Taburan Hati

SCM Music

Rabu, 11 Desember 2013

Kajian Palinggih Pamerajan Arya Belog


Kajian Palinggih Pamerajan Arya Belog
Desa Depeha, Kec. Kubutambahan, Kab. Buleleng
Persfektif Siva Siddhanta
(Oleh : I Putu Ngurah Restiada)

I. Pendahuluan
Sanatana dharma (kebenaran yang kekal/abadi) adalah salah satu istilah agama Hindu di dalam Veda. Veda menyatakan, sesungguhnya dharma ini berasal langsung dari Tuhan sendiri (Dharmah tu saksad bhagavad pranitam). Agama Hindu dinyatakan kekal (Sanatana) karena sifat dari agama Hindu adalah universal (Ghindwani 2006:101-105). Agama universal yang dimaksud adalah agama yang tidak memiliki tempat untuk penganiayaan atau intoleransi, agama yang akan mengenali kesucian dalam setiap manusia, selalu memusatkan untuk membantu umat manusia mencapai sifat suci, dan yang lebih penting tidak menekankan pada satu cara dalam mendekatkan diri kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Agama Hindu sebagai agama universal datang dan masuk disela-sela masyarakat dengan cara damai, cinta kasih dan atas dasar kata hati serta kemauan yang paling dalam untuk dilaksanakan. Agama Hindu tidak disebarkan oleh para penakluk dengan pedang sambil menjarah, merampok serta memperkosa. Para Dharma Duta Hindu datang ke satu tempat sebagai guru kerohanian; mereka mengajarkan dharma, bagaimana hidup yang baik; apa makna suatu tindakan, dan apa akibatnya. Selain hal tersebut, keuniversalan agama Hindu adalah memelihara budaya religius setempat dimana agama Hindu itu berada dan berkembang, yang berarti tidak mengasingkan suatu masyarakat terhadap budayanya sendiri, serta menghancurkan dan menggantinya dengan budaya suku dari mana agama Hindu itu berasal.
Pulau Bali merupakan salah satu wilayah dimana agama Hindu berkembang, namun dalam hal ini agama Hindu tidak membuat budaya baru di dalam budaya asli Bali atau dengan kata lain agama Hindu tidak menghilangkan akar kebudayaan asli Bali, baik tradisi, adat istiadat, ritual, dan lain sebagainya. Sederhananya semua adat istiadat, tradisi serta ritual yang ada berlandaskan pada ajaran Veda. Karena bukti nyata dari keuniversalan agama Hindu khususnya di Bali, dapat dilihat salah satunya melalui tempat suci agama Hindu yang disebut dengan Pura. Pura di Bali secara keseluruhan bersumber dari gagasan budaya masyarakat Bali yang kini dipakai sebagai sarana persembahyangan umat Hindu, di Pura inilah umat Hindu melaksanakan puja dan bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Hyang Widhi Wasa.
Pura dalam agama Hindu sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dibangun berdasarkan arah luan atau hulu (Timur laut) dan teben atau hilir atau juga sering disebut dengan nyegara (arah laut) gunung (arah gunung), dengan alasan karena kedua arah tersebut  menjadi sumber kehidupan manusia. Namun, menurut Putra (2005:101) dalam pengertian Hindu di Bali tempat atau arah yang paling suci adalah timur laut yang merupakan pertemuan antara timur dan kaja yaitu arah gunung dan matahari. Hal ini mengambarkan bahwa keberadaan Pura sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah untuk mendapatkan tuntunan yang suci selama hidup di dunia sekala ini sebagai bekal menuju dunia niskala.
Tempat suci atau Pura yang lazim juga disebut dengan Kahyangan, dan di Bali jumlahnya sangat banyak, baik yang bertempat di pegunungan, di kota-kota, di desa-desa, di pinggiran pantai, akan tetapi secara garis besarnya Pura itu dapat digolongkan menjadi empat yaitu: (1) Pura Keluarga, (2) Pura Desa, (3) Pura Kahyangan Jagat, dan (4) Pura yang bersifat fungsional. Berdasarkan atas uraian tersebut, untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya, maka bagi setiap umat Hindu, dengan tidak terbatas pada umur selalu melaksanakan persembahyangan ke Pura.
Pada artikel yang sederhana ini, penulis hanya akan memaparkan terkait Pura Keluarga, khususnya tentang Pura Dadia/Merajan berserta kajiannya pada Palinggih-palinggih yang termasuk juga di dalamnya. Berangkat dari banyaknya fenomena yang terjadi di lapangan, bahwa tidak sedikit umat Hindu yang tidak melek terhadap kepercayaan yang mereka anut. Banyak dari umat Hindu tidak tahu nama palinggih yang ada di merajan-nya sendiri, apalagi mau mengkaji mengenai makna dan sejarah apa yang terdapat pada palinggih tersebut. Kebanyakan dari umat yang tidak sadar itu, hanya mempercayakan pengetahuan tentang palinggih pada jero mangku atapun pengempon pura. Berangkat dari ironi inilah penulis tergerak dan mencoba mengangkat kajian tentang Palinggih pada Pamerajan. Karena kebetulan penulis merupakan Pratisanta Sira Arya Belog di Desa Depeha maka penulis akan mengedepankan kajian pada Palinggih Pamerajan Arya Belog Desa Depeha, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

II. Pembahasan
2.1 Sekilas tentang Arya Belog
            Alkisah setelah kemenangan Patih Gajah Mada atas kerajaan Bali Kuna pada tahun 1343 M, ditunjuklah Sri Kresna Kepakisan sebagai “Gubernur” Majapahit di Bali. Beliau bergelar Dalem Samparangan, membangun istananya di desa Samprangan (desa Samplangan sekarang), sebelah Timur tukad Cangkir yang menjadi wilayah Gianyar sekarang. Dalam menjalankan pemerintahannya beliau didampingi oleh 11 Arya, masing-masing diberi kedudukan sebagai berikut:
1.      Arya Kutawaringin di Gelgel
2.      Arya Kenceng di Buwahan/Pucangan Tabanan
3.      Arya Belog di Kaba-kaba
4.      Arya Dalancang di Kapal
5.      Arya Sentong di Carangsari
6.      Arya Kanuruhan di Tangkas
7.      Arya Punta di Mambal
8.      Arya Jerudeh di Temukti
9.      Arya Tumenggung di Petemon
10.    Arya Pemacekan di Bondalem
11.    Arya Beleteng di Pacung
Selain itu juga didampingi oleh 3 orang waisya bersaudara yaitu Tan Kober, Tan Kawur, dan Tan Mundur.
Arya Belog salah seorang Mantri kerajaan Dalem Samprangan diberi tempat kedudukan di wilayah Kaba-kaba. Sabda Dalem kepada Arya Belog: “bahwa selain BhandusaNaga Banda, dan Wadah Tumpang Solas, berhak engkau pakai dan keturunanmu kelak. Engkau adalah keturunan Ksatrya Kula Dewa Purusa Sapradarane Hyang Paramesti Guru.

2.2 Raja-raja Kerajaan Kaba-kaba
2.2.1 Arya Belog (Raja I Kaba-Kaba)
Arya Belog mendirikan kerajaan Kaba-Kaba, beristana di sebelah Selatan Bale Agung, sebelah Timur jalan. Wilayah kekuasaannya meliputi : sebelah Utara sampai batas wilayan Tabanan, sebelah Timur sungai Busak, sebelah Selatan sampai ke laut, dan sebelah Barat desa Pangragoan. Beliau juga membuat Parahyangan Pusering Jagat bernama Pura Gunung Agung. Arya Belog dalam memerintah memakai gurit wesi, artinya sekali berkata tidak dapat diubah. Negara dinyatakan tentram dan sejahtera.
Setelah lama memerintah Arya Belog wafat, dibuatkan Pedharman Batur yang dipuja oleh keturunannya. Upacara pelebonnya memakai wadah kurang dari sebelas tiingkat, sesuai dengan titah Dalem. Arya Belog meninggalkan seorang putera, yang menggantikan kedudukannya bergelar Arya Anglurah Kaba-kaba.

2.2.2 Arya Anglurah Kaba-Kaba (Raja II Kaba-Kaba)
            Arya Anglurah Kaba-kaba sebagai Patih Dalem Hile, sering datang menghadap Dalem. Beliau sering kecewa karena Dalem lebih suka berhias, membuat yang menghadap harus sabar menunggu berlama-lama.
            Setelah beberapa lama memerintah, Anglurah Kaba-Kaba tutup usia, meninggalkan 2 orang putera, yaitu: yang sulung bergelar Anglurah Kaba-kaba, dan adiknya Kyai Buringkit.

2.2.3 Arya Anglurah Kaba-Kaba (Raja III Kaba-Kaba)
            Arya Anglurah Kaba-kaba menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Arya Dalem di Gelgel. Beliau sering datang menghadap dan menunggu di Suweca Pura. Adiknya Kyai Buringkit menjadi raja muda berkedudukan di Jero Ajeng.
            Sewaktu melaksanakan upacara perkawinan, Anglurah Kaba-kaba menyuruh adiknya Kyai Buringkit mewakili datang menghadap ke Dalem. Dalem menanyakan, mengapa Anglurah Kaba-kaba tidak datang. Kyai Buringkit menjawab, bahwa kakaknya tidak sempat datang karena sedang melaksanakan upacara perkawinannya dengan I Gusti Ayu Rai, puteri Pangeran Kapal. Mendengar jawaban Kyai Buringkit, Dalem segera memerintahkan agar isterinya Anglurah Kaba-kaba, I Gusti Ayu Rai segera dibawa ke Suweca Pura.
            I Gusti Ayu Rai segera dihadapkan kepada Dalem. Timbul hasrat Dalem untuk memberikan putera utama kepada Anglurah Kaba-kaba. Setelah I Gusti Ayu Rai dihamili oleh Dalem, diserahkan kepada Anglurah Kaba-kaba dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir, sebab itu benih dari Dalem, kelak akan melahirkan putera utama. Anglurah Kaba-kaba menjunjung amanat Dalem dan membawa isterinya pulang ke Kaba-kaba.
Setelah tiba waktunya, lahir putera Dalem. Mendengar berita kelahiran puteranya, Dalem menuju Kaba-kaba untuk menguji kemurnian benih beliau. Putera itu ditaruh di tanah, di sekitarnya diisi nasi dan ikan. Anjing-anjing dilepas semuanya galak-galak. Ternyata anjing-anjing tersebut tidak berebut, makan tertib dan tidak mengusik sang bayi. Sang bayi juga ditempatkan di atas lubang semut, disekitarnya ditaburi nasi. Semut-semut keluar dari liangnya tetapi berpencar takut pada bayi ini.
Dalem merasa bangga karena benih beliau tidak dicampuri oleh Anglurah Kaba-kaba. Semenjak itu putera tersebut diberi nama Arya Anglurah Agung Putera Teges. Dalem memberi anugerah : putera ini berhak memakai gapura tiga tutup, memberikan abdi Ki Pasek 5 kelompok, yaitu: Pasek TangkasGelgelGaduh, Dahualing, dan Kedangkan.
Diceritakan Arya Anglurah Kaba-kaba mempunyai putera kandung dari isteri yang lain, diberi nama Kyai Ngurah Keladian. Sementara itu Kyai Buringkit mempunyai putera seorang bernama Kyai Ngurah Buringkit, sama dengan nama ayahnya, tinggal di Jero Ajeng.
            Pada suatu hari Kyai Buringkit melakukan perebutan kekuasaan. Rakyat terbagi-bagi dalam 2 kelompok. Tetapi lebih banyak memihak raja, terutama ke 5 golongan Pasek di atas. Perang terjadi di sebelah Utara Kaba-kaba. Saat itu Raja sedang beristirahat di Pura Resi. Laskar yang memihak raja sempat terdesak sebelum berhasil dihalau berkat kegigihan Ki Pasek Lima.
            Pada tengah hari terdengar suara burung tuwu-tuwu yang nyaring, membangunkan baginda raja, hingga beliau terhindar dari serangan lawan. Semenjak itu beliau bersumpah tidak akan menyakiti dan memakan burung tuwu-tuwu sampai seketurunannya.
Beliau terus menuju ke kediaman Pendeta di Gerya Bayuh. Sampai di halaman Gerya beliau melihat sumur meluap sampai tutupnya terangkat berayun-ayun. Raja begitu melihat laskar lawan datang, segera menyuruh seorang pelayan membuka tutup sumur. Laskar lawan yang melihat tutup sumur tersebut langsung lari bergulung-gulung. Itu sebabnya tempat itu diberi nama dusun Tegal Pegulungan. Tempat Ki Pasek lima mempertaruhkan nyawanya diberi nama dusun Tohjiwa. Raja kemudian mengejar laskar lawan yang lari ke Utara dusun Tegal Pegulungan, sehingga terjadi perang yang sangat ramai. Tempat itu kemudian disebut dusun Perang.
Kyai Buringkit melarikan diri terus ke Utara. Anggota laskarnya banyak yang dibunuh oleh serangan Ki Pasek Lima. Itu sebabnya tempat tersebut diberi nama dusun Dekdekan. Mulai saat itu Kyai Buringkit tidak diakui sebagai saudara Anglurah Kaba-kaba. Kyai Buringkit lalu pindah ke Timur ke desa Nyurang, menetap di sana. Lama-lama desa Nyurang berubah nama menjadi desa Buringkit.

2.2.4 Arya Anglurah Agung Putera Teges (Raja IV Kaba-Kaba)
            Setelah wafat Arya Anglurah Kaba-kaba, diganti oleh putera beliau keturunan Dalem, Anglurah Agung Putera Teges. Sebagai raja muda diangkat Kyai Ngurah Keladian. Raja ini juga melaksanakan kebijaksanaan gurit besi, sekali berkata tidak dapat diubah. Negara pada jamannya diberitatan sejahtera.
            Raja IV Kaba-Kaba ini mempunyai seorang putera, diberi nama Arya Anglurah Kaba-Kaba Suda Teges. Sedangkan Kyai Ngurah Keladian mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu: Kyai Nyambu, Kyai Aseman, dua putri, dan yang sulung bernama Kyai Keladian sama dengan nama ayahnya.
            Pada waktu itu di Suweca Pura, Sri Aji Dalem Ketut Kepakisan wafat tahun 1460 M. Beliau diganti oleh puteranya Sri Aji Dalem Waturenggong. Sri Aji Dalem Waturenggong memerintahkan membuat Pedharman di Besakih untuk para leluhur beliau. Itulah sebabnya ada Pedharman Arya Belog, serta Arya Kaba-kaba di Besakih sekarang.
            Diceritakan 3 saudara: Kyai Nyambu, Kyai Aseman, dan Kyai Keladian merasakan tidak puas tinggal di Kaba-kaba karena tidak dapat memerintah, sebab sudah ada putera Dalem. Mereka bertiga berniat keluar ke desa-desa lainnya yang belum ada pemimpinnya. Gagasan Kyai Nyambu ini disetujui oleh ke dua adiknya, sekaligus didengar oleh Anglurah Kaba-Kaba. Ke tiga saudara itu disurutkan martabatnya oleh Anglurah Kaba-Kaba, dijadikan kerabat jauh.
            Mereka bertiga kemudian pergi dari Kaba-Kaba. I Gusti Nyambu ke desa Den Bukit, I Gusti Aseman berdiam di desa Abian Semal, I Gusti Kelaidan menuju Den Bukit tinggal di desa Pumahan.

2.2.5 Arya Anglurah Suddha Teges (Raja V Kaba-Kaba)
            Arya Anglurah Suda Teges dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya. Beliau beristerikan I Gusti Ayu Rai Arsa adik perempuan Kyai Nyambu. Beliau juga mendatangkan seorang Brahmana, Ida Pedanda Mas Timbul, pemberian dari Dalem Segening. Ida Pedanda Mas Timbul diberi tempat di sebelah Pura Gunung Agung, bernama Gerya Kawisunya. Leluhur Ida Pedanda juga dituntun dibuat stana berupa Padma di Pura Gunung Agung Kaba-Kaba.
            Arya Anglurah Suda Teges berputera laki-laki seorang bernama Arya Anglurah Teges. Beliau juga sempat menghamili seorang pelayan bernama Ni Luh Kicen, melahirkan putera astra (tidak sah) bernama I Gusti Gunung, diberi tempat di Jero Gunung.
Setelah beberapa lama memerintah Arya Anglurah Suda Teges wafat. Beliau digantikan oleh puteranya Arya Anglurah Teges.

2.2.6 Arya Anglurah Teges (Raja VI Kaba-Kaba)
            Pada waktu Arya Anglurah Teges memerintah Kaba-Kaba, yang menjadi Dalem di Suweca-pura adalah Dalem Di Made (Dalem terakhir) tahun 1665 – 1686 M. Dalem memerintahkan Arya Anglurah Teges ke Blambangan bersama Arya Anglurah Tabanan, dan Kyai Pacung untuk menghancurkan pemberontak. Arya Anglurah Teges tewas dalam peperangan di Bambangan, beliau diberi gelar Bhatara Raja Dewata Ring Blambangan.
            Arya Anglurah Teges meninggalkan 3 putera laki-laki, yaitu:  Arya Anglurah Yuda Teges (dari permaisuri), Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Ketut dari isteri lain.

2.2.7 Arya Anglurah Yuda Teges (Raja VII Kaba-Kaba)
            Arya Anglurah Yuda Teges menggantikan kedudukan ayahnya, didampingi oleh Kyai Ngurah Rai menjadi Punggawa, berkedudukan di Jero Ajeng. Kyai Ngurah Ketut menjadi pucuk pimpinan para prajurit berkedudukan di Jero Oka.
            Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Ketut, kemudian secara bersama-sama melakukan pemberontakan untuk mengambil alih kekuasaan. Berkat dukungan rakyat, usaha kedua pendamping raja ini dapat digagalkan. Raja kemudian menjadikan kedua saudaranya ini sebagai kerabat jauh.
            Semenjak itu raja tidak percaya kepada keluarga, beliau memanggil Ki Pasek Gelgel, sehingga bertambah keluarga Pasek menjadi 7 (tujuh) kelompok di Banjar Pasekan. Kemudian diperintahkan oleh raja, kelompok Pasek pindah agar dekat dengan istana, tinggal di Banjar Buading. Raja juga meminta putera dari I Gusti Gede Bokah yang bernama I Gusti Gatra untuk menjaga Palinggih Stana Bhatara Ratu Gede Jaksa. Itu sebabnya I Gusti Gatra bertempat tinggal di Dawuh Yeh Kaba-Kaba.
            Arya Anglurah Yuda Teges, setelah tua dan wafat meninggalkan seorang putera bernama Arya Anglurah Gede Sena Teges, yang menggantikan kedudukan ayahnya.

2.2.8 Arya Anglurah Gede Sena Teges (Raja VIII Kaba-Kaba)
            Arya Anglurah Sena Teges mempunyai 2 putera, yaitu I Gusti Ngurah Gede Teges dan adiknya I Gusti Ngurah Alit dari lain ibu. I Gusti Ngurah Alit rupanya lebih disukai oleh rakyat, menimbulkan kecemburuan kakaknya I Gusti Ngurah Gede Teges.
            Pada suatu hari saat keduanya berburu, I Gusti Ngurah Alit dibunuh oleh kakaknya. Mayatnya dibuang di tengah ilalang, kemudian I Gusti Ngurah Gede Teges pulang ke istana. Ibu I Gusti Ngurah Alit yang bernama Ni Gusti Luh Patilik, dari Tumbak Bayuh menanyakan puteranya. Dijawab oleh I Gusti Ngurah Gede Teges, bahwa adiknya telah mendahului pulang, mungkin mampir di mana.
            Setelah lama tidak datang Ni Gusti Luh Patilik mempunyai firasat yang buruk, ketika melihat anjing kesayangan I Gusti Ngurah Alit berguling-guling dilantai. Ni Gusti Luh Patilik mengikuti kemana anjing itu pergi. Rupanya anjing itu memberi petunjuk tempat mayat I Gusti Ngurah Alit berada. Mayat itupun ditemukan dan dibawa pulang ke istana, diupacarai dengan semestinya. Roh I Gusti Ngurah Alit dibuatkan Palinggih Meru Tumpang 7, di atas pintu, sebab beliau dibunuh tanpa dosa. Itu sebabnya ada Meru Tumpang 7 di Saren Gede, bernama Ratu Myu di bawahnya ada patung anjing.
            Anglurah Gede Sena Teges, setelah beberapa lama memerintah, beliau wafat di Pesaren Ukiran, bergelar Bhatara Ring Ukiran. Puteranya yang pertama I Gusti Ngurah Gede Teges menggantikan kedudukannya, bergelar Anak Agung Ngurah Gede Teges. (Sumber : http://gustu107.blogspot.com/2012/03/babad-kaba-kaba.html, Diakses Sabtu 8 Desember 2012 Pukul 14.45 Wita)

2.3 Arya Belog sampai ke Desa Depeha
            Pada awalnya penulis sangat kekurangan sumber dan informasi untuk mengungkap secara data terkait keberadaan Arya Belog di Desa Depeha, Kec. Kubutambahan, kab. Buleleng. Satu-satunya bukti sejarah yang bisa memberikan keterangan yaitu babad, menurut tetua telah raib entah kemana. Sehingga sulit menurut hemat penulis untuk melacak keberadaan klan kami di Desa Depeha.
Titik terang pun diketemukan meskipun belum menuntun ke jalan begitu benderang, ketika penulis bertemu Bapak Mekel Denges. Beliau adalah Mantan Prebekel Desa Depeha pada tahun 70-an, beliau menuturkan bahwa dahulu Desa Depeha bernama Indrapura. Cakupan wilayah Indrapura dahulu terbentang dari wilayah Desa Dausa sampai ke Desa Bukti. Sebutan Indrapura ini karena dahulu ada banyak pura yang ada di wilayah Desa Depeha, mulai dari Pura Indrakila (Dausa), Pura Bukit Sinunggal dan Pura Tampu Lawang (Tajun), Pura Yeh Tabah dan Pura Banua (Tunjung), Pura Tirta Maji (Depeha) sampai Pura Sang Jero (Bukti).
Indrapura dahulu adalah wilayah yang subur, sehingga banyak mendatangkan pendatang. Keberadaan klan kami (Arya Belog) diperkirakan datang dari Kaba-kaba ke Indrapura. Memang hal ini masih asumsi dan perlu di kaji secara mendalam, tetapi jika merunut sejarah sesuai dengan babad kaba-kaba yang suasana politiknya cenderung panas. Di perkirakan kami adalah keturunan kaba-kaba yang manyudra wangsa untuk menghindari incaran dari dalem karena adanya intrik di kaba-kaba ketika adanya suksesi kepemimpinan dari keturunan arya belog ke turunan dalem akibat istri anglurah kaba-kaba melahirkan anak dari dalem. Pada saat itu, siapapun yang berani menentang dalem akan di bunuh. Mungkin itulah alasan Arya Belog yang ada di Desa Depeha pada nama yang disandangnyaa adalah sama dengan nama orang biasa (jaba) (Denges, I Ketut. Wawancara Pribadi di Dusun Dauh Pura, Desa Depeha, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. 1 Desember 2012).

2.4 Definisi Pamerajan
Wikarman (2010:1) menyatakan  Pamerajan berasal dari kata “praja” yang berarti masyarakat, turunan, keluarga. Pengater Pa dan akhiran an mengacu pada tempat pemujaan keluarga atau turunan. Hampir dalam setiap pura atau pura keluarga (sanggah/pamerajan) di Bali terdapat bangunan suci atau disebut palinggih. Palinggih merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta yang oleh umat Hindu diyakini sebagai tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Palinggih merupakan citra Hindu sebagai media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Ditinjau dari fungsinya, secara fundamental palinggih (bangunan suci) tersebut berfungsi sebagai sarana umat Hindu untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasi beliau. Demikian juga, palinggih dapat pula difungsikan sebagai sarana untuk memuja roh suci leluhur dengan berbagai tingkatannya (Sandika, 2011: 76).
Di samping itu, setelah adanya sanggah atau merajan, terdapat pula kelompok pura yang disebut sebagai Pura Panti, dadia, maupun kawitan. Perihal Pura Panti, Pura Dadia, serta Pura Kawitan sebenarnya berada dalam kelompok pura yang sama dan juga mempunyai pengertian yang tidak berbeda pula. Artinya apa yang disebut Pura Panti itu dapat pula disebut dengan Pura Dadia maupun Pura Kawitan. Sama halnya dengan sebutan Sanggah dapat pula disebut dengan istilah Merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada jumlah penyiwi atau pemujanya. Sebagaimana tersurat di dalam Lontar Siwagama bahwa: “Bhagawan Manohari beliau beraliran Siwa dengan tugas disuruh oleh Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40 pekarangan rumah (keluarga) disuruh mendirikan Panti, adapun setengah bagian dari itu yakni 20 pekarangan rumah supaya mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan rumah mendirikan Palinggih Pratiwi (pertiwi) dan pada setiap pekarangan rumah supaya didirikan Palinggih Kemulan. Jadi penulis mengkaji bahwa sanggah atau merajan merupakan bangunan atau palinggih dalam cakupan yang terkecil dalam satu garis keturunan atau klan, sedangkan kawitan adalah cakupan yang lebih luas dari sanggah merajan namun tetap dalam satu garis keturunan.

2.5 Palinggih Pamerajan Arya Belog Desa Depeha, Kec. Kubutambahan, Kab. Buleleng
2.5.1 Palinggih Apit Lawang
Palinggih Apit Lawang terdapat di Kanista Mandala (areal luar Pura). Palinggih ini terkadng juga disebut Tugu Ajaga-jaga. Palingih Apit Lawang padanan pada bahasa Indonesia adalah Palinggih yang mengapit pintu, oleh karena itulah Palinggih ini  berada di depan pintu masuk Pamerajan mengapit di sebelah kanan dan kiri pintu masuk. Busana (Wastra)  yang digunakan pada saat piodalan pada  Palinggih Apit Lawang yaitu kain berwarna putih hitam (poleng). Mantra yang digunakan untuk memuja pada Palinggih ini adalah sebagai berikut:
Ong sri laksmi dewi namo namah swaha
Ah ang uh ih yah,
Antapreta bhuta kala dengen bhyo namah swaha

Banten yang dihaturkan ketika piodalan pada Palinggih Apit Lawang adalah Banten Ajuman dan Tegteg Daksina. Terkait dengan Ista Dewata yg berstana di Palinggih Apit Lawang menurut kepercayaan kami di Merajan Arya Belog, beliau yang malinggih adalah Bhatara Ganapati, raja dari segala Bhuta. Dari sini ketara sekali bahwa ada pengaruh Sekte Ganapatya terhadap Palinggih Apit Lawang. Penyebutan " Sri Laksmi" (Sakti Dewa Wisnu) mencirikan adanya pengaruh ajaran Sekte Waisnawa.

2.5.2 Palinggih Pangelurah
Palinggih Pangelurah terletak paling utara pada Sanggah Jajaran di pamerajan saya (Arya Belog). Bangunannya seperti tugu dengan rong satu yang terbuka. Pada bagian bawah terdapat patung singa di kiri dan kanan. Patung ini merupakan gambaran patulangan (replika binatang pada bade ketika upacara ngaben) trah Arya Belog.
Menurut Sudarsana (1998 : 69), Pangelurah berasal dari kata lurah yang artinya pembantu atau patih, mendapat awalan pa dan sisipan ng menjadi pangelurah artinya bertugas menjadi pembantunya para Dewa atau Dewata pada setiap pamerajan. Sang Hyang Widhi sebagai manifestasi Bhuta Dewa, setengah Dewa setengah Bhuta. Dalam mitologi Hindu, Bhuta Dewa termasuk ke dalam kelompok Gandharwa. Beliau memiliki fungsi sebagai penjaga para Dewa atau Dewata, disamping itu juga sebagai juru bicara atau katalisator antara dewa, dewata dengan manusia sebagai umatnya. Dengan kata lain beliau sebagai penyampai sembah bhakti umat, dan penyampai anugrah para dewa.
Pada pemaparan selanjutnya Sudarsana (1998 : 70), mengemukakan bahwa Palinggih ini juga sebagai stana dari Sang Hyang Catur Sanak, dengan fungsi sebagai keamanan secara niskala. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam Palinggih Pangelurah yaitu kain berwarna poleng. Banten yang dihaturkan ketika piodalan adalah Banten tegteg daksina, canang raka dan ajuman. Menurut Tim Penyusun (2003 : 9) adapun mantra yang dipergunakan untuk memuja di Palinggih Pangelurah adalah sebagai berikut :
Ong ang brahmana namah
Ung wisnu antaratmane namah
Mang iswara paramatmane namah
Ong sada rudra antyatmane namah
Sadasiwa niskalatmane namah
Paramasiwa sunyatmane namah
Pangerurah sedan ya namah swaha

Dari petikan mantra yang dilantunkan untuk pemujaan di Palinggih Pangelurah dapat penulis kaji bahwa pada Palinggih ini terdapat pengaruh Sekte Siwa Sidhanta. Karena adanya penyebutan Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) dan penyebutan Sadasiwa dan Paramasiwa yang merupakan ajaran yang terdapat pada sekte tersebut. Ditilik dari segi fungsi Palinggih ini berkaitan dengan Catur Sanak dari sini terindikasi bahwa adanya pengaruh dari Sekte Bhairawa.

2.5.3 Palinggih Gedong Dalem
Pada Pamerajan penulis letak Palinggih Gedong Dalem terletak setelah selatan Palinggih Pangelurah. Palinggih Gedong Dalem terkadang disebut pula  Palinggih Gedong Panyimpenan, dikarenakan fungsinya untuk menyimpan pustaka-pustaka suci, lontar, pratima yang terkait dengan pemerajan dan keturunan-keturunan Arya Belog.
Ketika akan melaksanakan melasti pada Pamerajan penulis maka pratima yang di simpan Palinggih Gedong Dalem akan di turunkan (tedunang) lalu kemudian di arak menuju laut, setelah datang dari laut maka pratima diletakan kembali di Palinggih ini. Banten yang di haturkan dalam piodalan Banten Ajuman, Canang Raka dan Tegteg Daksina.
Berdasarkan kegiatan melasti yang terkait dengan Palinggih Gedong Dalem, penulis berasumsi bahwa ada pengaruh ajaran pada fungsi Palinggih ini oleh Sekte Waisnawa. 

2.5.4 Palinggih Rong Dua
            Palinggih Rong Dua, sebuah bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud purusa dan pradana. Tempat ini berfungsi untuk memuja leluhur yang telah menurunkan trah/keturunan secara langsung, misalnya kakek, nenek, paman, bibi, buyut yang telah meninggal. Busana (Wastra) yang digunakan dalam Palinggih Rong Dua adalah kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian.
   Banten yang di haturkan di Palinggih Rong Dua pada saat piodalan adalah  Banten Soroan Tumpeng Pitu. Makna Banten Soroan Tumpeng Pitu adalah gabungan beberapa Banten yang jumlahnya tujuh tumpeng. Banten-Banten yang ada dalam Banten soroan tumpeng pitu antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan. Mantra yang dipergunakan untuk pemujaan adalah sebagai berikut:
Om nama dewa adisthanaya
Sarwa wyapi wai siwaya
Padmasana eka pratisthaya
Ardhanareswarya namo namah (Tim Penyusun, 2003 : 4)
Atau juga bisa mengunakan mantra seperti di bawah ini
om newata newati tilinggane,
 singo wana pani, byonama swaha,
 om dewa hyang-hyang puspa lingga byo namah swaha
Jika ditilik dari fungsi Rong Dua sebagaimana pemaparan di atas, hal ini mirip dengan sekte Pasupata, terutama Pasupata Dualis. Sebagaimana kita ketahui, sekte Pasupata Dualis lebih menonjolkan pemujaan terhadap lingga-lingga/pelinggih-pelinggih tuhan (Siwa) dalam wujud Pasu (Pusura) dan Pati (Pradana). 

2.5.5 Palinggih Rong Tiga
Palinggih Rong Tiga terkadang disebut juga Palinggih Kamulan. Kamulan berasal dari penggalan Ka + Mula + An. Mula artinya asal atau sumber awal, sehingga Kamulan artinya hal permulaan atau hal yang menjadi sumber awal yaitu Sang Hyang Tri Atma. Dalam paham Siwa Sidhanta khususnya khususnya Sekte Pasupata Dualis, dalam menciptakan dunia ini maka tuhan mewujudkan diri-Nya sebagai Purusa dan Pradana, dialah yang menjadi cikal bakal atau sumber awal dunia ini termasuk manusia di dalamnya.
Ada sedikit perbedaan antara fungsi Rong Tiga dengan Rong Dua, dimana Rong Tiga adalah tempat memuja roh leluhur yang telah mencapai kualitas  Dewata, telah disucikan dengan upacara Ngaben dan posisinya secara niskala beliau sudah setara dengan Bhatara Guru.. Sedangkan Rong Dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas Dewata, belum diaben (Suntaya, Jro Ketut. Wawancara Pribadi di Dusun Dangin Pura, Desa Depeha, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. 2 Desember 2012). Dilihat dari bentuk, Palinggih Rong Tiga adalah sebuah bangunan suci yang beruang tiga. Berdasarkan fungsinya, Palinggih ini memiliki berbagai dimensi fungsi secara sekala maupun niskala. Fungsi pertama adalah tempat memuja Sang Hyang Tri Atma. Fungsi kedua adalah untuk memuja Tri Murti (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa), hal ini menunjukkan bahwa dari fungsi ini begitu kental sekali unsur kristalisasi sekteisnya. Fungsi ketiga adalah tempat tempat memuja leluhur yang telah di sucikan. Fungsi keempat untuk memuja Bhatara Guru. Fungsi kelima adalah  sebagi tempat "nunas tirta" ketika mengadakan upacara yadnya tertentu, fungsi ini menunjukkan adanya pengaruh unsur Waisnawa yang begitu kental. Fungsi keenam adalah tempat "ngaturang piuning" pada saat upacara Manusia Yadnya dan Pitra Yadnya serta ketika keturunan (damuh/warih) akan bepergian jauh.
Busana (Wastra) yang digunakan dalam Palinggih Rong Tiga adalah kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan dalam piodalannya adalah Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka. Mantra yang digunakan dalam persembahyangan di Palinggih Rong Tiga adalah sebagai berikut:
Om Brahma Wisnu Iswaram dewam
Jiwatmanam Trilokana
Sarwa Jagat Pratisthanam
Suddha Klesa Winasanam 

2.5.6 Palinggih Gunung Agung
Dalam kepercayaan Hindu, gunung merupakan tempat yang suci karena merupakan tempat tinggal para dewa. Dalam pandangan lain, gunung merupakan Lingga, sementara laut atau danau adalah Yoni. Dalam pengertian ini, gunung dipandang sebagai aspek tuhan yang maskulinum (purusa) sedangkan laut adalah aspek tuhan yang feminim (pradana). Gunung juga merupakan hulu (luanan), dan sebagai patokan arah antara selatan dan utara. Dalam Puja Parikrama Samapta 82 dinyatakan seperti ini.
Giri putri dewa dewi
Loka nata jagat pati
Sakti mantrem mahawirya
Sarwa jagat prena myanam
Terjemahan :
            Manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai dewa gunung, beliau bisa bersifat dewa mapun dewi. Beliau adalah rajanya alam sorga. Beliau adalah sumber kebahagiaan lahir bathin dan sumber kehidupan jagat raya.              (Sudarsana, 1998 : 54 )
Palinggih Gunung Agung berfungsi sebagai tempat pangayatan ke Gunung Agung. Adanya bangunan Palinggih Gunung Agung ini untuk menyembah dewa yang berkuasa di Gunung Agung. Berdasarkan fungsinya Palinggih Gunung Agung juga berfungsi sebagai pengayatan Pedharman Arya Belog yang ada di kompleks Pura Besakih yang ada di kaki Gunung Agung. Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam Palinggih Gunung Agung yaitu kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang dihaturkan dalam piodalan di pamerajan adalah Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka.  
            Terkait dengan kristalisasi sekte-sekte, dengan mempertimbangkan pandangan bahwa gunung adalah lingga tuhan, maka penulis menyimpulkan bahwa ada pengaruh dari Sekte Pasupata pada Palinggih ini. Selain itu pandangan tentang purusa dan pradana adanya pengaruh sekte Siwa Siddhanta.

2.5.7 Palinggih Surya
Palinggih Surya merupakan Palinggih Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Palinggih Surya bersumber pada kitab- kitab Weda (Sruti dan Smrti) serta kitab-kitab yang memuat ajaran Siwa Sidhanta, secara khusus dimuat dalam Lontar Anda Bhuwana, Padma Bhuwana, dan Adi Parwa. Pada prinsipnya Palinggih Surya adalah pengejawantahan Bhuwana Agung (alam raya) sebagai stana Ida Sanghyang Widhi. Bhuwana Agung disimbolkan dengan Bedawang Nala (Kurma Agni) yang dililit oleh Naga yang menyangga lingga. Adi Parwa menceritakan pencarian Amerta dengan memutarkan Mandara Giri atau Gunung Mandara di dalam Ksirarnawa (lautan susu). Dalam pemutaran Mandara Giri tersebut Naga Anantabhoga mencabut gunung Mandara, Bedawang Nala menyangganya, Naga Basuki melilit, dan para Dewa dan raksasa memutarnya. Akhirnya Wisnu yang mengendarai Garuda menguasai Amerta tersebut.
Dalam Palinggih Padmasari atau Palinggih Surya menganut kepercayaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama. Sistem pemujaan Dewa matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan tenggelam yang merupakan ciri khas dari sekte Sora ini. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini terdapat pula di Bali. Sertiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajna.
Palinggih Surya adalah bentuk simbolis yang digunakan sebagai tempat untuk menghaturkan sesaji yang dipersembahkan kepada Bhatara Surya (Dewa Matahari). Sang Hyang Surya Raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khusunya ritual yadnya. Dalam hal ini di sinyalir adanya pengaruh sekte Sora (Surya) dalam pendirian Palinggih Surya. Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49).
Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam Palinggih Surya yaitu: kain berwarna putih. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten atau upakara yang dipersembahkan di Palinggih Surya adalah tegteg daksina dan runtutannya canang ketipat kelanan.
Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Siddhanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute

Terjemahan :
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.

2.5.8 Palinggih Gunung Lebah
Palinggih yang didirikan ini berfungsi sebagai tempat Pangayatan ke Gunung Batur. Adanya bangunan Palinggih Gunung Lebah ini untuk menyembah dewa yang berkuasa di Gunung Batur di karenakan daerah tmpat tinggal kita dekat dengan Gunung Batur dan selalu memohon perlindungan agar seimbang.  Busana yang digunakan atau Wastra yang digunakan dalam Palinggih Gunung Lebah atau Batur yaitu: kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang dihaturkan dalam piodalan adalah Banten Ajuman, Tegteg Daksina dan Canang Meraka.

2.5.9 Palinggih Gedong Meru
            Palinggih Gedong Meru merupakan sebuah palinggih yang memiliki tingkat-tingkat yang umumnya berjumlah ganjil seperti tiga, lima, tujuh, Sembilan, dan sebelas dan semakin ke atas semakin kecil. Jumlah tingkat yang ganjil ini menunjukkan kalepasan, sebab jumlah yang genap dipandang sebagai rwa bhineda artinya dapat menciptakan sesuatu yang baru (Suhardana, 2011: 91).
            Pada umumnya yang dipuja di meru adalah Bhatara-Bhatari yang yang disthanakan di sana. Semakin banyak tingkat meru biasanya menunjukkan semakin agung bhatara-bhatari yang distanakankan pada palinggih tersebut.  Tingkatan pada meru juga dapat disebabkan kapan Raja Bali yang menganugrahkan penghargaan kepada siapa yang menjadi patih. Sesuai dengan Babad Kaba-kaba, Arya Belog diberikan bhisama oleh Dalem Samprangan untuk mendirikan meru kurang dari sebelas tingkat. Pada Palinggih Gedong Meru yang terdapat di pamerajan penulis adalah meru bertingkat lima. Hal ini sangat sinkron dengan bhisama dalem, sebagaimana pula yang disampaikan oleh Soebandi (1981: 73),  bahwa palinggih pokok  ialah meru bertingkat lima sebagai parahyangan leluhur  Arya Belog.

2.5.10 Palinggih Gedong Sari
Bangunan suci ini bertumpang satu, hal ini merupakan simbul sawitarka bahwa manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana atau distanakan pada bangunan ini memiliki suatu fungsi profesi sesuai dengan kebutuhan kehidupan manusia di dunia. manifestasi Sang Hyang Widhi yang distanakan pada Palinggih Gedong Sari adalah Sang Hyang Sri Sedana yaitu Dewi kesejahteraan dunia (artha), memberikan jalan atau petunjuk kepada manusia melalui nalurinya untuk dapat mencapai dan menikmati kehidupan yang sejahtera. Sang hyang sri sedana memiliki beberapa fungsi profesi salah satunya ialah Sang Hyang Rambut Sedana. Dari prihal tersebut di atas sangat tampak sekali adanya pengaruh Sekte Waisnawa karena memuja Sang Hyang Sri Sedana  yang merupakan sakti dari Wisnu,
Sang Hyang Rambut Sedana adalah kemahakuasaan Sang Hyang Widhi dalam hal menebarkan kesejahteraan kesegala penjuru di alam semesta ini setelah diciptakan melalui yoganya Sang Hyang Sri Sedana Ngerem. Hal ini menjadi simbul adanya uang yang beredar di seluruh dunia, sebagai kekuatan ekonomi untuk menopang kehidupan manusia.  (Sudarsana, 1998 : 45-51)
Busana (Wastra) yang digunakan dalam Palinggih Gedong sari adalah kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian dan warna kuning simbol kebijaksanaan. Banten yang di haturkan dalam piodalan adalah Banten Soroan Tumpeng Solas. Makna Banten Soroan Tumpeng solas adalah gabungan beberapa Banten yang jumlahnya sebelas tumpeng. Banten-Banten yang ada dalam Banten soroan tumpeng solas antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.

2.5.11 Palinggih Menjangan Sakaluang
Sanggah Merajan dan Pura Paibon biasanya memiliki sebuah Palinggih yang dinamakan Menjangan Sakaluang. Yang di beberapa daerah tertentu disebut dengan Sanggah Lantang karena bentuknya yang panjang. Ciri utamanya adalah bahwa di Palinggih ini terdapat sebuah kepala menjangan. Berbagai pura lain pun ada juga yang memiliki Palinggih ini tetapi bentuknya sedikit berbeda, yaitu bentuknya tidak panjang dan bertiang tiga. Mungkin karena sakanya hanya tiga atau kurang satu dari yang lazim, maka Palinggih ini diberi nama Sakaluang. (Sudhardana, 2006 : 120-121). Busana (Wastra) yang digunakan dalam Palinggih Menjangan Sakaluang adalah kain berwarna putih kuning. Makna warna kain putih sebagai simbol kesucian. Banten yang di haturkan dalam piodalannya: Banten Tegteg Daksina, Canang Meraka dan Ajuman.
Palinggih Menjangan Sakaluang yang bentuknya panjang (lantang) terdiri dari tiga rong besar, dimana sebuah rong besar terbagi lagi dalam 6 rong kecil-kecil, sehingga secara keseluruhan menjadi rong 9. Bentuk seperti ini rupanya memang dimaksudkan untuk menunujukkan adanya 3 kelompok besar masyarakat, dimana salah satu diantaranya terdiri dari 6 Sub Sekte Agama. Riwayat singkatnya dapat disampaikan sebagai berikut. Ketika pada 1001 M Mpu Kuturan datang ke Bali, beliau melihat adanya 9 Sekte Agama, yang diperkirakan dapat memecah belah persatuan umat. Karena itu, maka beliau berusaha untuk mempersatukan 3 Kelompok Besar dengan 6 Sub Sekte Agama itu, dengan cara mengadakan pertemuan atau Pesamuhan Agung di desa Bedulu (Samuan Tiga).
Pasamuhan Agung termaksud dihadiri oleh seluruh unsur masyarakat Bali ketika itu, yaitu:
1)        Unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2)        Unsur masyarakat yang beragama Buddha Mahayana (Mpu Kuturan dan para pengikutnya).
3)        Unsur masyarakat bali aga yang mewakili 6 Sub Sekte Agama: Sambu, Brahma, Indra, Wisnu, Bayu, Kala. Tetapi menurut R. Goris (sekte-sekte di Bali) sekte-sekte itu ada 9, yaitu : Bhairawa, Buddha, Sogata, Brahmana, Ganapati, Rsi, Pasupati, Sora (Surya), Siwa Sidhanta dan Waisnawa.
Apapun nama-nama Sekte tersebut yang penting adanya kesepakatan bahwa ke 6 batang Sub/Sub Sekte termaksud telah mempersatukan dirinya kedalam satu paham yang dinamakan Tri Murthi, yaitu bahwa Tuhan itu hanya satu, namun mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai Pencipta (Brahma), Sebagai Pemelihara (Visnu), dan sebagai Pelebur (Siwa). Paham termaksud sekarang dikenal dengan nama Agama Hindu.
          Untuk menghormati Mpu Kuturan yang telah berjasa mempersatukan umat berbagai Sekte di Bali, maka didirikanlah Palinggih Menjangan Sakaluang sebagai manifestasi dari bersatunya umat yang tadinya terpecah belah, menjadi pengikut satu aliran baru  bernama Tri Murthi atau sebagai penganut Agama Hindu. Lebih lanjut bentuk Menjangan Sakaluang pun terlihat sebagai penggambaran atas ke 3 unsur masyarakat dan 6 Sub Sekte diatas:
1.    Dilihat dari depan, rong paling kanan, mewakili unsur masyarakat yang berasal dari Jawa dan beragama Siwa.
2.    Rong sebelah kirinya, dengan lambang kepala menjangan, mewakili golongan masyarakat pengikut Mpu Kuturan yang beragama Buddha Mahayana.
3.    Rong paling kiri masih dilihat dari depan yang terbagi lagi dalam 6 ruang-ruang kecil, mewakili 6 Sekte Agama dari unsur Bali Aga. Disamping mempersatukan 9 Sekte dan Sub Sekte Agama, maka Palinggih Menjangan Sakaluang dipandang sebagai suatu penyatuan pikiran, pandangan dan keinginan keluarga, jadi sebagai lambang persatuan dan kesatuan serta kerukunan rumah tangga dan keluarga. (Suhardana, 2006 : 121-123)
Berdasarkan pemaparan di atas, Palinggih Menjangan Sakaluang adalah Palinggih yang sangat apresiatif sekali menerima paham sekteis. Menurut hemat penulis pada Palinggih inilah semua sekte terlihat terintegrasi menjadi satu.
Mantra Palinggih Menjangan Sakaluang adalah sebagai berikut
Om empu gnijaya ya namah
Om empu semeru ya namah
Om empu kuturan ya namah
Om empu gana ya namah
Om resi markandya ya namah

2.5.12 Palinggih Taksu
Fungsi dari tempat suci ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan palinggih tersebut. Di sisi lain, palinggih ini juga difungsikan sebagai tempat "transit" Ida Bhatara ketika diadakan piodalan. Palinggih Taksu kadang-kadang disebut juga "Pecelang", yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali. (Mera, I Ketut. Wawancara Pribadi di Dusun Dangin Pura, Desa Depeha, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. 20 April 2012). Terkait dengan pengaruh sekte menurut analisis penulis, ada kemiripan fungsi Pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari Sekte Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim tuhan (Sakti/kekuatan). Menurut Dr. Goris dan Lontar Purana Bali Dwipa, tidak menyebutkan adanya Sekte Sakta di Bali, tapi berdasarkan fungsi Palinggih Taksu  penulis berasumsi bahwa ada benang merah terhadap fenomena ini, sehingga perlu diadakan penelitian ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui korelasi ini.

2.5.13 Palinggih Pangayatan Gunung
            Sesuai dengan nama yang disandang, Palinggih ini adalah berfungsi untuk mengayat dewata yang berstana di gunung. Fungsi palinggih ini hampir mirip dengan Palinggih Gunung Agung karena sama-sama memuja dewa yang berstana di gunung. Palinggih ini merupakan pasangan Palinggih Pangayatan Segara yang akan dibahas setelah Palinggih ini. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya pada Palinggih Gunung Agung, maka Palinggih Pangayatan Gunung  juga mendapat pengaruh dari Sekte Pasupata. Adapun mantra yang digunakan untuk pemujaan Palinggih Pangayatan Gunung adalah seperti di bawah ini.
Giri putri dewa dewi
Loka nata jagat pati
Sakti mantrem mahawirya
Sarwa jagat prena myanam
           
2.5.14 Palinggih Pangayatan Segara
            Palinggih ini merupakan palinggih yang saling berhadapan dengan Palinggih Pangayatan Gunung.  Palinggih merupakan simbolisasi feminim tuhan (yoni). Pada palinggih Pangayatan Gunung dan Pangayatan Segara sangat kental konsepsi purusa dan pradana-nya. Sehingga tak bisa dipungkiri pada palinggih ini ada pengaruh dari sekte Siwa Siddhanta. Lebih lanjut, terkait adanya pemujaan terhadap segara yang notabene adalah unsur air, maka pada Palinggih ini terkena pengaruh juga oleh Sekte Waisnawa. Mantra yang digunakan untuk pemujaan pada Palinggih Pangayatan Segara adalah sebagai berikut.
Om nagendra krura murtinam
Gajendra matsya waktranam
Baruna dewa masariram
Sarwa jagat suddhatmakam

2.5.15 Palinggih Bale Pelik Sari
Palinggih Bale Pelik Sari disebut juga Bale Pengaruman. Palinggih ini  merupakan stana bhatara dan bhatari ketika dipersembahkan banten saat piodalan atau ayaban jangkep. Banten yang digunakan untuk pemujaan adalah  Banten Ajuman, Canang Raka dan  Tegteg Daksina. Adapun Mantra yang digunakan saat pemujaan adalah sebagai berikut.
Ong ang pradana purusha sangyogaya
Wisnu dewayabhoktra jagatnatha
Dewa dewayadini sangyogaya parama swaha (Tim Penyusun, 2003 :11)
Mencermati mantra di atas, dapat penulis simpulkan, bahwa pada Palinggih Bale Pelik Sari terdapat pengaruh Sekte Siwa Siddhanta dan Waisnawa.

2.5.16 Palinggih Babaturan
Palinggih ini merupakan Palinggih yang khusus dimiliki oleh Pamerajan Arya Belog sebagai penghormatan terhadap Sira Arya Belog (Raja I Kaba-kaba), yang menurunkan trah Arya Belog di seluruh Bali. Palinggih ini terletak di sebelah kanan Palinggih Bale Pelik Sari.

2.5.17 Palinggih Bale Piasan
Bentuk bangunan ini segi panjang dengan menggunakan tiang empat buah, ada juga menggunakan enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Bale Piasan berasal dari kata pehiasan yang artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina Palinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana di bale piasan adalah “Sang Hyang Wenang”. Dari kata Wenang yang artinya segala  Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan. Bangunan ini tidak mesti dibuat tergantung dari pada luas pekarangan pamerajan. (Sudarsana, 1998 : 66)
Pada Palinggih ini biasa juga digunakan untuk  nganteb maupun ngeweda yang dilakukan oleh pemangku atau sulinggih. Melalui fungsi ini sekiranya ada pengaruh Sekte Brahmana pada Palinggih Bale Piasan. Banten yang di haturkan di Bale Piasan dalam piodalan adalah  Banten Soroan Tumpeng Solas. Makna Banten Soroan Tumpeng solas adalah gabungan beberapa Banten yang jumlahnya sebelas tumpeng. Banten-Banten yang ada dalam Banten soroan tumpeng solas antara lain: sesayut, tipat blayad, Ceper tulung, peras penyeneng, ajengan, tulung pengambean tumpeng 2, tulung pengambean tumpeng cerik 3, dapetang, ajuman, pajegan, pasucian, ulamne bayuh, kawisan, japitan.
Om nama dewa adistanaya
sarwa wiapy waisi waya
padma sana eka pratistaya
ardanasres swarya ya namah (Tim Penyusun, 2003 : 6)

III Penutup

Sebagaimana sebuah warna bagi pelangi, seperti itu pula ajaran sekte-sekte yang terintegerasi  dalam  Hindu. Pelangi tidak akan indah bila hanya satu warna, apalagi bila masing-masing warna mengakui dirinya paling indah. Pelangi itu indah bila warna itu terpadu secara apik. Sejarah telah membuktikan bahwa, ego sektoral (ego sekteis) hanya akan mengantarkan peradaban ke ambang perpecahan.  Memanglah tidak mungkin bila kita ingin memisahkan ajaran-ajaran sekte tersebut di atas secara terpisah dan partial, mengigat ajarannya telah mengkristal dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah mencari tahu dari sekte mana sebuah kearifan ajaran itu berasal yang kemudian berkristal dan memberikan warna indah bagi "pelangi" Hindu.  Seperti itulah, sekiranya ajaran sekte-sekte dalam  Siwa Siddhanta juga menjiwai Palinggih Pamerajan. Masing-masing Palinggih sudah barang tentu memiliki Ista Dewata, Mantra, Wastra, Upakara-nya tersendiri yang semua itu merupakan sentuhan dari sekte-sekte tertentu yang kemudian mengkristal indah sebagaimana kita temukan sekarang. 
           
Daftar Pustaka
Ghindwani. Hira D. 2005. Hindu Agama Universal. Jakarta: Media Hindu.

Putra. 2005. Cudamani. Denpasar: Kanwil Dep. Agama Propinsi Bali.
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja: Tanpa Penerbit.                        
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar :  Bali Post.
Sandika, I Ketut. 2011. Pratima Bukan Berhala, Pemujaan Tuhan Melalui Simbol-simbol Suci Hindu. Surabaya: Paramita.

Soebandi, Ketut. 1981. Pura Kawitan/Padharman dan Panyungsungan Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung
Suhardana, K.M. 2006. Dasr-dasar kepemangkuan. Surabaya : Paramita.
Sudarsana, I.B Putu,  1998. Manifestasi Sang Hyang Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandra Sastra.

Tim Penyusun. 2003. Ista Dewata Pamerajan dalam Pelatihan Kepemangkuan Mahagotra Arya Tegeh Kori Kabupaten Buleleng (Makalah)

Wikarman, I Nyoman Singgin. 2010. Ngodalin Sanggah Pamrajan. Denpasar: Yayasan Wikarman.

2 komentar:

  1. Om Swastyastu
    Boleh minta kontak pembuat tulisan ini? Karena ad yg perlu saya tanyakan terkait Kawitan Arya Belog untuk kepentingan skripsi
    Terima kasih

    BalasHapus
  2. Om swastyastu,tyang metaken dipejaten Tabanan ada pemrajan agung kawitan Arya belog apakah ini turunan keladian apa Aseman atau nyambu,sementara dikaba kaba ada kawitan keladian.trimks

    BalasHapus