ESENSI AJARAN YOGA DALAM TATTWA JNANA
I Pendahualuan
1.1 Latar Belakang
Secara
etimologi yoga berasal dari urat kata yuj, yang artinya berhubungan. Kata
berarti hubungan atau berhubungan, yang dimaksud
adalah bertemunnya roh individu (Atma/Purusa)
dengan roh universal yang tidak berperibadi (Mahapurusa/
Paramatman). Sedangkan menurut Rsi Patanjali dalam Yogasutra I : 2
mendefinisikan yoga sebagai “yogas citta
vrrti nirodhah” yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: Mengendalikan
gerak gerik pikiran, atau mengendalikan tingkah polah pikiran yang cenderung
liar, bias, lekat terpesona terhadap objek (yang dikhyalkannya) memberi nikmat
(Yasa dkk,
2006 : 6). Di sisi lain, menurut Pidarta (2000 : 136-137), kata yoga dapat juga
diartikan menghubungkan diri dengan
Tuhan melalui pikiran. Adapun caranya
adalah dengan memusatkan
pikiran hanya kepada Tuhan. Yoga bukanlah suatu jalan keahlian tertentu, melainkan suatu
pengakuan dan pengabdian. Yoga adalah suatu dorongan batin untuk pengembangan
diri. Pada tiap langkah yoga merupakan proses penilaian diri (Saraswati, 2004 : 5). Dalam perspektif lain, yoga adalah cara untuk mulat sarira (merefleksikan/instrospeksi diri) yang menyebabkan orang tahu diri, sehingga menjadi suci
lahir bhatin. Suci berarti sahrdaya,
yakni sehati dalam Tuhan Yang Maha Suci. Yoga merupakan bagian
dari ajaran agama Hindu yang didalamnya
terdapat ajaran etika dan moralitas yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan ini.
Etika
dan moralitas yang terdapat pada yoga merupakan bagian dari Astangga Yoga, yaitu bagian dari yama dan nyama yang dijadikan etika.
Astangga Yoga
merupakan delapan tahapan disiplin atau pengendalian diri. Jadi
seseorang yang ingin melakukan sebuah hubungan dengan Tuhan dalam konteks yoga
hendaknya menerapkan ajaran Astangga Yoga
mulai dari tingkatan yang paling awal sampai pada tingkat Samadhi
yang merupakan puncak dari Astangga Yoga.
Seseorang
tidak akan mampu mencapai Samadhi
apabila tidak mengendalikan indrya-indrya, karena dalam Astangga Yoga yang sangat penting dilakukan adalah pengendalian
diri serta menjalankan pantangan-pantangan.
Dalam
Tattwa Jnana dijelaskan bahwa Guna sangat berpengaruh terhadap sifat
seseorang, satu sama lain berbeda tergantung pada kadar Guna yang ada pada
diri seseorang. Bila Sattwa dominan
pada Citta akan menimbulkan
sifat-sifat yang baik, bila Rajah dominan pada Citta akan menimbulkan sifat-sifat yang kurang baik. Namun bila Rajah dan bertemu dengan Sattwa akan menyebabkan mencapai sorga.
Bila Sattwa, Rajah dan Tamah sama-sama dominan menyebabkan terlahir menjadi
manusia.
Jadi
seseorang harus mampu mengendalikan sifat Tri
Guna yang ada pada diri dengan menerapakan atau dengan mempelajari ajaran Astangga Yoga.
Apa bila seseorang sudah mampu melaksanakan ajaran Astangga
Yoga
dengan baik hingga sampai pada tingkat Samadhi
maka orang itu sudah tentu dapat mengendalikan Tri Guna yang ada pada dirinya. Ajaran Astangga
Yoga
menurut Rsi Patanjali terdapat 8 tahapan yang disebut Astangga Yoga,
namun didalam Tattwa Jnana hanya
terdapat 6 tahapan yang
disebut Prayogasandhi atau Sadangga
Yoga.
Dari
perbedaan tahapan atau ajaran tentang yoga yang berkaitan dengan disiplin dan pengendalian
indrya-indrya, penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam lagi esensi ajaran yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan mengkaitkannya dengan ajaran yoga Rsi
Patanjali dalam Yoga sutra. Melalui artikel ini
penulis berharap dapat menambah wawasan pembaca tentang yoga sehingga tidak
muncul kebingungan, dan mampu memilih ajaran yoga yang tepat.
II Pembahasan
2.1 Yoga Sutra
Ajaran
yoga merupakan anugerah yang sangat luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali
kepada siapa saja yang melaksanakan hidup spiritual
kerohanian. Ajaran
ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menegetahui kenyataan roh
sebagai asas yang bebas, bebasa dari tubuh, indrya, dan
pikiran yang terbatas. Rsi Patanjali menulis ajaran-ajaran yoga ini ke dalam “sutra-sutra”.Beliaulah pendiri sistem
ajaran yoga ini.
Sutra secara
etimologis berarti “benang” dan dalam konteks ini ia berarti
pernyataan-pernyataan pendek yang memmbantu untuk mengingatkan (Maswinara, 1999 : 10). Sutra-sutra itu
sangat singkat sehingga maknanya menjadi sangat tidak jelas sehingga dibutuhkan
suatu penjelasan yang terperinci serta penafsiran yang jelas melalui
ulasan-ulasan. Ulasan
masing-masing sutra disebut
dengan Bhasya.
Kitab Yoga Sutra dari Rsi Patanjali terdiri dari 4
(empat) bab dan mengandung 194 Sutra.
Bagian pertama mengajarkan tentang teori yoga yang terdiri dari 51 Sutra, isinya adalah tentang sifat,
tujuan dan bentuk ajaran yoga. Selain itu juga menerangkan perubahan-perubahan
pikiran dan cara pelaksanaan ajaran yoga.
Bagian
kedua berisikan tentang praktik yoga, pada bagian keduanya ini terdiri dari 55 Sutra, isinya tentang tata cara
pelaksanaan yoga seperti bagaimana cara mencapai Samadhi, tentang kedukaan, tentang karma phala dan yang lainnya.
Bagian
ketiga terdiri dari 54 Sutra. Pada
bagian ketiga ini diajarkan tentang cara mencapai tujuan yoga , juga
mengajarkan segi bathiniah ajaran yoga dan juga tentang kekuatan gaib yang
didapat karena melaksanakan praktik yoga. Kekuatan ini disebut dengan siddhi.
Sedangkan
bagian terkhir, yakni bagian ke empat menjelasakn tentang kelepasan (moksa), melukiskan tentang alam
kelepasan dan kenyataan roh yang mengatasi alam duniawi. Bagian keempat ini terdiri
dari 34 Sutra.
2.2 Astangga
Yoga
dalam Yoga Sutra
Yoga Sutra
didirikan oleh maharsi Patanjali, yang merupakan tambahan atau cabang dari
filsafat Samkhya, yoga dikatakan
bersifat ortodoks dari
filsafat Samkhya, karena yoga secara
langsung mengakui keberadaan Iswara, sehingga
sisitem filsafat Patanjali merupakan Saiswara.
Yoga Sutra dari
Maharsi Patanjali muncul sebagai acuan yang tertua dari aliran filsafat yoga,
yang memiliki 4 bab; pada bab 1 Samadhi
Pada, yaitu menjelaskan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi. Bab 2 Sadhana Pada memeuat tentang cara pencapaian itu. Bab 3 Vibukti Pada memberikan uraian tentang daya-daya supra
alami atau Siddhi yang dapat dicapai
melalui pelaksanaan yoga dan bab 4 yaitu Kaivalya
pada menggambarkan tentang sifat
dari pembebasan tersebut. Yoga Maharsi dari Patanjali
dalam memiliki tahapan laku spiritual yang sering dikenal dengan
istilah Astangga Yoga. Adapun Astangga Yoga tersebut tersurat
dalam Yoga
Sutra II.29 sebagai berikut:
Yama niyamasana pranayama prathyahara
Dhrana dhyana samadhys stavanggani
(Yoga
Sutra II.29)
Terjemahan:
Yama, niyama, asana, pranayama,
prathyahara, dhrana, dhyana, dan Samadhi. Ini semua disebut delapan bagian yoga. (Yasa dkk, 2006 : 24)
Maswinara (1998 : 49-51) dalam bukunya
Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana
Samgraha) menerjemahkan secara sederhana sebagai berikut ; Yama (larangan),
Nyama (ketaatan), Asana (sikap badan), Pranayama (pengaturan nafas), Prathyahara
(penarikan indrya dari obyek), Dharana
(konsentrasi), Dhyana (meditasi), Samadhi
(keadaan supra sadar).
2.2.1 Yama
Yama adalah pengendalian diri yang harus
dilakukan oleh setiap orang dalam usaha meningkatkan kualitasa hidup yang lebih
baik. Dalam
pustaka suci Yogasutra diuraikan
sebagai berikut:
Ahima satasteya
Brahmacaryaparigraha yamah
(Yogasutra
II.30)
Terjemahan:
Ahimsa tidak membunuh, tidak
melukai dan berlaku kasar pada sesama, baik melalui pikiran, perkataan, apalagi
perbuatan.Satya bersikap dan
berprilaku bajik, setia pada ucapan, dan jujur pada perbuatan.Asteya tidak mencrui atau menginginkan
milik orang lain. Brahmacarya
bersikap dan berperilaku terkendali, mengendaliakan hawa nafsu. Aparigraha hidup
sederhana dan tidak serakah dapat menerima kenyataan hidup apa adanya (Yasa dkk, 2006 : 24)
Lebih lanjut Saraswati (2004 : 45-47) sebagaimana mengutip Yoga Sutra .II.35-39 menyatakan bahwa Yama terdiri dari lima pantangan yaitu: Ahimsa tanpa kekerasan, Satya kebenaran pikiran, Asteya pantangan untuk menginginkan milik orang lain, Brahmacarya pantangan kenikmatan
seksual. Aparigraha pantangan
kemewahan. Kelima pantangan ini disebut mahavrata,
atau sumpah yang besar..
2.2.2 Nyama
Nyama adalah
pengendalian rohani dengan tujuan agar rohani menjadi suci dan bersih sehingga
membantu mempermudah dalam melaukan Samadhi
atau pemujaan kepada Ida Shang Hyan Widhi
Wasa. Di dalam Yogasutra disebutkan:
Sauca samtosa tapah
svadyayesvara pranidhani niyamah
(Yogasutra.
II: 32)
Terjemahan:
Sauca berusaha menjaga kebersihan
dan kesucian diri, baik lahir maupun bhatin. Santosa menjaga kestabilan emosi
agar selalu tenang, arif, dan bijak dalam menghadapi permasalahan hidup. Tapa
berusaha untuk tahan uji, berpegang teguh pada dharma. Swadiyaya berusaha mandiri dan tekun
mempelajari kitab suci. Iswarapranidhana selalu memusatkan pikiran
dan bhakti kepada iswara atau Tuhan
(Yasa dkk, 2006 : 25)
.
2.2.3 Asana
Kata Asana berarti sikap duduk (Zoeltmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 25), yakni duduk dengan
sikap sempurna : duduk menuru sistem yoga. Maksudnya, orang akan mampu duduk dengan benar dan baik bilamana
keadaan fisiknya sehat sempurna. Oleh karena itu para peminat yoga pertama-tama
hendaknya membina kebugaran fisiknya melalui olahraga yoga yang sering disebut yoga Asana. Dan ada berbagai macam gerak
yoga. Tetapi berbagai variasi Asana itu dalam posisi duduk, berdiri termasuk
didalamnya posisi duduk, berdiri termasuk didalmnya posisi terdiri terbalik,
dan terlentang. Orang dapat memilih beberapa variasi Asana. Jadi, disesuaikan
dengan keadaan fisik peminat yoga.
Patanjali
menganggap bahwa setiap asana sebagai
sukha-asana, (asana yang menyenangkan), yang tidak memaksa dan membantu untuk
menstabilkan badan pikiran. Tanpa keragu-raguan, tanpa paksaan, tanpa
ketegangan. Dan dalam sutra berikutnya “prayatna-saithilya”
yang berarti suatu keadaan atau kondisi yang tidak memerlukan pengerahan
kekuatan khusus, badan mengambil sikap tanpa bergerak dan dikuasai penuh.
(Saraswati, 2004 : 116)
Ajaran
Asana juga dapat menenangkan pikiran
dan dapat dijadikan media dalam menjaga kesehatan jasmani maupun rohani. Karena
dengan menjalankan latihan Asana secara
kontinyu dapat membuntu menyembuh penyakit, karena ada beberapa gerakan Asana yang dapat menyembuhkan penyakit
atau mengatasi kesehatan.
2.2.4 Pranayama
Kata
Pranayama, berarti latihan pernapasan
(Zoetmulder dalam Yasa dkk, 2006 : 26). Menurut sistem yoga,
pranayama terdiri atas puraka, ‘menarik nafas’, kumbaka ‘menahan nafas’, dan recaka ‘mengeluarkan nafas’. Ada
beberapa jenis latihan nafas. Akan tetapi yang paling umum adalah bernafas
melalui hidung. Ke luar, tertahankan, dan masuknya napas diselaraskan dengan asana yang dilakukan.
Yoga
Sutra Patanjali menyampaikan empat aphorisma
(sutra) yang berkenaan dengan Pranayama
yaitu :
1)
Tasmin
sati svasa-prasvasayor-gati-vicchedah pranayamah
2)
Bahya-abhyantara-stambha
vrittir-desa-kala-samkhyabhih paridrsto dhirgasuksmah
3)
Bahya-abhyantara-visayaksepi
cathurtah
4)
Tatah
ksiyate prakasavaranam
Terjemahan
harfiah dari pada Sutra tersebut
adalah:
1)
Dalam keadaan itu (yaitu
sesudah mengambil sikap yang cocok), pengendalian napas yang masuk dan keluar
adalah pranayama
2)
Ini adalah tiga golongan pertama, yang di luar, kedua, di dalam, dan ketiga, yang tetap dan ketiganya
berkenaan dengan jangka waktu dan jumlah, dibuat berlangsung waktu panjang atau
singkat.
3)
Ada juga golongan keempat, yang terdiri dari
pembuangan dan penahanan napas-masuk
4)
Dengan bantuannya (pranayama) membantu tabir yang menutup
cahaya ditanggalkan. (Saraswati. 2004 : 150).
2.2.5 Prathyahara
Kata Prathyahara artinya
penarikan diri (Zoetmulder dalam Yasa dkk, 1995 : 856). Dalam konteks yoga berarti
menarik indra dari objek kesukaannya. Masing-masing indra memiliki kesenangan
sendirii-sendiri, misal indra mata suka akan rupa dan warna yang indah, tetapi
benci kepada rupa dan warna yang buruk. Indra penciuman suka mencium bau harum,
tetapi benci kepada bau busuk, indra pada lidah suka merasakan makan dan minum
yang enak, tetapi benci kepada makanan dan minuman yang basi atau tidak enak.
Indra pada telinga suka mendengar irama yang indah, tetapi benci kepada irama
yang tak beraturan. Indria kulit suka merasakan sentuhan yang halus namun benci
kepada sentuhan yang kasar. Indra kemaluan suka merasakan hubungan seks yang dicintai, tetapi
tidak mau bersetubuh dengan dengan yang tidak dicintai. Demikianlah indrya-indrya
itu harus dari hal yang disenangi atau yang dibenci, lalu diarahkkan ke dalam dirinya. (Yasa dkk, 2006 : 26-27).
Pratyahara adalah pemusatan pikiran
dengan cara penarikan indra-indra dari segala obyek luar. (Maswinara, 1998 : 52). Dalam Prathyahara
seseorang harus berusaha mengendalikan
indrya-indrya agar mampu menjalakan tahap
yang berikutnya.
2.2.6 Dharana
Kata dharana bereti memegang, membawa, menguasai, memiliki Setelah
indrya ditarik dari obyeknya dan dibawah pengawasan manah ‘pikiran’. Selanjutnya menguasai indria-indra dan memusatkan
pikiran pada obyek meditasi. (Yasa dkk, 2006 : 27). Dharana dapat pula diartikan penyatuan pikiran kesatu arah atau
sasaran yang diinginkan. Menurut Patanjali terdapat 7 metode Dharana dalam pemusatan pikiran, yaitu:
1. Bermeditasi,
dilakukan apabila budi mengalami goncangn.
2. Bersikap
mental yang baik terhadap orang lain.
3. Pengucapan
Yoga Sutra Patanjali.
4. Kemantapan
Buddi, dilakukan dengan cara melatih
konsentrasi, disebutkan beberapa konsentrasi yakni pada ujung hidung
membangkitkan unsur bumi, pada ujung
lidah membangkitkan unsur air.
Pada matahari atau bulan menmbulkan unsur-unsur suara. OM melahirkan unsur udara dan menciptakan bentuk-bentuk musik.
5. Jyotismati, metode meditasi yang dilakukan pada cahaya
batin yang cemerlang yng berada diluar penderitaan.
6. Konsentrasi
pada orng-orang suci, dengan memusatkan pikiran pada orang-orang suuci.
7. Pengetahuan
dalam mimpi, apa yang dialami dalam mimpi di praktekkan dalam meditasi. (Saraswati, 2004 : 221-226).
2.2.7 Dhyana
Kata dhyana berarti meditasi, refleksi, pemusatan pikiran. Disebut juga
kontemplasi atau renungan mendalam. Patanjali menjelaskan “Tatra pratyaikatana dhyanam”, artinya arus pikiran yang
terkonsentrasi tak putus-putusnya pada obyek renungan (Yasa dkk, 2006 : 27).
2.2.8 Samadhi
Kata Samadhi, berasal
dari urat kata sam, dan dhi, sam artinya kumpulan persamaan,
gundukan, timbunan. Sedangkan Dhi artinya
pikiran, ide-ide, budi. Secara etimologi kata samadhi artinya pemusatan atau kumpulan pikiran yang ditujukan pada
obyek tertentu. Dan Maharsi Patanjali merumuskan samdhi “Tadevartha mantra nirbhanam svarupa sunyam iva Samadhi” (Yogasutra
III.3) , Artinya “renungan mendalam itu sesungguhnya Samadhi. (Yasa dkk, 2006 : 28).
Dalam Samadhi pikiran telah lebur
menyatu dengan obyek renungan, dan tidak ada lagi kesadaran kan akan diri
sendiri. Samadhi adalah persatuan
sempurna dari yang dicintai, pencinta dan kecintaan, suatu keadaan kelupaan
keadaannya dan suatu keadaan peresapan sempurna. (Saraswati.2004:238).
2.3 Tattwa
Jnana.
Tatwa berasal dari bahasa sansekerta kemudian
setelah diserap menjadi kata Tattwa.
Tattwa
memiliki berbagai pengertian seperti: kebenaran,
kenyataan, hakekat hidup, sifat kodrati, dan segala sesuatu yang bersumber dari
kebenaran. (Watra, 2007 : 1). Sedangkan
Jnana berarti ilmu atau pengetahuan.
Sehingga Tattwa
Jnana memiliki arti
pengetahuan tentang hakekat hidup atau
pengetahuan tentang kebenaran.
Tattwa Jnana adalah lontar Paksa
Siwa. Di dalam ajarannya banyak
terdapat kemiripan dengan lontar siwaistik lainya seperti Vrhaspati tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuana
Kosa, Jnana Sidhanta dan Sanghyang Maha Jnana. Dalam lontar tersebut di atas mengagungkan Siwa/Iswara sebagai realitas tertinggi. Tattwa Jnana adalah lontar yang
menggunakan bahasa Jawa Kuna yang disusun dalam bentuk prosa bebas (gancaran). Eksistensinya sebagai kitab Tattwa disebutkan bahwa Tattwa Jnana adalah dasar semua Tattwa ( Bungkahing Tattwa Kabeh).
Pemahaman Tattwa Jnana secara baik
akan memberikan pahala yang luar biasa seperti memahami betapa menderitanya
menjelma dan untuk kembali pada asal mula, sehingga lepas dari proses kelahiran
sebagai manusia. (Tim Penyusun, 2003 : 18).
Ajaran
Tattwa Jnana dimulai
dengan menjelaskan 2 unsur universal yang ada di alam raya ini.
Kedua sumber ini adalah cikal bakal semesta. Dua unsur tersebut yaitu ;
Cetana yaitu unsur
kesadaran dan Acetana yaitu unsur tidak sadar. Cetana adalah Siwa Tattwa sedangkan Acetana
adalah Maya Tattwa. Cetana ada tiga tingkatannya yaitu ; Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa dan Atmikatattwa.
Paramasiwatattwa adalah Bhatara
Siwa dalam keadaan tanpa bentuk, yang suci dan yang tidak tersentuh oleh
apapun. Beliau Sadhu Sakti atau
memiliki delapan sifat kemahakuasaan beliau yang disebut Astaiswarya. Sifat
kemahakuasaan beliau ini dilambangkan dengan
bunga teratai yang berdaun delapan yang disebut dengan Padmasana.
Sadasiwatattwa adalah Bhatara
Siwa yang sudah mulai tersentuh oleh
unsur sarwajnna, sarwakaryakarta, cadu
sakti dan jnanasakti. Pada
intinya Sadasiwatattwa adalah cetana
yang memiliki tingkat kesadaran menengah (ada pengaruh maya namun masih kecil).
Atmikatattwa adalah
Sadasiwatattwa yang Utaprota dalam Acetana. Uta artinya
berada secara gaib dan prota artinya
berkeadaan bagaikan permata bening cemerlang dalam Acetana. Pada
tingkatan Atmikatattwa. maka sakti, guna, dan swambhawanya berkurang karena dipengaruhi maya. Karena pengaruh maya
ini menyebabkan kesadaran aslinya berkurang dan bahkan hilang dan sifatnya
berubah menjadi awidya, apabila
kesadaran siwatman terpecah-pecah dan kemudian menjiwai mahluk hidup termasuk
manusia maka ia disebut atma atau jiwatman. Meskipun atma merupakan bagian dari Tuhan namun karena adanya belenggu Awidya yang
ditimbulkan oleh pengaruh Maya maka ia
tidak menyadari asalnya. Inilah yang menyebabkan atma dalam lingkaran sorga dan neraka.
2.4 Ajaran
Yoga dalam Tattwa Jnana.
Tujuan
hidup menurut Tattwa Jnana adalah
untuk bersatu kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa/Bhatara Paramasiwa. Adapun jalan yang yang harus ditempuh untuk manunggaling kawula gusti (bersatu
dengan tuhan) adalah melalui jalan Prayogasandhi.
Tahapan-tahapan dari Prayogasandhi yang
terdiri dari Prathyahara, Dhyana,
Pranayama, Dharana, Tarka dan Samadi. Prayogasandhi akan dapat dilaksanakan
apabila dituntun oleh Samyagjnana
(pengetahuan yang benar). Samyagjnana
diperoleh melalui Bhumi Brata, Tapa, Yoga
dan Samadhi. Kesemuanya itu akan
mempertajam panah Prayogasandhi dan
mengarahkannya pada sasaran secara tepat. Tattwa Jnana sebagai
ajaran untuk umat Hindu Bali memuat ajaran
Yoga yang berjumlah enam tahapan spiritual sehingga
lazim disebut Sadanggayoga.
2.5 Sadangga
Yoga
dalam Tattwa Jnana
2.5.1 Prathyaharayoga
Muwah
hana ta pratyahara-yoga nagaranya, ikang indrya kabeh watek sakeng wisayanya,
kinempeling citta buddhi manah, tan wieh maparan-paran kinempeling cittalila,
yeka prathyaharayoga ngaranya
(Tattwa
Jnana)
Terjemahan:
Ada pratyaharayoga namanya,
semua indrya ditarik dari obyek kenikmatannya
kumpulkan dalam citta, buddhi dan manah,
jangan dibiarkan ia pergi kesana kemari, pusatkan ia pada pikiran yang tak
terganggu apapun. Yang demikian itulah prathyaharayoga.
2.5.2 Dhyanayoga
Ikang jnana tanparorwa, tanpa wikara,
enak ikang, hnang hnngnnya, umideng tan kawaran yeka dhyanayoga ngaranya
(Tattwa
Jnana)
Terjemahan:
Batin yang tidak
mendua, tidak berubah-ubah, jernih, dengan
enaknya, tanpa ditutupi apa-apa, yang demikian itu dhyanayoga namanya.
2.5.3 Pranayamayoga
Tutup
ikang dwara kabeh, irng, tutuk, talinga, wayu, rumuhun isepen, wetwa ikang
wunwunan, kunang tanpabhyasa ikang wayu winehadalan ngkana, dadi adalan
engirung, halon wetuning wayu, yeka pranayama ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Tutuplah semua
pintu yaitu hidung, mulut, telinga, tariklah terlebih dahulu nafas, keluarkan
melalui ubun-ubun, boleh dikeluarkan melalui hidung, keluarkan nafas itu
pelan-pelan. Yang demikian pranayamayoga
namanya.
2.5.4 Dharanayoga
Hana
ongkara sabda mungguh ring hati, ya teka dharanan, ya pangilang ikang karengo,
ri kala ning yoga, ya teka sunya ngaranya, siwatmawak bhatara siwa yan mangkana.
Ya tika dharanayoga ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Ada Omkara sabda bertempat dalam hati.
Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang menghilangkan apa yang didengar
waktu Siwa berwujud Siwatman. Yang
demikian itulah dharanayoga namanya.
2.5.5 Tarkayoga
Ndakasa
rawa sang hyang Paramartha, ndan palenanira sakeng akasa, tan hana. Sabda ri
sira, ya ta kalinganing paramartha, palenanira sakeng awing-awang, pada
nirekang alilang, yeka terka-yoga ngaranya.
(Tattwa
Jnana)
Terjemahan:
Sang Hyang Paramartha/hakekat
yang tertinggi adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada
suara padanya. Demikianlah hakekat paramartha itu perbedaannya dengan awang-awang, persamaannya
sama-sama jernih. Yang demikian itulah tarkayoga namanya.
2.5.6 Samadhiyoga
Ikang
jnana tan pangupeksa, tan pangalupa, tan hana kaharep nira, tan hana
sinadhyanira, malilang tan kahilangan, tan kawaranan, tan pawastu ikang cetana,
apan mari humidep ikang sarira, luput sakeng catur kalpana, yeka samdhi-yoga ngaranya.
(Tattwa
Jnana)
Terjemahan:
Batin
yang tidak lalai, tidak lupa, tidak mengharapkan apa-apa, tidak ada sesuatu
yang ingin dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi apa-apa,
sehingga kesadaran itu tidak ada kesulitan, karena tidak lagi memikirkan badan
jasmaninya, bebas dari catur kalpana,
itulah yang dimaksud Samadhiyoga.
Konsep
yoga dalam Tattwa Jnana sedikit
berbeda dengan konsep yoga Patanjali dalam Yoga
Sutra. Untuk mengetahui perbedaan tersebut berikut akan disajikan tabel
agar lebih mudah untuk memahami.
Tabel 1.
Perbedaan
tahapan yoga antara Yoga
Sutra dengan Tattwa
Jnana
No
|
Yogasutra
|
Tattwa
Jnana
|
1
|
Yama
Brata
|
-
|
2
|
Nyama
Brata
|
-
|
3
|
Asana
|
Prathyahara
|
4
|
Pranayama
|
Dhyana
|
5
|
Prathyahara
|
Pranayama
|
6
|
Dhrana
|
Dhrana
|
7
|
Dhyana
|
Tarka
|
8
|
Samadhi
|
Samadhi
|
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita lihat perbedaan
susunan yoga menurut kitab Tattwa Jnana dan
Yoga Sutra, perbedaan-perbedaan itu yaitu:
1.
Dalam Tattwa Jnana tahapan Yama dan Nyama tidak dimasukan secara langsung
kedalam tingkatan yoga seperti dalam Yoga
Sutra.Dalam hal ini penulis
berasumsi bahwa Yama dan Nyama bukanlah tindakan yang hanya
harus dilakukan oleh orang ingin menekuni yoga saja, namun sudah merupakan
kewajiban bagi umat Hindu, karena Yama dan
Nyama merupakan etika dasar yang dapat dijadikan
patokan dalam perilaku keseharian (Nitya Sila). Selain
itu penulis berasumsi bahwa tingkatan yoga dalam Tattwa Jnana diperuntukan bagi seseorang yang memiliki tingkat
spiritual yang tinggi, dimana penekun yoga sebelumnya sudah
mampu menjalakan Yama dan Nyama dengan sempurna.
2.
Dalam Tattwa Jnana tahapan Prathyahara diletakan
pada tingkatan pertama dalam hal penulis berasumsi bahwa karena tingkat
spiritual yang tinggi, sehingga Yama dan Nyama sudah dilaksanakan dengan sempurna dan tidak diragukan lagi, maka dengan sangat
mudah Prathyahara
(penarikan indrya dari
objek kesengannya) itu dilakukan.
3.
Kemudian susunan pranayama dalam Yoga sutra Patanjali pranayama diletakan sebelum Dhrana
dan Dhyana. Sedangkan dalam kitab
Tattwa Jnana, Pranayama diletakan diantara Dhyana dan Dhrana. Menurut Yoga Sutra, Prana atau
nafas itu meliputi seluruh tubuh termasuk di dalam indrya, jadi
dengan mengendalikan nafas (pranayama)
kita dapat mengendalikan indria. Demikianlah perbedaan tahapan antara Yoga Sutra dengan Tattwa Jnana.
2.6 Astaiswarya
dalam Tattwa Jnana
Dalam Tattwa Jnana
dinyatakan apabila sang Yogiswara telah menemukan Samadhi, ia dikatakan telah
memiliki Astaiswaryan. Yang meliputi Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakamya,
Isitwa, Wasitwa,
Yatrakamawasayitwa. Dalam tataran ini,
sang Yogiswara telah memiliki
kekuatan sama dengan Tuhan/Iswara. Berikut adalah kutipan sloka terkait hal dimaksud.
Yapwan
mangkana lwir nikang samadhi kapangguh de Sang Yogiswara, wyakti sira
makadrebya kasteswaryan mangke ring sakala, apa sinangguh kateswaryan ngaranya
anunggung sampun manemwaken yogi wisesa hana kasiddhyan ngaranya, lwirnya
nihan, anima, laghima, mahima, prapti, prakamya, isitwa, wasitwa,
yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Bila
demikian halnya Samadhi yang ditemui
oleh Sang Yogiswara, maka nyata-nyata
ia memiliki Kastaiswaryan itu.
Dia yang sudah mendapatkan Yogi Wisesa.
Ada Kasidhyan namanya, yaitu: Anima, Laghima, Mahima, Prapti Prakamya,
Isitwa, Wasitwa, Yatra Kamawasayitwa.
2.6.1 Anima
Anima
ngaranya, ikawak Sang Yogiswara, ganal tambayan, wkasan-alit, suksma, ya ta
matangnyan Sang Yogiswara wenang sapanira, tan
katahan sira dening gunung watu, wenang ta sirasiluruping lemah, tan han
madhana keswaryanira, yeka sinangguh anima ngaranya
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Anima ialah: badan Sang Yogiswara pada
mulanya kasar, akhirnya menjadi kecil halus. Itulah sebabnya Sang Yogiswara dapat bepergian keman saja, ia
tidak terhalang oleh gunung batu, dapat masuk ke dalam tanah. Tidak ada yang
menyamai kaiswaryan-Nya. Itulah yang
disebut Anima.
2.6.2 Lagima
Lagima
ngaranya, ikawakk Sang Yogiswara, abyetambyan, wkasana dhangan kadi kapuk, ya
ta matangnyan Sang Yogiswara ambaramarga anampak gagana, ajalantara, wenang
manampakk wye, yeka lagihima ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Lagima ialah, badan Sang Yogiswara pada mulanya berat kemudian ringan seperti kapuk. Itulah
sebabnya sang Yogiswara adalah
merupakan jalannya udara, menampak ruang angkasa, jalantara yaitu dapat menampak air. Itulah Lagima mananya.
2.6.3 Mahima
Mahima ngaranya, mara sira ring desantara, punya
sinembah sira kinabaktyan sira, sparanittsna, tan ginulung-gulung, yeka
singangguh mahima ngaranya.
(Tattwa
Jnana)
Terjemahan:
Mahima ialah ia pergi
ke daerah lain, dipuja, disembah,
dihormati, sejauh perjalanannya tiddak dipermainkan orang,
itulah yang disebut mahima.
2.6.4 Prapti
Prapti ngaranya, teka sakahyunirekang wastu,
tanulihinganghel yeka prapti ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Prapti
ialah apa saja keinginannya
dapat dapat dipenuhi, mendapatkannya tiada dengan susah payah, itu Prapti namanya.
2.6.5 Prakamya
Prakamya ngaranya wenang ta siragawe rupa nir dadyanom
dadyatuha, dadyalanang, dadyawalon, wenang ta sira masuking jnana irikang rat
kabeh, yeka sinangguh prakamya ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Prakamya
ialah ia dapat menjadikan wajahnya muda, tua, muda, menjadi laki-laki,
menjadi perempuan, dapat memasukkan batinnya pada semua orang. Itulah yang
disebut Prakamya.
2.6.6 Isitwa
Isitwa ngaranya, mara nira sira maring
swarga kahyangan, pinujainarcana sir dening watek dewata kbeh, atawi wenang
sira umadeh ikang waek dewat, ri kahyangan ira, tan hana dewata sumikareng sira
apan Bhatara mahulun hana ringawak Sang Yogiswara, yeka sinangguh isittwa
ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Isitwa ialah ia pergi
ke sorga, ke kahyangan, ia dipuja,
dihormati oleh para dewata semua, atau ia dapat menundukkan para dewata di
kahyangan. Tidak ada dewata yang merintangi
karena bhatara yang
menjadi junjungannnya itu ada diri Sang Yogiswara.
Itulah yang disebut Isitwa.
2.6.7 Wasitwa
Wasitwa
ngaranya, tan hana wenang langghana sawuwus nira, tan kahalangan sira ring
sakeccha nira, yeka sinngguh wasitwa ngaranya.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Wasitwa
ialah idak ada orang yang dapat melawan segala
kata-katanya, ` tiada yang merintangi
segala keinginannya. Itulah yang disebut Wasitwa.
2.6.8 Yatrakamawasayitwa
Yatrakamawasayitwa ngaranya,
wenang sira tumimbah ikang watek dewata ngusa tmahnya, tan hana wenang
langghana sawuwus nira, tan kahalangan, sawalen,wenang ta sira sumawa dewata,
mangdadya manusa yang langghana ri sira, yeka sinangguh yatrakamawasayitwa.
(Tattwa Jnana)
Terjemahan:
Yatrakamawasayitwa ialah: ia dapat memerintah para Dewata, berkuasa, tidak ada yang dapat
melawan segala kata-katanya, tiada rintangan, dapat mengutuk para Dewata
menjadi manusia bila menentang dia. Itulah yang disebut Yatrakamawasayitwa. (Mirsha, 1997 : 116-119)
Dalam konteks Tattwa
Jnana, Sang Yogiswara yang telah
yang telah purna dalam yoga akan memperoleh keajaiban-keajaiban dan kesaktian (Sidhi). Jika dikaitkan dengan ajaran
Yoga dari Pantanjali (Yoga Sutra),
Bab yang membahas tentang kekuatan dan keajaiban yang diperoleh oleh penekun
yoga ada pada bab 3 yaitu bagian Vibukti Pada.
2.7 Bhuana Agung dan Sang Sadhu dalam Bhuana Alit
menurut Tattwa Jnana (Perspektif
Kajian Yoga)
Tattwa
Jnana memandang bahwasanya apa yang ada dalam Bhuana Agung semuanya ada dalam Bhuana
Alit (tubuh manusia). Pernyataan itu tercermin dalam beberapa sloka dalam Tattwa Jnana yang mengatakan bahwasanya Sapta Parwata ( 7 gunung), Sapta Arnawa (7 lautan), Sapta Dwipa (7 pulau), Sapta Bhuana
(7 lapisan langit atas), Sapta Patala
(7 tujuh lapisan bawah bumi) ada pada bagian tertentu dalam tubuh manusia.
Tidak hanya itu, para Sadhu (Tri Purusha,
Dewata, Panca Rsi, Sapta Rsi) juga
ada dalam diri manusia.
Telah
disinggung pada pendahuluan sebelumnya bahwasanya yoga adalah jalan/cara untuk mulat sarira (merefleksikan/instrospeksi diri) yang
menyebabkan orang tahu diri,
sehingga menjadi suci lahir bhatin. Dalam
kaitan ini menurut Tattwa Jnana, seorang penekun yoga dalam
yang telah dituntun oleh Samyagjnana
(pengetahuan yang benar) akan sadar bahwa dirinya adalah semesta (Bhuana Agung) dan juga bagian dari
semesta (Bhuana Alit) ini. Dirinya yang papa hakekatnya adalah suci.
Yogiswara yang
mantap dalam beryoga memelihara Bhuana
Alit-nya dengan benar untuk mewujudkan Bhuana
Agung dalam dirinya, lalu menggapai Kavilya.
Beliau sadar bahwa tahapan akhir (Samadhi)
tidak akan tergapai tanpa ada tubuh yang sadar dan sehat pula. Ketika dituntun
oleh Samyagjnana, beliau menggunakan Sapta Parwata,
Sapta Dwipa, Sapta Bhuana dan Sapta Bhuana sebagai tempat suci (meru) dalam diri. Menggunakan Sapta Arnawa untuk menggapai tirta amertha kehidupan. Dan menggunakan
Tri Purusha, Dewata, Panca Rsi, Sapta Rsi
sebagai penuntun sifat bajik dalam perilaku.
Dalam
lain pandangan, yoga juga adalah tahapan penyucian diri dalam siklus evolusi
roh (Brahma Cakra) menurut Tattwa Jnana. Berikut adalah petikan sloka terkait hal tersebut.
.......Tri Purusha ngaranya, Bhatara Brahma,
Wisnu, Iswara, sira ta pinakadi sattwa, ika tang adi sattwa, yan pramada kurang
yoga panca rsi tmahnya, panca rsi kurang yoga, sapta rsi tmahnya, sapta rsi
kurang yoga dewa rsi tamahnya, dewa rsi kurang yoga dewata tmahnya, dewata
kurang yoga, widyadhara tmahnya, widyadhara kurang yoga gandarwa tmahnya,
gandarwa kurang yoga danawa tmahnya, danawa kurang yoga detya tmahnya, .......Bhuta
Pisaca kurang yoga manusa tmahnya, manusa kurang yoga triyak tmahnya.
Terjemahan:
.......Tri Purusha ialah: Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara, ia
merupakan Sattwa yang uttama. Bila ia
kurang hati-hati, kurang yoga akan menjadi panca
rsi, panca rsi kurang yoga akan
menjadi sapta rsi, sapta rsi kurang
yoga akan menjadi dewa rsi, dewa rsi
kurang yoga akan menjadi dewata, dewata kurang yoga akan menjadi widyadhara, widyadhara kurang
yoga akan menjadi gandarwa, gandarwa
kurang yoga akan menjadi danawa, danawa
kurang yoga akan menjadi detya, ........Bhuta
Pisaca kurang yoga akan menjadi manusia, manusia yang kurang yoga akan
menjadi binatang.
Bertolak
dari sloka di atas, penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa akan ada peluang
konklusi terbalik. Maksudnya, jika penekun yoga teguh dalam yoga, beliau bisa
meningkatkan kesucian menjadi pribadi yang lebih luhur. Dari seorang gandarwa menjadi widyadhara, widyadhara menjadi dewata. Bahkan
dari seorang manusia bisa menjadi Iswara
(Tuhan Yang Maha Esa) melalui laku spiritual yoga yang dituntun Samyagjnana.
Tattwa Jnana
memandang Samyagjnana memiliki peran
penting dalam menggapai tujuan yoga. Digambarkan relasi antara Prayogasandhi dan Samyagjnana seperti panah dan busur. Panah yang sudah dipanahkan
sesudah memakai busur akan tepat menuju sasarannya. Ada orang yang melepaskan panah
tanpa busur maka panah itu tidak akan sampai pada tujuannya. Sama seperti orang
yang melakukan Prayogasandhi namun
tanpa Samyagjnana, maka orang yang
demikian adalah orang bingung, tidak tahu kemana sasaran jiwanya. Karena tidak
tahu Jnana Tattwa, tanpa tuntunan Samyagjnana. Tentu saja meluncur bebas,
bila demikian salah sasaran Samadhi Sang
Yogiswara itu. (Mirsha, 1997 :
98-99).
Yoga
adalah anugrah bagi manusia, karena dengan ajaranya manusia bisa bebas dari
belenggu materi, membebaskan Atma dari
kesengsaraan. Sebagaimana yang terdapat dalam petikan sloka Tattwa Jnana dibawah ini.
Inilah tujuan Sanghyang
Tattwa Jnana yang ditujukan pada
Anda sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat
merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang
Tattwa Jnana dengan baik, dan
dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi
di bawah penerangan Samyagjnana,
yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan
Samadhi, merupakan obat dari Atma yang sengsara.
(Sumber : http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=325&Itemid=93, diakses tanggal 20 Oktober 2012 Pukul 15.39
Wita).
III Penutup
3.1 Simpulan
Yoga merupakan salah satu cara untuk mencapai kebahagian lepas dari
segala penderitaan. Di dalam
melaksanakan yoga dibutuhkan suatu disiplin yang tinggi mengabaikan salah satu
tingkatan berarti sama dengan merusak tingkatan selanjutnya. Yoga bukan hanya
berarti hanya duduk diam dan memejamkan mata. Tetapi yoga dapat terealisasi
dari kehidupan sehari-hari, hal ini terdapat dalam ajaran Tattwa Jnana dan juga Yoga Sutra dari Rsi
patanjali. Dalam Yoga Sutra
tahapan yoga ada delapan yang disebut dengan Astangga Yoga sedangkan dalam Tattwa
Jnana ada enam yang disebut dengan Prayogasandhi/Sadangga
Yoga. Dalam menjalankan Prayogasandhi
seyogyanya dituntun oleh Samyagjnana (pengetahuan
yang benar) agar yoga itu menjadi purna, menjadi obat bagi Atma yang sengsara.
Daftar Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia dkk. Tattwa Darsana. Jakarta : Proyek
Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama.
Maswinara, I Wayan. 1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarwa Darsana Samgraha). Surabaya :
Paramita.
Mirsha, I Gusti Ngurah Rai. 1997. Tattwa Jnana, Kajian Teks dan Terjemahan. Denpasar : Upada Sastra.
Musna, I Wayan. 1986. Pengantar Filsafat Hindu Sad Darsana.
Denpasar: CV Kayu Mas
Pidarta, Made. 2005. Hindu
Untuk Masyarakat Umum Pada Jaman Pasca Modern. Surabaya : Paramita.
Sarasvati, Svami Satya Prakas.
(penerjemah; J.B.A.F. Mayor Polak).
2004. Patanjali
Raja Yoga. Surabaya : Paramita
Tim Penyusun. 2003. Siwatattwa.
Denpasar : Tanpa Penerbit.
Watra, I Wayan. 2007. Pengantar
Filsafat Hindu ( Tattwa I). Surabaya: Paramita.
Yasa, I Wayan Suka dkk. 2006. Yoga : Marga Rahayu. Denpasar: Widya Dharma dan Tim PIA Fakultas Ilmu Agama Universitas
Hindu Indonesia.
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=325&Itemid=93
0 komentar:
Posting Komentar