Taburan Hati

SCM Music

Kamis, 23 Januari 2014

Wewaran dalam Lontar Bhagawan Garga (Wariga)


Wewaran dalam Lontar Bhagawan Garga
Oleh : I Putu Ngurah Restiada

1.    Pendahuluaan
Wariga adalah pengetahuan yang sangat terkenal di masyarakat. Para petani mempelajari Wariga untuk mencari masa bercocok tanam. Para pedagang mempelajarinya untuk mencari hari baik mulai berdagang, membuat alat perdagangan dan berbagai bentuk keberuntungan. Para pendeta (Brahmana) mempelajari Wariga, untuk menentukan saat-saat berupacara. Oleh karena itu, Wariga merupakan pengetahuan yang sangat populer.
Pada susunan Wedangga (batang tubuh Weda), Wariga disebut dengan “jyotisha”, ilmu tentang cahaya atau perbintangan (jyotir). Dengan demikian, jyotisha diletakkan sebagai mata dari weda-weda. Jika orang tidak mengetahui jyotisha, mereka tidak akan bisa pergi ke mana-mana sebab tidak memiliki mata. Pernyataan ini menunjukkan bahwa “jyotisha” memegang peranan penting dalam weda-weda, sama seperti di Bali.
Pada bagian dari Wariga terdapat juga tenung-tenung (ramalan). Ramalan tersebut ditentukan berdasarkan wawaran, wuku dan sasih. Ramalan-ramalan berisi tentang jodoh, rejeki dan yang lainnya. Tenung-tenung ini dibedakan menjadi empat jenis (Aryana, 2009:10) yaitu tenung pengalihan (menggabungkan urip wawaran), tenung jejinahan (menggunakan uang), tenung palelintangan (menggunakan lintang tertentu, misalnya lintang tangis) dan tenung campuran (menggunakan campuran dari teknik-teknik yang ada).
Secara garis besar, Wariga sebenarnya terdiri dari berbagai bagian. Meliputi     Pawintangan, Sasih,Wuku,Wewaran, Dadauhan. Pada pembahasan artikel ini hanya akan fokus dibahas mengenai wewaran yang sebenarnya merupak komponen dari Wariga tersebut. Adapun lontar yang dipakai rujukan untuk membahasa mengenai wewaran adalah Lontar Bhagawan Garga


2. Pembahasan
2.1 Pengertian dan bagian-bagian Wewaran
Wewaran adalah bahasa Sansekerta dari urat kata wara di duplikasikan (Dwipurwa) dan mendapat akhiran an (we+wara+an). Kata wara banyak memiliki arti seperti: terpilih, terbaik, unggul. Wara juga berarti hari, mulia, utama. Dari uraian di atas wewaran dapat diartikan perhitungan hari-hari. Tentang hari-hari dalam Wariga ada sepuluh jenis yang dipergunakan dalam padewasan yaitu pemilihan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan atau yadnya.
Berikut ini bagian-bagian wewaran menurut Lontar Bhagawan Garga
Eka Wara:  luang (tunggal)
Dwi Wara : menga (terbuka), pepet (tertutup).
Tri Wara : pasah, beteng, kajeng.
Catur Wara :  sri (makmur), laba (pemberian), jaya (unggul), menala (sekitar daerah).
Panca Wara : umanis (penggerak), paing (pencipta), pon (penguasa), wage (pemelihara), kliwon (pelebur).
Sad Wara : tungleh (tak kekal), aryang (kurus), urukung (punah), paniron (gemuk), was (kuat), maulu (membiak).
Sapta Wara : redite (minggu), soma (senin), Anggara (selasa), budha (rabu), wrihaspati (kamis), sukra (jumat), saniscara (sabtu). Jejepan; mina (ikan), Taru (kayu), sato (binatang), patra ( tumbuhan menjalar), wong (manusia), paksi (burung).
Asta Wara : sri (makmur), indra (indah), guru (tuntunan), yama (adil), ludra (pelebur), brahma (pencipta), kala (nilai), uma (pemelihara).
Sanga Wara : dangu (antara terang dan gelap), jangur (antara jadi dan batal), gigis (sederhana), nohan (gembira), ogan (bingung), erangan (dendam), urungan (batal), tulus (langsung/lancar), dadi (jadi).
Dasa Wara : Pandita (bijaksana), pati (dinamis), suka (periang), duka (jiwa seni/mudah tersinggung), sri (kewanitaan), manuh (taat/menurut), manusa (sosial), eraja (kepemimpinan), dewa (berbudi luhur), raksasa (keras)
2.2 Mitologi Wewaran dalam lontar Bhagawan Garga
Mengenai mitologi (cerita) lahirnya wewaran dikemukakan dalam Lontar Bhagawan Garga. Dalam Lontar tersebut di atas diuraikan kelahiran wuku dan juga menceritakan para Dewa dan Rsi adalah berwujud menjadi wewaran sebagai berikut :
Hana ta dewa anglayang, guru tunggal, ingaran sang hyang licin, suksma nirmala, endah snenya maring sunya, pantaranya rumawak tuduh, yan ta sang hyang licin, rumaga rama tan sahayebu. Mayoga sang hyang licin, hana bhagawan bregu, mayoga bhagawan bregu hana rwa mimitan, nga, rahayu mimitan, rupanya kadi tunggal, nga, dewakala, rahu mawak ketu lwirya: sang hyang rahu hangadakna, kala kabeh, sang hyang ketu ika hamijil kna dewakabeh, mwang wewaran
                                                                     (Transkripsi Lontar Bhagawan Garga, 3-4)
Terjemahan :
Ada tersebut sinar suci melayang-layang, beliau itu dewa suci yang disebut Sang Hyang Licin, wujudnya sangat gaib dan sangat suci, bermacam-macam wujudnya di alam yang kosong ini, itulah sebabnya berwujud Sang Hyang Tuduh, Ia itulah juga Sang Hyang Licin, beliau yang ada pertama kali, tanpa ayah dan ibu. Beryogalah Sang Hyang Licin, lahirlah dua hal yaitu positif dan negatif, wujudnya seperti tunggal (satu) adalah Dewa Kala; yaitu Sang Hyang Rahu dan Sang Hyang Ketu. Sang Hyang Rahu menciptakan semua Kala, Sang  Ketu itu menciptakan para Dewa dan Wewaran.
Selanjutnya diuraikan bahwa Sang Hyang Licin sebenarnya menjadi Ekawara yaitu Luang. Kemudian lahir wuku Sinta dan Sungsang maka ada Dwiwara yaitu Menga, Pepet; inilah yang menyebabkan adanya baik buruk (ala ayu). Sang Hyang Menga menjadi siang adalah Sang Hyang Rahu; Hyang Pepet menjadi malam adalah Sang Hyang Ketu. Ada wuku Tambir lahirlah Triwara yaitu Dora, Waya, Byantara. Sesungguhnya Dora adalah Kala, Waya adalah Manusa dan Byantara adalah Dewa. Ada wuku Kulawu lahirlah caturwara yaitu Sri, Laba, Jaya, Mandala; sesungguhnya adalah Batari Gangga, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Sang kara, Sang Hyang Kancanawidhi.
Ada wuku Watiga lahirlah Pancawara, yaitu : Umanis, Pahing. Pon, Wage, Kliwon. Sebenarnya adalah Sang Hyang Iswara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Mahadewa, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Siwa. Ada wuku Pahing lahirlah Sadwara yaitu: Tungleh Aryang, Urukung, Paniron, Was, Maulu. Sesungguhnya Tungleh adalah Antabuta; Aryang adalah Padabuta; Urukung adalah Anggabuta; Paniron adalah Malecabuta; Was adalah Astabuta; Maulu adalah Matakabuta. Ada wuku Bala lahirlah Saptawara yaitu: Radite, Coma, Anggara Buda, Wraspati, Sukra, Sanicara; sebenarnya adalah Sang Hyang Banu, Hyang Candra, Sang Manggala, Hyang Buda, Hyang Wraspati, Bhagawan Sukra, Dewi Sori. Ada wuku Kulantir, lahirlah Astawara yaitu: Sri, Indra, Guru, yama, Ludra,  Brahma, Kala, Uma. Sebenarnya adalah Batari Giriputri, Hyang Indra, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Yama, Hyang Ludra, Hyang Brahma, Hyang Kalantaka, Sang Hyang Amerta. Ada wuku langkir lahirlah Sangawara yitu: Dangu, Jangur, Gigis, Nohan, Ogan, Erangan, Urungan, Tulus, Dadi. Sebenarnya Buta Urung; Jangur adalah Buta Pataha; Gigis adalah Buta Jingkrak; Erangan adalah Buta Jabung; Urungan adalah Buta Kenying; Tulus adalah Sang Hyang Saraswati;  Dadi adalah Sang Hyang Dharma.
Ada wuku Uye, lahirlah Dasawara yaitu Pandita, Pati, Suka Duka, Sri Manuh, Manusa, Raja, Dewa, Raksasa. Sebenarnya Sang Hyang Aruna adalah Pandita; Kala adalah Pati; Smara adalah Suka; Durga adalah Duka; Sang Hyang Basundari adalah Sri; Kalalupa adalah Manuh; Sang Hyang Suksmajati adalah Manusa; Kalatangis adalah Raja; Sang Hyang Sambu adalah Dewa; Sang Kalakopa adalah Raksasa.
(Transkripsi Lontar Bhagawan Garga, 4-5).
Berdasarkan uaraian kelahiran wewaran tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa semua wewaran itu adalah ciptaan Sang Hyang Widhi melalui yoganya. Pada mulanya beliau disebut Sang Hyang Licin yang beryoga lahirlah Bhagawan Bregu. Bhagawan Bregu beryoga lahirlah Sang Hyang Rahu dan Sang Hyang Ketu. Sang Hyang Rahu beryoga lahirlah para Kala dan Sang Hyang Ketu beryoga lahirlah para Dewa dan Wewaran. Maksudnya adalah Sang Hyang Widhi itu tunggal tidak ada duanya yang diwujudkan dengan Ekawara adalah Luang. Luang artinya kosong. Pada mulanya belum ada apa-apa atau alam ini kosong; yang ada hanya kekosongan (luang), itu adalah sebenarnya perwujudan Sang Hyang Widhi yang tunggal disebut juga Paramasiwa dalam Saptaloka beliau berkedudukan pada Satyaloka. Pada tingkat ini beliau suci nirmala belum terpengaruh oleh apapun juga sehingga disebut dengan Nirguna Brahma. Dari yoganya Sang Hyang Widhi ada Bhagawan Bregu, beliau ada pada tingkat Mahaloka, saat itu Sang Hyang Widhi sudah terpengaruh oleh hal-hal maya. Bhagawan Bregu beryoga lahirlah Sang Hyang Rahu dan Sang Hyang Ketu. Pada tingkatan Mahaloka Sang Hyang Widhi diberi gelar Sadasiwa yang disebut dengan Saguna Brahma karena sudah terpengaruh oleh maya. Itulah sebabnya muncul dua kekuatan Cetana Acetana, Purusa Predana atau Sang Hyang Ketu dan Sang Hyang Rahu. Berpadunya dua kekuatan ini pada jenjang Siwatama yang disebut dengan Gunakarya barulah muncul ciptaan yaitu Sang Hyang Rahu beryoga lahir para Kala, Bhuta dan Sang Hyang Ketu beryoga lahirlah para Dewa dan Wewaran, demikian seterusnya.
2.3 Urip Wewaran dalam Lontar Bhagawan Garga
Cerita yang menjadi dasar adanya urip/neptu wewaran berawal dari adanya sebuah peperangan dan proses penghidupan kembali. Lontar Bhagawan Garga juga menyebut tentang hurip/neptu dari tiap-tiap wewaran yang ada sebagai berikut.
Kunang ikang wewaran kabeh sakeng yoganira sang hyang ketu, ika wak dewa kabeh ri mangke sang hyang ketu. Mwang sang hyang rahu kinon denira sang hyang licin magawe ana abeking trimandalanya, iwasira, awargadesa ring wayabya pranahnya, tan ana madani ikang awarga wayabya teja kadi surya koti. Kinon taya kabeh mwang dewa kabeh tekeng wewaran agrebat desa ri wayabya, neher sira sang hyang sangkara jumunjung ring wayabya. Ika ingadu kala lawan dewa, sang hyang rahu, sang hyang ketu, angadu prangira kabeh arebat awarga wayabya. Rame kang prang silih suduk, nyakra, enak adameng kasaktennya. Pejah tang kala kabeh, ingurip mwah denira sang hyang adikala, sidhi yoganya
(Transkripsi Lontar Bhagawan Garga,7).

Terjemahan :
Demikianlah tentang wewaran semuanya lahir dari yoganya Sang Hyang Ketu, begitu juga para Dewa ada karena Sang Hyang Ketu. Sedangkan Sang Hyang Rahu disusruh oleh beliau Sang Hyang Licin untuk mengadakan ciptaan yang memenuhi Trimandala, lalu beliau menjadi warga desa yang bertempat di arah Wayabya (Barat laut), tidak akan menyaingi keluarga desa di wayabya, bersinar seperti matahari sebanyak sepuluh ribu. Diperintahkannya semua para dewa dan wewaran untuk menyerang desa yang ada di wayabya, lalu  beliau Sang  Hyang  Sangkara berdiri (ada) di wayabya. Itu di adu oleh para kala melawan para dewa, Sang Hyang Rahu, Sang Hyang Ketu, sebagai pemimpin perang menyerbu seluruh warga yang ada di wayabya. Sangatlah seru pertempuran itu saling tusuk menusuk, panah memanah, semua mengeluarkan kesaktiannya, matilah kala semuanya, kehidupan kembali oleh Sang Hyang Adikala yang telah berhasil yoganya.
Selanjutnya setelah para kala hidup semuanya, lagi terjadi peperangan yang sangat dasyat, sehingga akibatnya banyak diantara dewa, wewaran terbunuh menjadi korban perang, tetapi akhirnya juga kembali dihidupkan. Oleh karena Kala dihidupkan hanya sekali saja, itulah sebabnya Sang Hyang Kala mempunyai hurip 1 (satu). Hyang Sangkara dibunuh oleh Kala Mretyu sekali, itulah sebabnya sehingga mempunyai urip 1 (satu). Batara Siwa dibunuh oleh Kala Ekadasabumi delapan kali, itu sebabnya Kliwon mempunyai urip 8 (delapan), Hyang Iswara dibunuh oleh Kala Sanjala lima kali, oleh karenanya Umanis mempunyai urip 5 (lima).
Hyang Brahma terbunuh oleh Kala Wisesa sembilan kali, itulah sebabnya Pahing mempunyai urip 9 (sembilan), Hyang Mahadewa dibunuh oleh Kala Agung tujuh kali, karenanya Pon mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka empat kali, oleh karena itu Wage mempunyai urip 4 (empat). Demikian pula Saptawara, Hyang Aditya dibunuh oleh Kala Limut lima kali, karenanya Radite mempunyai urip 5 (lima). Hyang Candra terbunuh oleh Kala Angruda empat kali, karenanya Coma mempunyai urip 4 (empat). Sang Manggal dibunuh oleh Kala Enjer tiga kali, oleh sebab itu Anggara mempunyai urip 3 (tiga).sang Buda terbunuh oleh Kala Salongsongpati tujuh kali, karenanya Buda mempunyai urip 7 (tujuh).
Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat delapan kali, itulah sebabnya Wraspati mempunyai urip 8 (delapan). Sang Hyang Kawia terbunuh oleh Kala Greha enam kali, oleh karenanya Sukra mempunyai urip 6 (enam), Dewi Sori terbunuh oleh Kala Telu sembilan kali, itulah sebabnya Saniscara mempunyai urip 9 (sembilan). Begitu pula Astawara, Hyang Giriputri dibunuh oleh Kala Luang enam kali, karenanya mempunyai urip 6 (enam), Hyang Guru dibunuh oleh Kala Durgastana delapan kali, oleh sebab itu Guru mempunyai urip 8 (delapan), Hyang Yama dibunuh oleh Kalantaka sembilan kali, karenanya Yama mempunyai urip 9 (sembilan). Hyang Rudra terbunuh oleh Kala Pundutan tiga kali, sehingga Ludra mempunyai urip 3 (tiga), Hyang Brahma dibunuh oleh Kala Agni tujuh kali, sehingga Brahma mempunyai urip 7 (tujuh). Hyang Kala terbunuh oleh Hyang Guru sekali, sehingga kala mempunyai urip 1 (satu). Hyang Mreta terbunuh oleh Kala Padumarana empat kali, sehingga Uma mempunyai urip 4 (empat).
Lain lagi halnya Sangawara, Dangu terbunuh 5 kali. Jangur terbunuh 6 kali, Gigis terbunuh  8 kali, Nohan terbunh 1 kali (sekali). Ogan terbunuh 8 kali, Erangan terbunuh 3 kali, Urungan 7 kali. Tulus terbunuh 9 kali, Dadi terbunuh 4 kali. Itulah semuanya menjadi uripnya masing-masing. Mengenai Sadwara, Tungleh terbunuh 7 kali, Aryang terbunuh 6 kali, Urukung terbunuh 5 kali, Paniron terbunuh 8 kali, Was terbunuh 9 kali, Maulu terbunuh 3 kali Begitu pula halnya Caturwara, Hyang Angga terbunuh 4 kali, sehingga Sri mempunyai urip 4 (empat), Hyang Bayu terbunuh 5 kali, sehingga Laba mempunyai urip 5 (lima). Hyang Purusa dibunuh 9 kali, sehingga Jaya mempunyai urip 9 (sembilan), Hyang Kencanawidi terbunuh 7 kali, sehingga mandala mempunyai urip 7 (tujuh)
(Transkripsi Lontar Bhagawan Garga, 8).
2.4 Wewaran dan Pangider Bhuwana dalam Lontar Bhagawan Garga
Telah disampaikan di atas cerita tentang kehidupan Wewaran berperang melawan Kala semuanya yang  akhirnya dihidupkan kembali oleh Hyang Taya, itulah sebabnya semua wewaran mempunyai urip/neptu seperti telah tersebut di atas. Dari sinilah kiranya Padma Anglayang yang juga disebut dengan pengider-ngider, setiap arahnya mempunyai urip tertentu.  Sehubungan dengan terciptanya alam semesta yang keadaannya sudah stabil,  sempurna dan  sejahtera artinya masing-masing dari benda-benda alam (Brahmanda) telah berdiri sendiri-sendiri disebut dengan Swastika sebagai lambang suci agama Hindu. Lambat laun dari Swastika itulah berkembang menjadi lukisan Padma Anglayang, artinya tunjung terbang melayang-layang di awang-awang mengedari matahari (Suryasewana). Daunnya yang delapan menjadi 8 (delapan) arah dari bumi yaitu :
1.         Purwa (Timur).
2.         Gneya (Tenggara).
3.         Daksina (Selatan).
4.         Nairiti (Barat Daya).
5.         Pascima (Barat).
6.         Wayabya (Barat Laut).
7.         Uttara (Utara).
8.         Airsanya (Timur Laut).
Dalam Sapta loka yaitu tingkat keempat dari atas atau dari bawah Sang Hyang Widhi itu disebut Loka Pala artinya pemimpin alam. Dalam kepemimpinan ini Sang Hyang Widhi digelari bermacam-macam menurut tempat dan tugasnya, misalnya Panca Brahma, Panca Dewata, Nawa Dewata atau Dewata Sangga. Di antara gelar-gelar Sang Hyang Widhi itu di sini akan diuraikan tentang Nawa Dewata atau Dewata Sangga yang berhubungan langsung dengan Padma anglayang atau Pangider-ider sebagai berikut.
1.         Sang Hyang Iswara bertempat di Timur.
2.         Sang Hyang Maheswara bertempat di Tenggara.
3.         Sang Hyang Brahma bertempat di Selatan.
4.         Sang Hyang Rudra bertempat di Barat daya.
5.         Sang Hyang Mahadewa bertempat di Barat.
6.         Sang Hyang Sangkara bertempat di Barat Laut.
7.         Sang Hyang Wisnu bertempat di Utara.
8.         Sang Hyang Sambhu bertempat di Timur Laut.
9.         Sang Hyang Siwa bertempat di Tengah.
Terutama para Dewata Sangga inilah diperintahkan oleh Sang Hyang Widhi untuk menjaga semua penjuru mata angin dunia supaya stabil dengan memiliki urip masing-masing seperti yang telah diuraikan dalam  Lontar Bhagawan garga seperti di bawah ini.
1.         Sang Hyang Iswara melawan para Kala, beliau terbunuh oleh Kala Sanjaya 5 kali, tetapi dihidupkan 5 kali oleh Sang Hyang taya. Sang Iswara diperintahkan oleh Sang Hyang Widhi mengatur memimpin alam bagian Timur. Itulah sebabnya dalam pangider-ngider arah Timur mempunyai 5 (lima).
2.         Sang Hyang Maheswara atau Sang Hyang Wraspati terbunuh oleh Kala Amengkurat 8 kali, dihidupkan oleh Sang Hyang Taya 8 kali, sehingga Sang Hyang Maheswara yang memimpin arah Tenggara mempunyai urip 8 (delapan)
3.         Sang Hyang Brahma terbunuh 9 kali oleh Kala Wiwesa, kemudian dihidupkan 9 kali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Hyang Brahma yang diperintahkan memimpin arah Selatan mempunyai urip 9 (sembilan).
4.         Sang Hyang Rudra dibunuh 3 kali oleh Kala Pundutan dan dihidupkan juga 3 kali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Rudra memperoleh tugas dibagian Barat daya mempunyai urip 3 (tiga).
5.         Sang Hyang Mahadewa dibunuh 7 kali oleh Kala Agung, tetapi dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 7 kali, sehingga Sang Hyang Mahadewa yang ditugaskan memimpin arah Barat mempunyai urip 7 (tujuh).
6.         Sang Hyang Sangkara terbunuh oleh Kala Mretiu sekali, kemudian dihidupkan juga sekali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Sangkara yang ditugaskan memimpin arah Barat Laut mempunyai urip 1 (satu).
7.         Sang Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasamuka 4 kali, juga dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya, sehingga Sang Hyang Wisnu yang ditugaskan menagtur atau memimpin arah Utara mempunyai urip 4 (empat).
8.         Sang Hyang Sambhu atau Sang Hyang Kawia dibunuh oleh Kala Greha 6 kali kemudian dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 6 kali, sehingga Sang Hyang Sambhu yang ditugaskan memimpin arah Timur Laut mempunyai urip 6 (enam).
9.         Sang Hyang Siwa terbunuh 8 kali oleh Kala Eka Dasabumi, dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Taya 8 kali juga, sehingga Sang Hyang Siwayang ditugaskan di bagian Tengah sebagai proses mempunyai urip 8 (delapan).
. (Transkripsi Lontar Bagawan Garga, 7)
3. Penutup
Wewaran adalah ilmu tentang nama-nama hari yang mana setiap hari memiliki sepuluh nama (dasa nama) yang diwujudkan dengan Eka Wara sampai Dasa Wara. Wawaran biasanya digunakan untuk bercocok tanam, upacara tertentu dan hari-hari baik. Satu wawaran merupakan satu hari yang mulai dari matahari terbit sampai matahari terbit (pagi sampai pagi). Masing-masing wewaran memiliki urip yang berbeda sesuai dengan mitologi menurut Lontar Bhagawan Garga. Penggunaan wewaran harus juga berpatokan dengan wuku, tanggal, sasih dan dauh dimana kedudukan masing-masing waktu itu secara relatif mempunyai pengaruh .

Daftar Pustaka
Ananda Kusuma, Sri Reshi, 1979, Wariga Dewasa, Denpasar: Morodadi
Aryana, IB. Putra Manik, 2009, Tenung Wariga, Denpasar: Bali Aga
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/wariga-dan-dewasa-merupakan-ilmu-astronomi-ala-bali/481661075189877
http://warigabali.metrobali.com/?p=6

Seni Sakral (Kidung)


Seni Sakral (Kidung)
Oleh : I Putu Ngurah Restiada
1.       Defenisi Kidung
Ada idiom mengatakan "tak kenal maka tak sayang", karena itu sebelum jauh membahas tentang kidung ada baiknya penulis paparkan dahulu tentang apa sebenarnya defenisi dari kidung?. Setelah kita mengetahui defenisinya barulah kita bisa menyelami lebih dalam apa dan bagaimana kidung itu.   Terkait defenisi kidung, ada 2  ahli yang memberikan sumbangsih pendapat. Agastia (1994 : 8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu. Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu (misalnya bunyi a, i, u). Sekalipun kidung adalah kata Jawa asli, tapi isinya banyak mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan musik Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama. Di lain sisi, Bandem (1983 : 31) menyatakan bahwa kidung adalah jenis puisi yang menggunakan metric dan bahasa Jawa Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malat di Jawa. Namun dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, kidung sering dimainkan bersama dengan Istrumen dan lagu-lagu pokok kidung ditulis dalam lontar Tabuh-tabuh Gambang. Kidung mempergunakan laras pelog 7 yang memakai 5 nada pokok dan 2 nada pemero. Hanya dalam kidung di Bali terdapat modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah dan amat banyak dipergunakannya nada pemero. Secara lebih  spesifik,  kidung di Bali memiliki bagian-bagian sebagai berikut
a.            Pangawit yaitu Pembuka
b.            Pamawak yaitu bagian yang pendek
c.            Panama yaitu bagian yang panjang
d.           Pangawak yaitu bagian utama dari kidung
Dalam perkembangan selanjutnya, kidung diklasifikasikan masuk ke dalam sub ruang lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu Dharmagita Pengklasifikasian ini tiada lain bertujuan untuk memudahkan dalam mempelajarinya berdasarkan beberapa persamaan maupun perbedaan dengan nyanyian yang lainnya. . Pengklasifikasian ini didasarkan pada kelompok umur maupun sulit ataupun tidaknya nyanyian itu dibuat berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya, sekar rare, nyanyian yang diperuntukakan untuk anak kecil/balita (rare). Sekar alit, nyanyian yang  diperuntukan untuk anak kecil (6-12 tahun). Sekar Agung, nyanyian yang menggunakan aturan tertentu seperti wreta dan matra, guru dan laghu serta menggunakan pemahaman yang lebih ketika kita ingin memahami maksud dari bahasan yang ada dalam nyanyian tersebut (sekar agung), karena besar dan sulitnya itulah mengapa adalah istilah "agung” yang melekat  pada jenis nyanyian ini. Secara garis besar semua nyanyian di Bali diklasifikasikan ke dalam Dharmagita
 2.      Sejarah Kidung


            Karya sastra lahir dari proses kreatif seorang pengarang, disamping proses imajinatifnya. Dalam kaitan dengan hal ini amat menarik mengapa seorang pengarang disebut sebagai sang kawi, sang "pencipta". Istilah kreatifitas sendiri berasal dari bahasa Inggris to create yang dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah mencipta yang berarti mengarang atau membuat sesuatu yang berbeda bentuk, susunan atau gayanya daripada yang lazim dikenal oleh orang banyak. Proses kreatif seorang kawi atau para kawi yang telah melahirkan karya-karya sastra termasuk juga nyanyian ketuhanan yaitu kidung.


Apabila kita ingin melacak asal mula kidung yang ada di Bali mau tidak mau kita harus menoleh ke sastra Jawa Kuna. Karena sastra Jawa Kuna merupakan asal mula sastra yang ada di Bali. Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam Agastia (1994 : 24) menyatakan, "Pulau Bali adalah peti tempat menyimpan perbendaharaan sastra dan budaya lama". Yang dimaksudkan "budaya lama" oleh beliau adalah sastra-sastra Jawa Kuna. Sastra-sastra Jawa Kuna itu memiliki kepustakaan dalam jumlah yang banyak dan beraneka, memiliki nilai yang sangat kaya dan indah termasuk kidung di dalamnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Zoetmulder dalam Agastia (1994 : 24) berdasarkan penelitiannya berasumsi bahwa sekitaran pertengahan abad ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat berbagai pusat kebudayaan dan religi. Sehingga sebagai suatu konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa. Bahwa di pusat-pusat kebudayaan dan keagamaan itu, bahasa Jawa hampir tidak dituturkan dan ditulis.  Sastra Jawa tidak hanya dimaklumi dan dipelajari tetapi juga ditiru dan dikembangkan. Karya-karya baru yang ditulis yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan. Maka kesusastraan Bali, termasuk kidung di dalamnya tidak dapat memisahkan sejarahnya dengan sejarah kasusastraan Jawa Kuna.
Agastia dalam bukunya yang berjudul "Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar)" menyatakan, apabila kita ingin melacak dan memeriksa sastra kidung, maka pertama-tama kita dikesankan oleh banyaknya cerita-cerita Panji yang sangat kental di dalamnya. Adalah kidung Malat sebagai kidung terbesar dalam khasanah sastra kidung memang mengolah cerita Panji sebagai bahan ceritanya, di samping kidung-kidung lainnya yaitu Wangbang Wideya, Waseng dan yang lain. Di lain pihak ada kidung-kidung historis yang cukup banyak dikenal seperti kidung Harsawijaya, kidung Sunda, kidung Sorandaka, kidung Ranggalawe, ada pula kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka menjadi kidung Tantri Pisacaharana dan kidung Tantri Manduka Prakarana.
Prof. Zoetmulder sebagaimana dikutip oleh Agastia (1994 : 39) pernah menyatakan bahwa bentuk kakawin dan bahasa Jawa Kuna merupakan saluran tradisional bagi kisah-kisah yang berpangkal pada epos-epos India, tetapi bentuk kidung dan bahasa Jawa Tengahan secara eksklusif dipakai untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Tidak ada satu kakawin pun menampilkan kisah Panji, sedangkan disisi lain kidung-kidung yang menyajikan sebuah tema India, jarang sekali didapat. Walaupun demikian kita masih dapat membaca kidung Sudamala dan Kidung Sri Tanjung, dua buah kidung kerakyatan yang cerita aslinya murni berasal dari Jawa namun dewa-dewa dari mitologi India dan tokoh-tokoh Mahabrata muncul di dalamnya.
Yang lebih penting untuk dicatat di sini adalah kehadiran kisah perjalanan Bhima untuk mencari tirtha pawitra atas perintah guru Drona, sebuah kisah yang masih sangat populer di Jawa dewasa ini, ternyata kita dapati dalam bentuk kidung berjudul Dewaruci atau Nawaruci. Kidung ini memang lebih bersifat penuangan ajaran-ajaran kerohanian khususnya pengetahuan esoteris ke dalam kerangka naratif dengan mengambil bentuk kidung. Masih ada yang lain yang perlu di catat adalah kidung Korawasrama, sebuah karya yang mengungkap hidupnya kembali kaum Korawa serta pelaksanaan tapanya. Dalam kidung ini, Korawa bermaksud membalas dendam terhadap Pandawa, namun Pandawa tidak berhasil ditewaskan olehnya karena mereka menegakkan kebenaran itu senantiasa dilindungi oleh para dewa.    
3.       Jenis-jenis Kidung
          Kidung memang tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya, setiap upacara yadnya tertentu pasti menggunakan gegendingan (kidung) tertentu pula. Wayan Budi Gautama dalam bukunya yang berjudul "Kidung Panca Yadnya", mengaitkan jenis-jenis kidung dengan prosesi yadnya yang ada di Bali. Jenis-jenis kidung menurut Wayan Budi Gautama adalah sebagai berikut :
1.                       Kidung Dewa Yadnya digunakan ketika upacara Dewa Yadnya
2.                       Kidung Rsi Yadnya digunakan ketika upacara Rsi Yadnya
3.                       Kidung Manusa Yadnya digunakan ketika upacara Manusa Yadnya
4.                       Kidung Pitra Yadnya digunakan ketika upacara Pitra Yadnya
5.                       Kidung Bhuta Yadnya digunakan ketika upacara Bhuta Yadnya
3. 1    Contoh wirama kidung berkaitan dengan Panca Yadnya :
a.    Pada upacara Dewa Yadnya ditembangkan kidung:
1)   Di saat memuja Ida Bhatara : Kawitan Wargasari atau Wargasari
2)   Di saat sembahyang menggunakan bunga (muspa): Mredu Komala atau Totaka
3)   Di saat memohon tirta ( nunas tirta) : Wargasari
4)   Di saat penutupan upacara (nyineb) : Warga Sirang.

b.    Pada upacara Rsi Yadnya ditembangkan kidung:
1)   Upacara Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati atau Palu Gangsa.
2)   Upacara Diksa: Rara Wangi.

c.    Pada upacara Manusa Yadnya ditembangkan kidung:
1)   Upacara Raja Swala: Demung sawit
2)   Upacara Metatah: Kawitan Tantri atau Demung Sawit
3)   Upacara Mapetik: Malat Rasmi
4)   Upacara Pawiwahan: Tunjung Biru.

d.   Pada upacara Pitra Yadnya ditembangkan kidung :
1)   Di saat menurunkan atau memandikan jenazah : Sewana Girisa atau  Bala Ugu.
2)   Di saat mebawa jenazah ke kuburan (setra) : Indra Wangsa
3)   Upacara mengurug kuburan (gegumuk): Adri
4)   Upacara Ngeseng sawa: Praharsini
5)   Upacara Reka Abu: Aji Kembang
6)   Upacara melarung abu ke laut (nganyut) : Sikarini atau Asti
7)   Upacara Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.

e.    Pada upacara Bhuta Yadnya ditembangkan: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, atau Swaran Kumbang.

3. 2    Contoh syair- syair Kidung
a.    Dewa Yadnya
1)   Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang
1.    Purwakaning angripta rumning wana ukir.
Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
2.    Sukania harja winangun winarne sari.
Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng
.
2)   Pangayat - Menghaturkan sesajen - Kidung Warga Sari
1.    Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane.
Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
Sami sampun puput. Pratingkahing saji.
2.    Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,
Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
Ancangan sadulur, sami pada ngiring.
3.    Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane.
Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit
.
3)   Pamuspan – Sembahyang, Merdu - Komala
1.    Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.
2.    Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita.
Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.
3.    Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu.
Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
Ring angambeki yoga kiteng sakala.
4.    Katemun ta mareka sitan katemu.
Kahidepta mareka si tankahidep.
Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
Paramartha Siwatwa nira warana.
4)   Nunas tirtha - Mohon tirtha
1.    Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune.
Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
Sami pada lebur. Malane ring gumi.

b.    Rsi Yadnya
1)   Wilet Mayura
1.    Sarwi angataging sarwa sinom, sarwi anangis ring luhur, pangrikning sundari ampruang, sriokning cemara angelur, kasangga den luahning warih, sakuehning wong amemaluk, taluktak lan jurang suarania anarung, er talinia kumeroncong, tibet parangan
2.    Angrerimang sang ulangun, sang lara angundur guyu, sang karwa lingnia kasmaran, amawas istri kaleson, dadia ta amuwuhing angrawit, sapolahira sangarum, sang kakung lingnia duh yayi, paran den kwang dumung, sakeng larasta.

c.    Manusa Yadnya
2)   Kawitan Tantri - Pendahuluan.
3.    Wuwusan Bhupati. Ring Patali nagantun.
Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.
4.    Tuhu tan keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari.
Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
Sri dhara patra sang katong.
5.    Wetning raja wibawa, mas manik penuh.
Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
Bratang penacasyan.
Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.
6.    Kadi kreta yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati.
Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra.
Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.

3)   Demung Sawit (bawak, dawa)
1.    Tuhu atut bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala.
Dala kusuma patra nglung,
Eswarya raja laksmi.
Sang kulahamenuhi rajya.
Kwening bala diwarga.
Mukya sira.
Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.
2.    Nityasa angulih- ulih amrih sutrepting nagara,
lan sang paradimantriya.
Tuhu widagda ngelus bhumi.
Susandi tinut rasaning aji,
Kutara manawa.
Mwang sastra sarodrsti.
Matangyan tan hanang baya kewuh.
3.    Pirang warsa Sri Nrapati Swaryadala.
Tusta ngering sana.
Kaladiwara hayu.
Sri narapati.
Lagya gugulingan ring taman.
Ring yaca ngurddha angunggul.
Yayamireng tawang.
Tinum pyata tinukir.
Kamala kinanda-kada.
Langu inipacareng santun.
4.    Mangamyat kalangenikang nagara.
Tisoba awiyar.
Indra bhuwana nurun,
Kweh tang pakwana titip.
Pada kabhi nawa.
Dening sarwendah linuhung.
Liwar sukanikang wong.
Anamtami kapti.
Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.



d.    Pitra Yadnya
1)   Nedunang layon pacang nyiramang - Menurunkan Jenazah untuk dimandikan (Cewana – Girisa)
1.    Ata sedengira mantuk sang suralaga ringayun.
Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.
2.    Lalu laranira nasa sambat putranira pejah.
Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.

2)   Nyiramang layon - Memandikan Jenazah (Bala – ugu)
1.    Bala ugu dina melah, manuju tanggal sasih.
Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.
2.    Ikang layon ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah.
Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
Sumar ganda mrbuk arum.
3.    Pusuh menuhe uttama. Malem sampun macawisan.
Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.
4.    Buku-buku panyosalasan. Pagamelane salaka.
Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.

3)   Mamarga ka setra - Pergi ke Kuburan (Indra – wangsa)
1.    Mamwit narendratmaja ring tapowana.
Manganjali ryagraning indra parwata.
Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.
2.    Mangkat dateng toliha rum wulat nira.
Sinambaying camara sangkaring geger.
Panawanging mrak panangisnikungalas.
Erang tininggal masaput-saput hima.
3.    Lunghang lengit lampahira ngawe tana.
Lawan Sang Erawana bajranaryama.
Tan warnanen decanikang katungkulan.
Apan leyep muksa sahinganing mulat.

4)   Ngeseng Sawa - Memperabukan Jenazah.
1.    Sang atapa sakti bhakti, astiti purwa sangkara.
Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.
2.    Nghulun angadeg ring natar. Kamajaya cintanya.
Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.
3.    Yan sampun sira araup. Isinikang kundi manik.
Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.
4.    Wewangen dadi tembaga. Rurube kang dadi emas.
Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.


5)   Rikala ngayut - Melarung abu ke laut.
1.    Ring wetan hana telaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.
2.    Ring kidul hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
3.    Ring kulon hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
4.    Ring lor hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
5.    Ring madya hana talaga. Rikata hulun adyusa.
Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.
6.    Sampun ta sira abresih, anambut raja bhusana.
Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.

e.    Bhuta Yadnya
1)   Pupuh Jerum
1.    Tangeh hana muntu rida,
salimur tan kasalimur,
prakerti abayeng dangu,
tumuwuh ta andadi wong,
rasa tan kadi agemang,
marmanira misreng kidung,
 tan anut ring pupuh basa pina ewa de sang wiku.
2.    Endan kapracita ring gita,
kundangdeya aranipun,
taruna ring banjar kidul,
kang kumawi catur mangko,
kocapan i kundangdeya,
anglunjar gawenipun,
kasih-asih ingeman-eman,
kambankara dening ibu.
3.    Kidung pangundang ring buta,
basa lumbrah pupuh jerum,
buta asih widi asung,
caru pasajine reko,
genep saha upacara,
manut warna lawan ungguh,
sekul iwak pada bina,
olah-olahan sadulur.

4.     Kidung, Nilai Religius  dan Pelestarian Budaya Bali
Kidung begitu erat hubungannya dengan ritual keagamaan di Bali. Kidung dalam pelaksanaannya selalu mengiringi dalam setiap upacara Panca Yadnya. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa ritual-ritual keagamaan yang mereka jalani sarat akan nilai-nilai ketuhanan (religius). Sebagaimana pula yadnya, karena kidung merupakan komponen dari ritual yadnya, kidung juga sarat nilai religius magis.  Yadnya yang tanpa kidung dirasakan kurang nilainya, seperti sayur tanpa garam. Dalam kepercayaan Hindu, setiap ritual yadnya seyogyanya ada 5 komponen suara (bunyi)  sakral yang harus mengiringi yadnya tersebut. Suara (bunyi) tersebut adalah : kentongan (kulkul), gamelan (balaganjur), kidung, genta, dan mantra. Donder (2007 : 35)  dalam jurnal ilmiah "Pangkaja, Jurnal Agama Hindu Vol. VII. No. 2", menyatakan bahwa kelima bunyi-bunyian sakral tersebut ada dalam ritual yadnya adalah bermaksud untuk melakukan super posisi gelombang-gelombang mikro dan makro kosmos agar terhubung dengan kesadaran tuhan. Hal ini berarti bahwa setiap bagian kosmos (alam semesta) dapat menghubungkan manusia dengan kesadaran tuhan sebagai penguasa kesadaran kosmos. Masih menurut Donder, hal ini merupakan inti dan puncak kesadaran manusia yang harus dicapai oleh setiap orang bila ingin dapat berkomunikasi dengan pikiran alam semesta atau kesadaran kosmos. 
          Kidung adalah seni suara yang sakral. Lewat lantunan kidung oleh pengidung, ajaran-ajaran ketuhanan ditranforsmasikan melalui suara yang indah dan mempesona. Kidung yang tepat, dinyanyikan oleh pengidung yang ber-taksu mampu menggugah suasana hati bagi orang yang mendengarkannya. Melalui pengidung ini, pendengar mampu  dibawa "hanyut" bersama suara kidung sesuai dengan keperuntukan kidung itu. Lewat alunannya, kidung menuntun kita mengalir mengikuti riak-riak perasaan. Kidung juga mengajarkan kita peka terhadap perasaan dan keadaan. Bagaimana seseorang bisa dibuat bulu romanya berdiri dan hatinya hening damai ketika mendengar suara kidung warga sari pada saat pujawali?. Bagaimana hati seseorang bisa ikut dibuat "nelangsa" ketika jenazah diturunkan   hendak dimandikan dengan alunan kidung wirama cewana girisa dari seorang pengidung?. Lalu, bagaimana pula hati  kita bisa ikut berbahagia, ketika mendengar kidung tunjung biru dalam upacara pernikahan (pawiwahan)?. Kidung dalam alunan suara dan keadaan telah menjelma menjadi "jembatan perasaan". Semua itu, karena kidung tidak dibuat oleh orang sembarangan, kidung dibuat oleh sang kawi, yang telah mantap dalam orah rasa dan seni yang disampaikan lewat olah suara yang di dalamnya sarat nilai religius magis.
          Kidung adalah warisan yang adiluhung yang memiliki nilai-nilai kearifan ajaran agama Hindu. Nilai-nilai ini bersifat universal dan mengandung kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti ini sudah seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun budaya.  Karena itu kidung-kidung yang di Bali perlu dilestarikan. Adapun pelestariannya adalah melalui pesantian ataupun Utsawa Dharma Gita. Melalui jalan inilah diharapkan kidung-kidung yang ada di Bali bisa tetap ajeg dari waktu ke waktu. Perhatian yang sungguh-sungguh memang harus dilakukan terhadap kidung di Bali bukan semata-mata dalam usaha kelestarian budaya tetapi juga dalam pengembangan budaya itu sendiri. Suatu saat, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyatakan "ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-perubahan itu, maka selamatlah peradaban itu berjalan. Tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia tidak menguasainya maka hancurlah peradaban manusia". Oleh karena itu, terkait dengan pernyataan diatas, satu-satunya jalan bagi manusia untuk menghadapi hal itu ialah manusia harus menegakkan kehidupan rohaninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama, termasuk juga kidung di dalamnya sehingga ia utuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap dapat berjalan dalam mengembangkan kreatifitasnya sebagai subjek untuk menjalankan tugas dan kewajiaban umat yang beragama Hindu

DAFTAR PUSTAKA

Gautama, Wayan Budha. 1983. Kidung Panca Yadnya. Denpasar : CV Kayu Mas.

Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia Gambelan Bali. Denpasar : (Tanpa Penerbit).

Agastia, IBG. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.

Anonim . 2007. Jurnal Pangkaja, Jurnal Agama Hindu. Vol.VII. No. 2. Denpasar : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.