Taburan Hati

SCM Music

Kamis, 23 Januari 2014

Tradisi Nampah Batu di Desa Depeha



Tradisi Nampah Batu di Desa Depeha
Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng
(Kajian Sloka Weda)
Oleh : I Putu Ngurah Restiada

1. Pendahuluan
Umat Hindu dalam kehidupannya memegang konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Widh Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan dengan alam lingkungan. Ketiga hubungan yang harmonis tersebut di dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah Tri Hita Karana, yaitu tiga faktor yang menyebabkan kesejahteraan bersumber pada keharmonisan (Wiana, 2000 : 77).
Bagi masyarakat Hindu di Bali dalam mengadakan upacara keagamaan tentunya membutuhkan alat, sarana atau media untuk mengadakan hubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta segala manifestasinya, roh leluhur dan juga terhadap para Bhuta. Dalam hal ini upacara agama merupakan proses konsolidasi hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya agar dalam kehidupannya manusia selalu mendapatkan keselamatan dan senantiasa dapat terhindar dari segala mara bahaya yang datang atau timbul dari alam.
Untuk mewujudkan hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan, maka umat Hindu selalu sujud bhakti kehadapan beliau melalui berbagai prosesi upacara keagamaan. Sementara agar tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat, umat Hindu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam wadah yang terkecil yang disebut banjar. Serta dalam hubungan dengan alam lingkungan, umat Hindu melaksanakan berbagai upaya pelestarian terhadap alam lingkungan dengan cara yang baik agar dapat mendatangkan hasil yang baik untuk generasi berikutnya.
 Sebutan  pulau Dewata untuk Bali menyiratkan makna kesucian. Dapat dilihat dari berbagai prosesi upacara keagamaan di Bali yang pada hakekatnya bertujuan untuk mendatangkan kesucian.Kesucian merupakan warisan dari leluhur yang sangat patut dijaga dan dilestarikan guna terciptanya keharmonisan pada berbagai elemen dalam masyarakat.
            Umat Hindu di Bali kini muncul kesadaraan yang tinggi dalam hidup beragama dan meningkatkan pula upaya untuk mendalami ajaran agama Hindu yang diyakininya. Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yakni : Tattwa (filsafat), Susila (etika), dan Upacara (Tradisi), yang mampu memberikan kekhasan bagi masyarakat Bali. Tidak jarang pula orang beranggapan bahwa kebudayaan Bali tidak lain adalah agama Hindu dengan berbagai upacaranya. Keseluruhan dari upacara tersebut tercakup dalam Panca Yadnya yang meliputi : Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
            Dewa Yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat lindungan-Nya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud Rsi Yadnya adalah korban suci tulus ikhlas yang bertujuan menyucikan manusia secara lahir bhatin untuk menjadi sulinggih. Pitra Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas ditujukan kepada para leluhur agar beliau melindungi segenap keturunannya demi keselamatan bersama. Manusa Yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bhatin manusia mulai dari terbentuknya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Bhuta Yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada para Bhuta Kala (makhluk halus), tujuan dari upacara ini adalah untuk membersihkan alam semesta beserta isinya dari gangguan serta pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh para Bhuta Kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia dan melalui upacara ini diharapkan makhluk tersebut akan bersifat baik sehingga tidak akan mengganggu alam beserta segala isinya.
            Beranjak dari pemaparan mengenai yadnya di atas, di salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Kubutambahan yaitu Desa Depeha terdapatlah pelaksaanan yadnya yang sangat unik. yadnya yang unik dimaksud adalah Tradisi Nampah Batu. Dimana tradisi nampah batu ini dilakukan pada saat odalan di Pura Puseh tepatnya setiap 1 tahun sekali, dengan membayangkan sebuah batu sebagai binatang hasil tangkapan berburu yang mau disemblih. Ketika menyembelih batu pun orang yang menyemblih mengibaratkan sedang menyembelih binatang hasil buruannya lengkap dengan bunyi binatang yang sedang dipotong, disisi lain kaum perempuan menyiapkan bahan-bahan layaknya mau memasak hasil buruan itu dari suaminya. Uniknya lagi yang menjadi pelaku tradisi nampah batu ini adalah masyarakat yang baru menikah (pengantin baru) di tahun itu dengan maksud sebagai ajang peresmian masuk sebagai krama baru di desa tersebut.

2. Pembahasan
2.1 Pengertian Tradisi Nampah Batu
Tradisi merupakan suatu kebiasaan atau adat istiadat yang dimiliki oleh suatu daerah yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, dan wajib untuk dilaksanakan seperti ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan prilaku dan lain sebagainya, dalam kurun waktu yang panjang. Kata nampah berasal dari bahasa Bali yang  kata dasarnya adalah tampah yang berati memotong/menyemblih (Tim Penyusun, 706 : 2008). Sedangkan kata batu sama artinya dalam bahasa Indonesia yaitu sebuah benda.  Jadi secara gramatikal, adapun kesimpulan mengenai pengertian Tradisi Nampah Batu adalah suatu adat atau kebiasaan “menyembelih batu” yang dilaksanakan oleh warga desa depeha yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya yang merupakan rangakaian dari upacara piodalan di Pura Puseh Desa Depeha.

2.2 Latar Belakang Tradisi Nampah Batu
Pelaksanaan Upacara Nampah Batu mempunyai latar belakang etnografi yang berkaitan dengan cerita yang bersifat supernatural yang menceriterakan hubungan antara Dewi Danu yang berstana di Pura Ulun Danu Batur Kintamani dengan Ratu Ayu Manik Galih yang dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan, distanakan di Pura Puseh Desa Depeha.
Menurut ceritera yang berkembang di kalangan masyarakat Desa Depeha karena rasa sayang Dewi Danu terhadap masyarakat Depeha muncul ide Dewi Danu untuk memberikan sebuah mata air kepada masyarakat Depeha agar di wilayah Desa Depeha mempunyai sawah untuk menunjang kehidupan masyarakat. Secara geografis wilayah Desa Depeha merupakan daerah dataran tinggi sehingga sulit untuk mengembangkan pertanian basah seperti padi. Tanaman yang cocok dikembangkan adalah berbagai jenis tanaman buah-buahan dan pala wija. Untuk mewujudkan keinginan Dewi Danu maka diutuskan seorang utusan untuk pergi ke Desa Depeha membawa sibuh yang berisi air yang selanjutkan akan dituangkan di salah satu tempat di Desa Depeha sebagai sumber air. Utusan Dewi Danu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi sehingga muncul ide untuk mengubah wujud (nyurti rupa) menjadi seekor babi.
 Hal ini dilakukan agar perjalanan yang cukup jauh dari Desa Batur ke Desa Depeha bisa dilakukan dengan cepat, apalagi kondisi wilayah sepanjang Batur menuju Depeha merupakan kawasan hutan lebat dengan semak belukar yang menyulitkan perjalanan manusia. Setelah utusan sampai di Desa Depeha, babi tersebut langsung menghadap Ratu Ayu Manik Galih yang berstana di Pura Puseh dan menyerahkan sibuh berisi air tersebut kepada-Nya. Setelah sibuh diterima dan diamati, ternyata di dalam sibuh yang berisi air tersebut terdapat lintah (pacet). Ratu Ayu Manik Galih sangat terkejut melihat binatang tersebut dan memerintahkan kepada babi utusan itu untuk membuang sibuh beserta airnya di wilayah pantai. Dengan rasa kecewa dan sedih babi utusan tersebut menuruti permintaan Ratu Ayu Manik Galih dan pergi dari Desa Depeha menuju arah utara dan sampai di suatu tempat dekat pantai (Desa Sanih). Di daerah dekat pantai itulah sibuh berisi air itu dibuang dan secara tiba-tiba di tempat sibuh dibuang muncul sumber air yang sangat jernih (Yeh Mumbul). Sumber air yang masih dapat disaksikan sampai saat ini dikenal dengan nama Air Sanih.
Maksud baik dari utusan Dewi Danu ternyata mendapat perlakuan yang tidak pantas dan merasa kecewa karena telah diperlakukan tidak adil. Karena kesal, babi utusan itu mengeluarkan kutukan (memastu), agar suatu saat nanti apabila dilaksanakan upacara yang dihaturkan kepada Ratu Ayu Manik Galih supaya babi yang dipergunakan untuk sarana upacara berubah menjadi batu. Disamping itu ditegaskan pula apabila masyarakat Desa Depeha melaksanakan suatu upacara dan melaksanakan upacara melasti agar nunas tirta ke Air Sanih (Yeh Mumbul).
Diceriterakan pada suatu hari masyarakat Desa Depeha sedang mempersiapkan rangkaian upacara di Pura Puseh. Rangkaian upacara di Pura Puseh diawali dengan upacara menghaturkan pujawali kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Ratu Ayu Manik Galih merupakan sakti Dewa Wisnu dalam manifestasinya sebagai pemelihara dunia beserta isinya. Menurut kepercayaan masyarakat setempat Ratu Ayu Manik Galih merupakan lambang kesuburan. Pujawali yang dihaturkan ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih dilaksanakan pada hari Purwani Purnama Karo, sehari menjelang hari Purnama Sasih Karo yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah Nyumun Sari. Sebelum pelaksanaan upacara, masyarakat sudah mempersiapkan berbagai sarana upacara yang dipimpin oleh Kelian Desa Pekraman Depeha, salah satunya adalah seekor babi yang akan digunakan untuk perlengkapan sarana upakara. Daging babi biasanya diolah untuk berbagai olahan (masakan), seperti untuk sate, lawar. Pada waktu babi akan disembelih oleh sekelompok masyarakat, babi tersebut lepas dan lari menuju lembah dekat Pura Puseh yang dikenal dengan nama Yeh Kedis (Yeh Kedas). Beberapa orang lari mengejar babi yang lepas. Setelah sampai di lembah Yeh Kedis, salah seorang berkata ...nah ne ya celenge (ini babinya) sambil menunjuk kepada salah satu batu yang menyerupai babi yang ada di tempat tersebut.
Setelah diamati secara seksama oleh kelompok masyarakat yang mencari babi yang lepas, ternyata yang dikatakan babi oleh salah seorang adalah sebuah batu hitam yang cukup besar. Akhirnya, masyarakat yang mengejar babi yang lepas memutuskan untuk membagi diri menjadi dua kelompok yaitu satu kelompok ditugaskan untuk mencari babi ke arah barat, satu kelompok lagi mencari babi ke arah timur. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, usaha mencari babi yang lepas denganmenelusuri berbagai tempat di sekitar Desa Depeha melahirkan nama-nama lokasi sekitar Desa Depeha yang masih digunakan sampai saat ini seperti, nama Munduk Ngandang, Ancut, Campuhan, Yeh Alang, Ceregah, Batu Lumbang, Celuk, Bukit Tumpeng, Grombong, Gerembiang, Sanglung, Tumpuk, Taman Sari, Seganti, Peninjauan, Puma, Grembeng, Meringan, Bingin, Yeh Lesung, Tampul, Munduk Tegeh, Prahyangan (Payangan), Batungadeg, Madya, Sianga, Pegubugan (Pengubugan), Yeh Pande dan Soca. Nama-nama tersebut diyakini oleh masyarakat Depeha diberikan oleh kelompok masyarakat yang mencari babi yang hilang. Walaupun sudah mencari ke berbagai tempat sampai sore menjelang malam, babi belum juga ditemukan. Setelah menerima pawisik (bisikan dari alam gaib) yang menyatakan bahwa babi yang dicari ada di sekitar lembah Yeh Kedis berupa batu, masyarakat Desa Depeha yang mempersiapkan upacara sepakat untuk mengganti babi yang hilang dengan batu (bawi duwe) yang ada di Yeh Kedis. Selanjutnya masyarakat secara beramai-ramai menggotong batu dari lembah Yeh Kedis seperti menggotong babi, dibawa ke areal Jaba Tengah Pura Puseh untuk dipotong secara bersama-sama sebagai perlengkapan sarana upakara yang akan dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Dari sinilah muncul istilah Nampah Batu karena realitasnya yang dipotong oleh masyarakat adalah batu sebagai simbol dari Bawi Duwe yang keberadaannya diyakini oleh masyarakat berada di sekitar lembah Yeh Kedis. Sebagai ganti daging babi, digunakan segala jenis kacang-kacangan dan sayur mayur yang merupakan hasil bumi masyarakat Desa Depeha yang dikenal dengan nama Lelampadan. Lelampadan inilah yang diolah tanpa menggunakan minyak untuk selanjutnya dipersembahkan ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan.

2.3 Tahapan Pelaksananaan Tradisi Nampah Batu
Upacara Nampah Batu merupakan suatu tradisi yang sangat unik yang dilakukan oleh masyarakat Desa Depeha yang dilaksanakan pada hari Purwani (sehari sebelum) Purnama Sasih Karo sebagai bentuk saradha bakti masyarakat yang dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Upacara Nampah Batu (Nampah Bawi Duwe) dilaksanakan di Pura Puseh Desa Depeha. Pemilihan tempat ini didasarkan atas keyakinan masyarakat Desa Pakraman Depeha bahwa lokasi pura Pura Puseh dan daerah sekitarnya mempunyai kekuatan gaib dan disakralkan oleh warga masyarakat setempat.
Tata cara pelaksanaan upacara telah mempunyai pakem yang tetap sebagai warisan leluhur yang tidak berani dilanggar oleh seluruh warga setempat karena telah diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman bagi masyarakat Desa Depaha dalam melaksakanan kehidupan. Adapun urutan tata cara pelaksanaan upacara nampah batu yang masih tetap berlangsung di Desa Pekaraman Depeha adalah sebagai berikut: upacara Mapiuning (Matur Piuning) di Pura Bale Agung (Pura Desa), Upacara Matur Piuning di Pura Puseh, Upacara Numbas Bawi yang berlangsung di Pura Yeh Kedis, upacara Nampah Bawi Duwe dilaksanakan di Jaba Tengah (halaman bagian tengah) Pura Puseh, dan upacara persembahyangan dan makan bersama dilaksanakan di Utamaning Mandala (bagian dalam pura).
Prosesi Upacara Nampah Batu diawali dengan Upacara Matur Piuning di Pura Desa/Bale Agung yang dilaksanakan pada pagi hari oleh seluruh Desa Anyar (warga yang baru melangsungkan pernikahan). Secara sekala warga yang baru menikah dicatat dalam buku registrasi (pipil) Desa Pakraman oleh Penyarikan Desa, secara niskala warga Matur Piuning kehadapan Ratu Gede Penyarikan yang distanakan di Pura Desa setempat. Pada saat upacara di Pura Desa, warga baru (Desa Anyar) membawa sarana upacara berupa ayam putih, canang sari dengan perlengkapan beras dan uang (beras jinah). Sarana dalam upacara Dewa saksi di Pura Desa sebagai bentuk nyata dari ketulusan dan kesucian warga baru dan menyatakan telah siap secara lahir dan batin melaksanakan kewajiban (ngaturang ayah) sebagai warga baru. Dalam upacara tersebut warga baru biasanya memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi agar dilimpahkan rahmat dan memperoleh bimbingan dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga dan berhasil dalam membina rumah tangga. Urutan pendaftaran yang dilakukan pada pagi hari itulah yang akan menentukan posisi seorang dalam sistem pemerintahan Desa Pakraman Depeha yang dikenal dengan nama Tulud Apuh. Daftar catatan yang telah dibuat oleh Penyarikan Desa Pakraman yang dalam hal ini adalah Kelian Adat Desa Pakaraman Depeha, selanjutnya akan diserahkan kepada Jero Pasek. Jero Pasek menyimpan catatan tersebut dan pada suatu saat apabila ada pergantian dalam keanggotaan Desa Kalih Likur (kelompok 22 orang) dalam sistem Tulud Apuh yang dikenal dengan sebutan Dulu Desa (pemimpin desa), maka yang berhak menggantikan adalah yang menempati urutan pertama pada saat pendaftaran tersebut.
Dalam menyambut upacara Nampah Batu sebagai rangkaian pujawali di Pura Puseh seluruh anggota masyarakat Desa Depeha menghaturkan Hasil Tahun (hasil bumi) berupa pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (buah-buahan), dan pala gantung (pala wija). Di samping itu krama desa juga wajib menghaturkan segala jenis sayuran yang dihasilkan di kebun milik warga yang dikenal dengan sebutan Lelampadan. Lelampadan inilah yang akan digunakan sebagai pengganti daging babi untuk diolah menjadi bahan upacara. Dalam mengolah makanan yang dibuat dari berbagaai jenis sayuran dan berbagai jenis bumbu tidak boleh menggunakan minyak, artinya semua jenis makanan harus direbus. Krama Desa Anyar juga menghaturkan perlengkapan upacara berupa jerimpen dan sesari sebagai ungkapan rasa puji syukur kehadapan Ratu Ayu Manik Galih.
Seluruh rangkaian upacara Nampah Batu (babi duwe) dilaksanakan oleh Krama Desa Anyar dipimpin oleh Dulu Desa. Pada sore harinya seluruh Desa Anyar berkumpul di halaman paling luar Pura Puseh, setelah disucikan oleh Dulu Desa.  Desa anyar laki-laki diberikan secarik kain putih untuk diikatkan di kepalanya yang melambangkan kesucian, sedangkan Desa Anyar yang perempuan diberikan ikat kepala berwarna kuning lambang kesuburan. Kain putih yang digunakan biasanya diambil dari kain putih yang digunakan untuk menghias palinggih Ratu Ayu Manik Galih sebagai simbul telah memperoleh anugrah-Nya. Apabila warga yang mengikuti prosesi upacara ini jumlahnya banyak maka kain putih yang digunakan bisa dibawa dari rumah. Setelah semua warga Desa Anyar berada di Pura Puseh maka dilakukan upacara Matur Piuning di Pura Puseh agar memperoleh keselamatan dalam melaksanakan prosesi upacara Nampah Batu, dan warga desa anyar selalu mendapat berkah dari Dewa Wisnu dan Ratu Ayu Manik Galih yang berstana di Pura Puseh. Selanjutnya seluruh warga desa anyar laki-laki pergi menuju lembah Yeh Kedis untuk melaksanakan upacara Numbas Babi Duwe. Di kawasan lembah Yeh Kedis terdapat banyak batu yang menyerupai babi sehingga masyarakat setempat menyebut batu tersebut dengan istilah Babi Duwe.
Di lembah Yeh Kedis warga desa anyar melaksanakan persembahyangan bersama menghaturkan jerimpen, canang dengan buah-buahan semampunya dipimpin oleh Dulu Desa memuja Bhatara Rare Angon. Setelah rangkaian persembahyangan selesai dilaksanakan barulah diadakan tawar menawar Babi Duwe, dalam hal ini Dulu Desa sebagai penjual sedangkan warga desa anyar sebagai pembeli. Setelah harga disepakati oleh kedua belah pihak Babi Duwe yang akan dipotong diperciki air suci oleh salah seorang Dulu Desa dan akhirnya seluruh warga secara beramai-ramai berusaha menangkap Babi Duwe sehingga sulit untuk mengambilnya. Setelah ditunjuk beberapa orang oleh Dulu Desa barulah batu (babi duwe) tersebut dapat diangkat untuk selanjutnya digotong menuju halaman tengah Pura Puseh.
Dalam proses menuju Pura Puseh inilah semua warga desa anyar mengeluarkan suara guwek...., guwek...., guwek..., seperti suara babi. Dengan semangat dan rasa suka cita semua anggota krama desa anyar beramai-ramai mengikuti anggota yang bertujuan menggotong babi duwe untuk selanjutnya dibawa ke halaman tengah (jaba tengah/madyaning mandala) Pura Puseh. Anggota warga desa anyar harus melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan sehingga upacara menangkap Babi Duwe berlangsung dengan lancar.
Menurut penuturan salah seorang warga Desa Depeha yang pernah mengikuti prosesi upacara nampah batu, pernah terjadi kejadian yang sangat aneh pada saat warga desa anyar mengambil batu (babi duwe) di lembah Yeh Kedis. Rupanya ada sebagian warga desa anyar yang ikut dalam proses acara tersebut tidak memperhatikan peraturan yang telah digariskan oleh para leluhur dan tidak didasari oleh keyakinan, ketulusan dan ketetapan hati, maka semua krama desa anyar kesurupan dan bertingkah laku seperti babi. Semua krama desa anyar mengeluarkan suara guwek.... guwek... tanpa henti dan saling seruduk seperti babi kesetanan tanpa dapat dihentikan. Menyadari keadaan tersebut maka penghulu desa menghaturkan Guru Piduka (mohon maaf) atas kekeliruan warga desa anyar dan memercikkan tirta kepada semua warga anyar yang kesurupan. Akhirnya semua anggota warga desa anyar yang kesurupan sadar dan dapat melanjutkan proses upacara Nampah Batu.
Setelah batu (Babi Duwe) diletakkan di halaman Jaba Tengah Pura Puseh proses selanjutnya adalah Nampah Babi Duwe. salah seorang warga desa anyar yang bertugas sebagai jagal (tukang potong). Sebelum pemotongan babi duwe dilakukan salah seorang anggota memberi tanda putih silang (tampak dara) pada leher babi duwe menggunakan kapur sirih. Dalam acara motong babi (nampah batu) warga desa anyar diberikan tugas memegang kakinya, ada yang memegang kepalanya, sama seperti memetong babi biasa. Sebelum babi duwe tersebut dipotong warga yang bertugas memotong mengucapkan kalimat yang berbunyi .. .kalingania wwang muah sahanannia tan sidakaprajaya, watu ika sidha paprajaya, artinya: jangankan manusia dan yang sejenisnya tidak bisa dibunuh, batu sekalipun bisa dibunuh. Selanjutnya warga desa anyar mengganti daging babi duwe dengan sayur-sayuran seperti kacang panjang, bayam, kangkung dan daun-daunan yang lain (lelampadan) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sayur-sayuran tersebut dicampur dengan bumbu dan kepala yang telah dibakar dan diparut. Semua bahan-bahan tersebut dicampur tanpa menggunakan minyak dijadikan lawar. Dalam proses pembuatan lawar sama sekali tidak boleh digoreng, artinya bahan-bahan yang digunakan hendaknya direbus.
Setelah warga desa anyar selesai mengerjakan olahan dari lelampadan, krama desa anyar yang perempuan melanjutkan menata sesajen yang akan dihaturkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih berupa sesajen yang disebut dengan “bhakti pengenem”, dan 'bakti cacar samah ’ jumlahnya 22 sesuai dengan jumlah Desa Linggih. Setelah semua perlengkapan upacara selesai dikerjakan acara dilanjutkan dengan upacara puncak menghaturkan persembahan kepada Ratu Ayu Manik Galih dipimpin oleh Jero Pasek dan Jero Kubayan didampingi oleh anggota Desa Kalih Likur yang lain. Setelah upacara pujawali selesai dilanjutkan dengan acara makan bersama (megibung). Sebagian dari lawar lelampadan dibagikan kepada seluruh warga desa anyar sebagai simbol telah mendapat berkah/anugrah dari Ratu Ayu Manik Galih. Bagian yang diterima oleh masing-masing warga desa anyar sebagian dimakan, sebagian lagi dibawa pulang untuk ditebar di seluruh pekarangan dan kebun milik warga disertai dengan tirta yang diterima di Pura Puseh. Penebaran lelampadan dan tirta (air suci) ini sebagai simbol bahwa warga desa anyar telah menerima sarin bumi dan mengharapkan agar hasil bumi mereka di masa yang akan datang memperoleh hasil yang lebih baik.

2.4 Tujuan Tradisi Nampah Batu
2.4.1 Untuk Memohon Kasukertaan Desa
Dalam kehidupan bermasyarakat, ada tiga hal pokok yang harus diatur agar tujuan hidup bermasyarakat dapat diwujudkan, yakni: 1) Sukerta Tata Agama artinya menata tertib hidup beragama; 2) Sukerta Tata Pawongan maksudnya menata hubungan saling mengabdi, baik dalam keadaan suka maupun duka sesama warga krama desa; 3) Sukerta Tata Palemahan maksudnya menata tata guna wilayah desa agar aktivitas yang berhubungan dengan pemujaan kepada Tuhan, mengabdi sesama manusia dan alam lingkungan terakomodasi secara seimbang (Wiana dalam Darma, 2004 : 265). Adanya keseimbangan ketiga unsur di atas menjadi sebab (karana) untuk mencapai kebahagiaan hidup (hita) yang menjadi tujuan hidup manusia di dunia. Tri Hita Karana artinya tiga penyebab timbulnya kebahagiaan. Sebagaimanana pemaparan di atas, adapun yang diharapkan dengan pelaksanaan Tradisi Nampah Batu terciptalah kasukertaan desa termasuk juga segala sesuatu yang tercakup di dalamnya.

2.4.2 Sebagai  Upacara Pengukuhan Warga Desa Baru
Tradisi Nampah Batu merupakan upacara pengukuhan berdasarkan awig-awig Desa Pakaraman Depeha, bagi warga desa baru (desa anyar) yang sudah melangsungkan upacara pernikahan di klan/dadia mereka masing-masing, untuk diakui status (kedudukannya) secara tradisional sebagai warga desa di Desa Pakraman Depeha. Tradisi ini disimbolkan dengan menyemblih (nampah) sebuah batu yang dianggap memiliki nilai magis (kramat) bagi warga desa di sana, sebagai simboi seekor babi sebagai bahan (artefak) upacara (upakara) yang akan dipersembahkan ke pada dewa yang bergelar "Ratu Ayu Manik Galih" yang beristana di Pura Puseh Desa Depeha.

2. 5 Sloka yang relevan dengan Tradisi Nampah Batu
Dalam berbagai susastra Hindu disebutkan tentang hakekat seseorang dalam pengaktualisasikan dan pengaplikasian Yadnya. Tradisi Nampah Batu juga merupakan pengejawantahan Yadnya. Kitab Bhagawad Gita Bab IX. 26 menyuratkan sebagai berikut.
Pattram puspam phalam to yam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah

Terjemahan :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima. (Prabhupada, 2006 : 483)
           
Sloka tersebut memberikan penegasan bahwa setiap apa yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan), hendaknya disertai dengan ketulusan hati. Dalam Tradisi Nampah Batu Desa Anyar hendaknya dijalankan dengan tulus hati dan bersungguh-sungguh. Seperti pemaparan sebelumnya di atas, bahwa pernah terjadi fenomena trans (kerauhan) ketika seorang warga desa anyar yang main-main (mecanda) melakukan ritul ini. Selain itu, terkait dengan sloka ini yang hubungan dengan sarana yadnya dalam ritual Nampah Batu juga dipersembahkan berbagai hasil bumi, Lelampadan dan Sesajen sebagai rasa syukur terhadap anugrah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi
Berkaitan dengan tujuan dari pelaksanaan Tradisi Nampah Batu salah satunya adalah terciptanya kasukertaan desa. Dapat penulis sampaikan bahwa landasan filosofis dari pelaksanaan tradisi nampah batu berkaitan dengan sloka  Bhagawad Gita Bab III. 10 sebagai berikut.
Saha yajnah prajah srstva
Purovaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam
Esa vo’stv ista kamadhuk


Terjemahan :
Pada awal penciptaan, penguasa semua makhluk mengirim generasi-generasi manusia dan dewa, beserta korban-korban suci untuk wisnu. Dan memberkahi mereka dengan bersabda : berbahagialah engkau dengan yadnya ini sebab pelaksanaannya akan menganugrahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup sejahtera, bahagia dan pembebasan. (Prabhupada, 2006 : 170-171)

Sloka ini amatlah jelas menyampaikan bahwa buah dari yadnya (Nampah Batu) akan berdampak positif bagi kesejahteraan umat manusia. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan yadnya khusunya Tradis Nampah Batu, diharapkan nantinya dapat membawa angin segar bagi kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh warga desa baik warga desa anyar maupun warga lainnya.
Selanjutnya, jika ditilik dari tujuan Tradisi Nampah Batu sebagai pengukuhan penganten baru menjadi warga desa baru (desa anyar) di Desa Depeha. Maka, adapun sloka yang relevan adalah sloka Rgveda X. 85.36 sebagai berikut.
Grbhnami te saubhagatvaya hastam,
Maya patya jaradastir yathasah,
Bhago aryama savita puramdhir,
Mahyam tvadurgarhapatyaya devah.
Terjemahan :
Dalam sebuah pernikahan kalian disatukan demi sebuah kebahagiaan dengan janji hati untuk saling membahagiakan. Bersamaku engkau akan hidup selamanya karena Tuhan pasti akan memberikan karunia sebagai pelindung dan saksi dalam pernikahan ini. Untuk itulah kalian dipersatukan dalam satu keluarga.
Pengesahan suatu perkawinan minimal harus ada Upa Saksi yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Bhuta Saksi.  Upacara Nampah Batu dapat memberikan jalan pengesahan bagi penganten baru di Desa Depeha. Hal ini terkait dengan Dewa Saksi, dimana pasangan penganten baru di saksikan ngayah secara skala oleh Ratu Ayu Manik Galih yang berstana di Pura Puseh sembari berharap diberkahi kebahagiaan dan kesejahteraan. Kemudian berkaitan dengan Manusa Saksi, Desa Anyar mulai saat itu dicatat dalam sistem Tulud Apuh oleh Penyarikan Desa dan hal yang paling semarak adalah disaksikan langsung oleh warga desa lainya (pemedek)
3. Penutup
 3.1 Kesimpulan
Tradisi Nampah Batu adalah suatu adat atau kebiasaan “menyembelih batu” yang dilaksanakan oleh warga desa depeha yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya yang merupakan rangakaian dari upacara piodalan di Pura Puseh Desa Depeha. Pelaksanaan Upacara Nampah Batu mempunyai latar belakang etnografi yang berkaitan dengan cerita yang bersifat supernatural yang menceriterakan hubungan antara Dewi Danu yang berstana di Pura Ulun Danu Batur Kintamani dengan Ratu Ayu Manik Galih yang dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan, distanakan di Pura Puseh Desa Depeha.
Adapun urutan tata cara pelaksanaan upacara nampah batu yang masih tetap berlangsung di Desa Pekaraman Depeha adalah sebagai berikut: upacara Mapiuning (Matur Piuning) di Pura Bale Agung (Pura Desa), Upacara Matur Piuning di Pura Puseh, Upacara Numbas Bawi yang berlangsung di Pura Yeh Kedis, upacara Nampah Bawi Duwe dilaksanakan di Jaba Tengah (halaman bagian tengah) Pura Puseh, dan upacara persembahyangan dan makan bersama dilaksanakan di Utamaning Mandala (bagian dalam pura).
Adapun yang diharapkan dengan pelaksanaan Tradisi Nampah Batu terciptalah kasukertaan desa termasuk juga segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Selain itu Tradisi Nampah Batu merupakan upacara pengukuhan berdasarkan awig-awig Desa Pakaraman Depeha, bagi warga desa baru (desa anyar) yang sudah melangsungkan upacara pernikahan. Sloka-sloka yang relevan dengan Tradisi Nampah Batu adalah Kitab Bhagawad Gita Bab IX. 26, Bab III. 10 dan Rgveda X. 85.36.

Daftar Pustaka
Darma, I Nyoman. 2004. Menuju Bali Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-Hari. Surabaya : Paramita

Prabhupada, Sri Srimad A. C. Bhativedanta Swami. 2006. Bhagawad Gita Menurut Aslinya. Jakarta : Hanuman Sakti
Tim penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wiana, I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya : Paramita

0 komentar:

Posting Komentar