubayan, Jro Singguk dan lain sebagainya.
Masyarakat yang pindah ke Bahbyu akhirnya tinggal di tempat itu. Di ceritakan di sini masyarakat membangun Pura Dalem Purwa (Pura Emas sekarang). Pura ini dibangun untuk memuja leluhur Baginda Raja, karena tidak mungkin mereka sembahyang ke Dalem Depaa di Penataran ( Buleleng) setiap hari. Kata Dalem Purwa berasal dari 2 kata yaitu Dalem artinya RajaPurwa artinya Timur/pertama. Sebab yang dipuja di sana adalah para leluhur raja Bali sampai pendiri kerajaan Indrapura bahkan sampai ke Dalem Solo/Dalem Subandar yaitu arwah suci Dewi Subandar.
            Setelah beberapa lama kehidupan masyarakat Bahbyu  semakin kurang sejahtera. Akhirnya mereka pergi ke timur laut ke Banua. Di sini mereka membuka desa baru yaitu Desa Banua. Kehidupan masyarakatnya sangat sejahtera. Masyarakatnya hidup rukun (Paras Paros Sarpanaya Selunglung Sebayantaka) di bawah pimpinan seorang Brahmana yang bernama Pedanda Sinuhun sebagai istana beliau di Sangkumpi. Setelah lama mereka tinggal di sana masyarakat Banua banyaknya mencapai 800 kepala keluarga.
            
Ilustrasi  Gambar Ida Pedanda Sinuhun
Suatu ketika Desa Banua diserang wabah penyakit (Grubug Agung) sehingga banyak sekali masyarakatnya yang meninggal bahkan yang tersisa saat itu cuma 22 kepala keluarga dan Ida Pedanda Sinuhun sendiri. Akhirnya Ida P
edanda Sinuhun memerintahkan masyarakatnya untuk pindah dari sana ke barat daya. Kemudian salah satu wakil masyarakat bertanya “,Ke Barat Daya dimana, Ratu Pedanda?”Ida Pedanda Sinuhun berkata,” Ke  tempat sinar itu,!!” sembari menunjuk ke arah sebuah sinarDan masyarakat pun setuju.
            Sebelum berangkat masyarakat yang terdiri dari 22 kepala keluarga dibagi menjadi dua, terdiri dari 11 orang di kanan (Tengen) dan 11 orang di kiri (Kiwa) sebagai simbul Dwi Lingga yaitu PurushaPradana dengan susunan sebagai berikut :
            Di Tengen /Banjar Dangin Pura                   Di Kiwa/ Banjar Dauh Pura
            1. Jero Pasek (Manggala Yadnya)               1. Jero Kubayan (Pawekas Yadnya)
            2. Jero Prawayah                                          2. Jero Bahu
            3. Jero Marewayah                                       3. Jero Singguk
            Ke-6 orang tersebut di atas disebut Desa Hulu/Kepala
            4. Desa Linggih  Kangin 7 orang                 4. Desa Linggih  Kauh 7 orang       
Ke-14 orang Desa Linggih di atas disebut Desa Ngarep/Perut
            5. Pider Kangin 1 orang                               5. Pider Kauh 1 orang 
Kemudian semua warga desa di atas sampai saat ini disebut dengan ”DESA KALIH LIKUR”.
            Selesai membagi dan membentuk desa “Kalih Likur” Ida Pedanda memberikan Genta (Bajra) bersimbul Lembu Nandini sebagai lambang tempat/linggih Siwa (Ida Pedanda Mraga Siwa Sakala).Bajra ini sampai saat ini disebut Dewa Tangguran. Pada saat itu Desa Kalih Likur berkata ”Kami tidak bisa memantra (mawedaapalagi disertai dengan menyuarakan bajra, jelas kami tidak bisa, Ratu Peranda”. Ida Pedanda Sinuhun kemudian bersabda Baiklah, tirtanya akan aku selesaikan sekarang dan sangkunya (tempat tirta) akan aku semayamkan pada sebuah sumur” (sekarang sumur berada di Pura Tirta Maji). Ida Pedanda lanjut bersabda “Apabila kelak masyarakat mengadakan upacara wenang nunas (wajib memohon)  tirta di sini sesuai dengan keperluan upacara, serta bajra ini aku serahkan padaJro Kubayan, apabila masyarakat  membuat upacara harus nguntap/mendak/ menjemput prajuru desa/desa hulu dan membawa bajra ini, aku akan muput dari niskalaSetelah memberi wejangan dan menyerahkan bajra itu Ida Pranda Sinuhun langsung Moksa di tempat tersebut.
            Setelah Ida Pedanda Sinuhun moksa masyarakat “Kalih Likur” pindah menuju sinar yang ditunjuk. Ternyata sinar itu datangnya dari Dalem Purwa (Pura Emas sekarang) yang dibangun leluhurnya terdahulu saat tinggal di Bahbyu. Kemudian Pura itu diberi nama Pura Emas, karena memancarkan sinar berkilauan seperti emas. Konon pura tersebut setelah dipugar pucak candi /gapuranya diisi emasuntuk mengukuhkan lagi nama Pura Emas.
            Ketika tiba di sekitar Pura Dalem Purwa (Pura Emas) lingga Ida Bhatara disemayamkan di Merajan Pasek Gelgel, kemudian Desa Kalih Likur memberi nama Desa Dipa yang artinya sinar(Div=sinar). Dari nama Dipa menjadi Depa (depaa) dan juga mengenang nama Desa Depaa yang diambil dari nama raja Saradipa. Selanjutnya masyarakat membangun Pura Kawitan,yang dipelaspas pada hari  Rabu Keliwon Ugu (Buda klion Ugu). Pada saat desa menghaturkan bhakti pemelaspas dan piodalan di Pura Kawitan. Penghulu desa/desa kalih likur memohon kemakmuran, ketentraman serta tidak diserang wabah penyakit. Masyarakat berjanji dia dan keturnanya,  apabila sudah berkeluarga akan mempersembahkan upacara Kelaci/bulu geles (pecaruan sapi) yang di persembahkan kepada:
Ø  Ida Bhatara yang bersetana di Dalem Dasar dan Pucak Sinunggal, sebagai stana leluhur Desa Depaa/kerajaan Indrapura yang pertama.
Ø  Ida Bhatara di Dalem Bulian untuk memohon berkah dan mengenang bahwa nenek moyang (Raja Indrapura dan Raja Bulian ) bersaudara sodet yaitu satu ayah satu ibu.
Ø  Ida Bhatara di Dalem Kelod (Utara) yaitu Ida Bhatara Hyang Subandar/Dalem Solo untuk memohon anugrah sekaligus menghormati roh leluhur nenek moyang kita yang berasal dari Jawa yaituDewi Subandar istri dari Baginda  Tabanendra Warmadewa
Persembahan bulu geles/klaci disertai dengan menghaturkan babi guling (Timun Aji Siu) untuk bhakti ke Dalem Dasar/Kaja dan Kelod Kauh (Bulian) yang terletak di barat laut. Bhakti kelaci tersebut saat ini lebih dikenal dengan istilah “NGATURIN”. Mengenai hubungan kita dengan Jawa sampai saat ini kita kenal dari penganteb/pemuput yadnya yang memakai sontengan (bukan Weda) kita selalu dengar ucapan Ratu Bhatara ring Majapahit, Dalem Solo, Dalem Subandar,ini merupakan bukti bahwa kita memiliki hubungan dengan-Nya.
            Setelah Mpu Kuturan datang ke  Bali, beliau gencar sekali menyebarkan paham Tri Murti yaitu pemujaan pada Dewa Brahma sebagai  Pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, Dewa Siwa sebagai Pelebur. Sebagai tempat pemujaan Beliau,di tiap desa dibangun Pura Desa/Bale Agung untuk tempat memuja BrahmaPura Puseh tempat memuja Dewa Wisnu dan Pura Dalem tempat memuja Dewa Siwa. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk menyebarkan ajaran Tri Murti tersebut  salah satunya melalui misi Kesenian Gambuh dan ceramah melalui pasraman. Hal ini dapat kita buktikan di setiap desa tua ada/pernah ada tarian Gambuh seperti di Pedawa, Cempaga, Tigawasa, Depeha termasuk Desa Bulian pernah ada. Tarian Gambuh dimainkan/perankan oleh semua laki-laki. Karena Tari Gambuh tersebut pindah-pindah pentasnya dari satu desa ke desa yang lain yang jaraknya sangat jauh. Seandainya anak perempuan diikutkan apalagi pada saat hamil tentu tidak bisa lagi menari, apalagi pindah pentas ke desa yang lainnya yang jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu sampai saat ini Tari Gambuh yang disakralkan di Desa Depeha. Pemainya semua laki-laki. Alat musik yang dipakai rebab, kenong/semar pegulingan.
            Setelah adanya paham Tri Murti yang disebarkan oleh Mpu Kuturan barulah di bangun Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Saat itu Desa Depaa sudah menempati tempat yaitu Dangin Pura Kawitan dan Dauh Pura Kawitan. Yang tinggal di Dangin Pura adalah Jero Pasek, Jero Prawayah, Jero Marawayah, Desa Linggih 7 orang dan Pider Kangin 1 orang beserta keturunannya. Sedangkan Dauh Pura (sebelah Barat Pura) Kawitan di tempati oleh Jero Kubayan, Jero Bahu, Jero Singguk, Desa Linggih 7 orang  dan Pider Kauh 1 orang beserta keturunannya.
            Karena banyaknya Pura di Desa Depaa, kemudian Desa Kalih Likur bermusyawarah dipimpin oleh Jero Pasek. Musyawarah ini menelorkan hasil sebagai berikut
  1. Pura Baleagung, Pura  Puseh, Pura Dalem dipegang (amongan) Jero Kubayan, Jero Bahu, Jero Singguk, Desa Linggih Kauh 7 orang dan Pider Kauh/barat 1 orang dan diteruskan oleh keturunannya.
  2. Pura Banua, Sangkupi, Pura Sang Jero sebagai stana Dewa Gana dipegang (amongan) Jero Pasek, Jero Prawayah, Jero Marawayah, Desa Linggih Kangin 7 orang dan pider Kangin/timur 1 orang dan diteruskan oleh keturunannya.
  3. Pura Emas diserahkan menjadi amongan Dadya (Dadya Pula Sari namanya sekarang),tetapi setiap dadya ada wakilnya yang ikut di Pura Emas.
  4. Kesenian Gambuh dan alat musiknya (gong Semar Pegulingan), Ilen-ilen Ida juga diamong oleh dadya tersebut karena seni tabuh awal mulanya mayoritas dari dadya tersebut.


            Setelah terjadi kesepakatan, tiba-tiba terjadi lebat disertai petir. Seketika saat itu ada suara di udara (sabda ngantara) yang bunyinya Depahaaaaa, depahaaaa yang mengisyaratkan bahwa DesaKalih Likur dan pura tidak boleh dibagi. Oleh karena itu setiap Desa Kalih Likur berembug/sangkep tempatnya harus ditukar terutama pada pesangkepan di Pura DesaJero Pasek, Jero Prawayah, JeroMarewayah dan bawahannya duduk di tepi balai sebelah barat sedangkan Jero Kubayan, Jero Bahu, Jero Singguk dan bawahannya duduk di tepi balai sebelah timur sebagai wujud penyatuan. Semenjak ituDesa Depaa berganti  nama menjadi Desa Depaha yang berasal dari kata Da artinya jangan dan Paha artinya dibagi. Depaha artinya jangan di bagi. Semenjak itu sampai saat ini bila menghaturkan bhakti podalan di pura-pura milik desa, Desa Kalih Likur selalu bersama-sama. Nama Desa Depaha mengalami perubahan menjadi Depeha sekitar + 1980 an.
 Om Shanti Shanti Shanti Om

Teks Asli Oleh I Made Ardipa
Disunting & dipublikasikan ke Blogger Oleh I Putu Ngurah Restiada