Tradisi
Nampah Batu di Desa Depeha
Kecamatan
Kubutambahan Kabupaten Buleleng
(Kajian
Sloka Weda)
Oleh
: I Putu Ngurah Restiada
1.
Pendahuluan
Umat Hindu dalam kehidupannya memegang
konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Widh Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan
manusia, serta hubungan dengan alam lingkungan. Ketiga hubungan yang harmonis
tersebut di dalam konsep Hindu dikenal dengan istilah Tri Hita Karana, yaitu tiga faktor yang menyebabkan kesejahteraan bersumber pada keharmonisan (Wiana, 2000 : 77).
Bagi masyarakat Hindu
di Bali dalam mengadakan upacara keagamaan tentunya membutuhkan alat, sarana
atau media untuk mengadakan hubungan dengan Sang
Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa beserta segala manifestasinya, roh
leluhur dan juga terhadap para Bhuta. Dalam hal ini upacara agama merupakan
proses konsolidasi hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya agar dalam
kehidupannya manusia selalu mendapatkan keselamatan dan senantiasa dapat
terhindar dari segala mara bahaya yang datang atau timbul dari alam.
Untuk mewujudkan
hubungan antara manusia dengan Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan, maka umat Hindu selalu sujud bhakti kehadapan beliau melalui berbagai prosesi upacara keagamaan.
Sementara agar tercipta hubungan yang harmonis dalam masyarakat, umat Hindu
melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam wadah yang terkecil yang disebut banjar. Serta dalam hubungan dengan alam
lingkungan, umat Hindu melaksanakan berbagai upaya pelestarian terhadap alam
lingkungan dengan cara yang baik agar dapat mendatangkan hasil yang baik untuk
generasi berikutnya.
Sebutan
pulau Dewata untuk Bali menyiratkan makna kesucian.
Dapat dilihat dari berbagai prosesi upacara keagamaan di Bali yang pada
hakekatnya bertujuan untuk mendatangkan kesucian.Kesucian merupakan warisan
dari leluhur yang sangat patut dijaga dan dilestarikan guna terciptanya
keharmonisan pada berbagai elemen dalam masyarakat.
Umat
Hindu di Bali kini muncul kesadaraan yang tinggi dalam hidup beragama dan
meningkatkan pula upaya untuk mendalami ajaran agama Hindu yang diyakininya.
Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yakni : Tattwa (filsafat), Susila
(etika), dan Upacara (Tradisi), yang
mampu memberikan kekhasan bagi masyarakat Bali. Tidak jarang pula orang
beranggapan bahwa kebudayaan Bali tidak lain adalah agama Hindu dengan berbagai
upacaranya. Keseluruhan dari upacara tersebut tercakup dalam Panca Yadnya yang meliputi : Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,
Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
Dewa Yadnya adalah korban suci yang
ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan para Dewa agar manusia senantiasa mendapat
lindungan-Nya. Dapat dikatakan juga bahwa kebanyakan dari korban suci tersebut
berbentuk bebanten (sesajen) dalam wujud Rsi Yadnya adalah korban suci tulus
ikhlas yang bertujuan menyucikan manusia secara lahir bhatin untuk menjadi sulinggih. Pitra Yadnya
adalah korban suci yang tulus ikhlas ditujukan kepada para leluhur agar beliau
melindungi segenap keturunannya demi keselamatan bersama. Manusa Yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk memelihara
hidup dan membersihkan lahir bhatin
manusia mulai dari terbentuknya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup
manusia. Bhuta Yadnya adalah korban
suci yang ditujukan kepada para Bhuta
Kala (makhluk halus), tujuan dari upacara ini adalah untuk membersihkan
alam semesta beserta isinya dari gangguan serta pengaruh buruk yang ditimbulkan
oleh para Bhuta Kala dan makhluk yang
dianggap lebih rendah dari manusia dan melalui upacara ini diharapkan makhluk
tersebut akan bersifat baik sehingga tidak akan mengganggu alam beserta segala
isinya.
Beranjak dari pemaparan mengenai yadnya di atas, di salah satu desa yang terdapat di Kecamatan
Kubutambahan yaitu Desa Depeha terdapatlah pelaksaanan yadnya yang sangat unik. yadnya yang unik dimaksud adalah Tradisi Nampah
Batu. Dimana tradisi nampah
batu ini dilakukan pada saat odalan di Pura Puseh
tepatnya setiap 1 tahun
sekali, dengan membayangkan sebuah batu sebagai binatang
hasil tangkapan berburu yang mau disemblih. Ketika menyembelih batu pun orang
yang menyemblih mengibaratkan sedang menyembelih binatang
hasil buruannya lengkap dengan bunyi binatang yang sedang dipotong, disisi lain
kaum perempuan menyiapkan bahan-bahan layaknya mau memasak hasil buruan itu
dari suaminya. Uniknya lagi yang menjadi pelaku tradisi nampah batu ini adalah masyarakat yang baru menikah (pengantin baru)
di tahun itu dengan maksud sebagai ajang peresmian masuk sebagai krama baru di desa tersebut.
2.
Pembahasan
2.1
Pengertian Tradisi Nampah Batu
Tradisi merupakan suatu
kebiasaan atau adat istiadat yang dimiliki oleh suatu daerah yang sudah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, dan wajib
untuk dilaksanakan seperti ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial,
pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan prilaku dan lain sebagainya,
dalam kurun waktu yang panjang. Kata
nampah berasal dari bahasa Bali
yang kata dasarnya adalah tampah yang berati memotong/menyemblih (Tim
Penyusun, 706
: 2008). Sedangkan kata batu sama
artinya dalam bahasa Indonesia yaitu sebuah benda. Jadi secara gramatikal, adapun kesimpulan
mengenai pengertian Tradisi Nampah Batu
adalah suatu adat atau kebiasaan “menyembelih batu” yang dilaksanakan oleh
warga desa depeha yang diwariskan secara turun-temurun kepada generasi
berikutnya yang merupakan rangakaian dari upacara piodalan di Pura Puseh Desa
Depeha.
2.2
Latar Belakang Tradisi Nampah Batu
Pelaksanaan Upacara Nampah Batu
mempunyai latar belakang etnografi yang berkaitan dengan
cerita yang bersifat supernatural yang menceriterakan hubungan antara Dewi Danu
yang berstana di Pura Ulun Danu Batur Kintamani dengan Ratu Ayu Manik Galih
yang dipuja oleh masyarakat Desa Depeha sebagai Dewi Kesuburan, distanakan di
Pura Puseh Desa Depeha.
Menurut ceritera yang berkembang di kalangan masyarakat
Desa Depeha karena rasa sayang Dewi Danu terhadap masyarakat Depeha
muncul ide Dewi Danu untuk memberikan sebuah mata air kepada masyarakat Depeha
agar di wilayah Desa Depeha mempunyai sawah untuk menunjang kehidupan
masyarakat. Secara geografis wilayah Desa Depeha merupakan daerah dataran
tinggi sehingga sulit untuk mengembangkan pertanian basah seperti padi. Tanaman
yang cocok dikembangkan adalah berbagai jenis tanaman buah-buahan dan pala
wija. Untuk mewujudkan keinginan Dewi Danu maka diutuskan seorang utusan untuk
pergi ke Desa Depeha membawa sibuh yang berisi air yang
selanjutkan akan dituangkan di salah satu tempat di Desa Depeha sebagai sumber
air. Utusan Dewi Danu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi sehingga muncul
ide untuk mengubah wujud (nyurti rupa) menjadi seekor
babi.
Hal ini dilakukan
agar perjalanan yang cukup jauh dari Desa Batur ke Desa Depeha bisa dilakukan
dengan cepat, apalagi kondisi wilayah sepanjang Batur menuju Depeha merupakan
kawasan hutan lebat dengan semak belukar yang menyulitkan perjalanan manusia.
Setelah utusan sampai di Desa Depeha, babi tersebut langsung
menghadap Ratu Ayu Manik Galih yang berstana di Pura Puseh dan menyerahkan sibuh berisi air tersebut
kepada-Nya. Setelah sibuh diterima dan diamati, ternyata di dalam sibuh yang
berisi air tersebut terdapat lintah (pacet). Ratu Ayu
Manik Galih sangat terkejut melihat binatang tersebut dan memerintahkan kepada
babi utusan itu untuk membuang sibuh beserta airnya di wilayah pantai. Dengan rasa kecewa
dan sedih babi utusan tersebut menuruti permintaan Ratu Ayu Manik Galih dan
pergi dari Desa Depeha menuju arah utara dan sampai di suatu tempat dekat
pantai (Desa Sanih). Di daerah dekat pantai itulah sibuh berisi air itu dibuang
dan secara tiba-tiba di tempat sibuh dibuang muncul sumber air yang sangat
jernih (Yeh Mumbul). Sumber air yang
masih dapat disaksikan sampai saat ini dikenal dengan nama Air Sanih.
Maksud baik dari utusan Dewi Danu ternyata mendapat
perlakuan yang tidak pantas dan merasa kecewa karena telah diperlakukan tidak
adil. Karena kesal, babi utusan itu mengeluarkan kutukan (memastu), agar suatu saat nanti apabila dilaksanakan
upacara yang dihaturkan kepada Ratu Ayu Manik Galih supaya babi yang
dipergunakan untuk sarana upacara berubah menjadi batu.
Disamping itu ditegaskan pula apabila masyarakat Desa Depeha melaksanakan suatu
upacara dan melaksanakan upacara melasti agar
nunas tirta ke Air Sanih (Yeh Mumbul).
Diceriterakan pada suatu hari masyarakat Desa Depeha
sedang mempersiapkan rangkaian upacara di Pura Puseh. Rangkaian upacara di Pura
Puseh diawali dengan upacara menghaturkan pujawali kehadapan Ratu Ayu Manik
Galih. Ratu Ayu Manik Galih merupakan sakti Dewa Wisnu dalam manifestasinya
sebagai pemelihara dunia beserta isinya. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat Ratu Ayu Manik Galih merupakan lambang kesuburan. Pujawali yang
dihaturkan ke hadapan Ratu Ayu Manik Galih dilaksanakan pada hari Purwani Purnama
Karo, sehari menjelang hari Purnama Sasih Karo yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan
istilah Nyumun Sari. Sebelum pelaksanaan upacara, masyarakat
sudah mempersiapkan berbagai sarana upacara yang dipimpin oleh Kelian Desa Pekraman Depeha, salah
satunya adalah seekor babi yang akan digunakan untuk perlengkapan sarana
upakara. Daging babi biasanya diolah untuk berbagai olahan (masakan), seperti
untuk sate, lawar. Pada waktu babi akan disembelih oleh sekelompok masyarakat,
babi tersebut lepas dan lari menuju lembah dekat Pura Puseh yang dikenal dengan
nama Yeh Kedis (Yeh Kedas). Beberapa
orang lari mengejar babi yang lepas. Setelah sampai di lembah Yeh Kedis, salah seorang berkata ...nah ne ya celenge (ini babinya) sambil menunjuk kepada salah
satu batu yang menyerupai babi yang ada di tempat tersebut.
Setelah diamati secara seksama oleh kelompok masyarakat
yang mencari babi yang lepas, ternyata yang dikatakan babi oleh salah seorang
adalah sebuah batu hitam yang cukup besar. Akhirnya, masyarakat yang mengejar babi yang lepas
memutuskan untuk membagi diri menjadi dua kelompok yaitu satu kelompok
ditugaskan untuk mencari babi ke arah barat, satu kelompok lagi mencari babi ke
arah timur. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, usaha mencari babi yang
lepas denganmenelusuri berbagai tempat di sekitar Desa Depeha
melahirkan nama-nama lokasi sekitar Desa Depeha yang masih digunakan sampai saat ini seperti, nama Munduk Ngandang, Ancut, Campuhan, Yeh Alang,
Ceregah, Batu Lumbang, Celuk, Bukit Tumpeng, Grombong, Gerembiang, Sanglung,
Tumpuk, Taman Sari, Seganti, Peninjauan, Puma, Grembeng,
Meringan, Bingin, Yeh Lesung, Tampul, Munduk Tegeh, Prahyangan (Payangan),
Batungadeg, Madya, Sianga, Pegubugan (Pengubugan), Yeh Pande dan Soca.
Nama-nama tersebut diyakini oleh masyarakat Depeha diberikan oleh kelompok
masyarakat yang mencari babi yang hilang. Walaupun sudah mencari ke berbagai
tempat sampai sore menjelang malam, babi belum juga ditemukan.
Setelah menerima pawisik (bisikan dari alam
gaib) yang menyatakan bahwa babi yang dicari ada di sekitar lembah Yeh Kedis berupa batu, masyarakat Desa
Depeha yang mempersiapkan upacara sepakat untuk mengganti babi yang hilang
dengan batu (bawi duwe) yang ada di Yeh Kedis. Selanjutnya masyarakat secara
beramai-ramai menggotong batu dari lembah Yeh Kedis seperti menggotong babi,
dibawa ke areal Jaba Tengah Pura Puseh
untuk dipotong secara bersama-sama sebagai perlengkapan sarana upakara yang
akan dipersembahkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Dari sinilah muncul istilah
Nampah Batu karena realitasnya yang dipotong oleh
masyarakat adalah batu sebagai simbol dari Bawi Duwe yang
keberadaannya diyakini oleh masyarakat berada di sekitar lembah Yeh Kedis. Sebagai ganti daging babi,
digunakan segala jenis kacang-kacangan dan sayur mayur yang merupakan hasil
bumi masyarakat Desa Depeha yang dikenal dengan nama Lelampadan. Lelampadan inilah yang diolah tanpa
menggunakan minyak untuk selanjutnya dipersembahkan ke hadapan Ratu Ayu Manik
Galih sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan.
2.3
Tahapan Pelaksananaan Tradisi Nampah Batu
Upacara Nampah Batu merupakan suatu
tradisi yang sangat unik yang dilakukan oleh masyarakat Desa Depeha yang
dilaksanakan pada hari Purwani (sehari sebelum) Purnama Sasih Karo sebagai bentuk saradha bakti masyarakat yang dipersembahkan
kehadapan Ratu Ayu Manik Galih. Upacara Nampah Batu (Nampah Bawi Duwe) dilaksanakan di Pura Puseh Desa Depeha.
Pemilihan tempat ini didasarkan atas keyakinan masyarakat Desa Pakraman Depeha bahwa lokasi pura Pura Puseh dan
daerah sekitarnya mempunyai kekuatan gaib dan disakralkan oleh warga masyarakat
setempat.
Tata cara pelaksanaan upacara telah mempunyai pakem yang
tetap sebagai warisan leluhur yang tidak berani dilanggar oleh seluruh warga
setempat karena telah diyakini kebenarannya dan menjadi pedoman bagi masyarakat
Desa Depaha dalam melaksakanan kehidupan. Adapun urutan tata cara pelaksanaan
upacara nampah batu yang masih tetap berlangsung di Desa Pekaraman Depeha
adalah sebagai berikut: upacara Mapiuning
(Matur Piuning) di Pura Bale Agung (Pura Desa), Upacara Matur Piuning di Pura Puseh, Upacara Numbas Bawi yang
berlangsung di Pura Yeh Kedis,
upacara Nampah Bawi Duwe dilaksanakan
di Jaba Tengah (halaman bagian
tengah) Pura Puseh, dan upacara persembahyangan dan makan bersama dilaksanakan
di Utamaning Mandala (bagian
dalam pura).
Prosesi Upacara Nampah Batu
diawali dengan Upacara Matur
Piuning di Pura Desa/Bale Agung yang dilaksanakan pada pagi hari
oleh seluruh Desa Anyar (warga yang
baru melangsungkan pernikahan). Secara sekala warga yang baru menikah dicatat dalam buku
registrasi (pipil) Desa Pakraman oleh
Penyarikan Desa, secara niskala
warga Matur Piuning kehadapan Ratu Gede Penyarikan yang distanakan di
Pura Desa setempat. Pada saat upacara di Pura Desa, warga
baru (Desa Anyar) membawa sarana
upacara berupa ayam putih, canang sari dengan perlengkapan beras
dan uang (beras jinah). Sarana dalam
upacara Dewa saksi di Pura Desa
sebagai bentuk nyata dari ketulusan dan kesucian warga baru dan menyatakan
telah siap secara lahir dan batin melaksanakan kewajiban (ngaturang ayah) sebagai warga baru. Dalam upacara
tersebut warga baru biasanya memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi agar dilimpahkan rahmat dan memperoleh
bimbingan dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga dan berhasil dalam membina
rumah tangga. Urutan pendaftaran yang dilakukan pada pagi hari itulah yang akan
menentukan posisi seorang dalam sistem pemerintahan Desa Pakraman Depeha yang dikenal dengan nama Tulud Apuh. Daftar catatan yang telah dibuat oleh Penyarikan Desa Pakraman yang dalam hal ini adalah Kelian Adat Desa Pakaraman Depeha, selanjutnya akan diserahkan kepada
Jero Pasek. Jero Pasek menyimpan catatan tersebut dan pada suatu saat apabila
ada pergantian dalam keanggotaan Desa
Kalih Likur (kelompok 22 orang) dalam sistem Tulud Apuh
yang dikenal dengan sebutan Dulu Desa (pemimpin desa),
maka yang berhak menggantikan adalah yang menempati urutan pertama pada saat
pendaftaran tersebut.
Dalam menyambut upacara Nampah Batu
sebagai rangkaian pujawali di Pura
Puseh seluruh anggota masyarakat Desa Depeha menghaturkan Hasil Tahun (hasil bumi) berupa pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (buah-buahan), dan pala gantung (pala wija). Di samping itu krama desa juga wajib menghaturkan
segala jenis sayuran yang dihasilkan di kebun milik warga yang dikenal dengan
sebutan Lelampadan. Lelampadan inilah yang akan digunakan sebagai pengganti
daging babi untuk diolah menjadi bahan upacara. Dalam mengolah makanan yang
dibuat dari berbagaai jenis sayuran dan berbagai jenis bumbu tidak boleh
menggunakan minyak, artinya semua jenis makanan harus direbus. Krama Desa Anyar juga menghaturkan
perlengkapan upacara berupa jerimpen
dan sesari sebagai ungkapan rasa puji syukur kehadapan Ratu Ayu Manik Galih.
Seluruh rangkaian upacara Nampah Batu
(babi duwe) dilaksanakan oleh Krama Desa
Anyar dipimpin oleh Dulu
Desa. Pada sore harinya seluruh Desa Anyar berkumpul di halaman paling luar
Pura Puseh, setelah disucikan oleh Dulu
Desa. Desa anyar laki-laki diberikan secarik kain
putih untuk diikatkan di kepalanya yang melambangkan kesucian, sedangkan Desa Anyar yang perempuan diberikan ikat
kepala berwarna kuning lambang kesuburan. Kain putih yang digunakan biasanya
diambil dari kain putih yang digunakan untuk menghias palinggih Ratu Ayu Manik Galih sebagai simbul telah
memperoleh anugrah-Nya. Apabila warga yang mengikuti prosesi upacara ini
jumlahnya banyak maka kain putih yang digunakan bisa dibawa dari rumah. Setelah
semua warga Desa Anyar berada di Pura
Puseh maka dilakukan upacara Matur
Piuning di Pura Puseh agar memperoleh keselamatan dalam melaksanakan
prosesi upacara Nampah Batu, dan warga desa anyar selalu mendapat berkah dari Dewa Wisnu dan
Ratu Ayu Manik Galih yang berstana di Pura Puseh. Selanjutnya seluruh warga desa anyar
laki-laki pergi menuju lembah Yeh Kedis
untuk melaksanakan upacara Numbas Babi Duwe. Di kawasan
lembah Yeh Kedis terdapat banyak batu
yang menyerupai babi sehingga masyarakat setempat menyebut batu tersebut dengan
istilah Babi Duwe.
Di lembah Yeh Kedis
warga desa anyar melaksanakan persembahyangan bersama
menghaturkan jerimpen, canang dengan buah-buahan semampunya dipimpin oleh Dulu Desa memuja Bhatara Rare Angon. Setelah rangkaian persembahyangan
selesai dilaksanakan barulah diadakan tawar menawar Babi Duwe,
dalam hal ini Dulu Desa sebagai penjual
sedangkan warga desa anyar sebagai pembeli. Setelah harga disepakati
oleh kedua belah pihak Babi Duwe yang akan dipotong
diperciki air suci oleh salah seorang Dulu
Desa dan akhirnya seluruh warga secara beramai-ramai berusaha menangkap Babi Duwe sehingga sulit untuk
mengambilnya. Setelah ditunjuk beberapa orang
oleh Dulu Desa barulah batu (babi duwe) tersebut dapat diangkat untuk
selanjutnya digotong menuju halaman tengah Pura Puseh.
Dalam proses menuju Pura Puseh inilah semua warga desa anyar mengeluarkan suara guwek...., guwek...., guwek..., seperti suara babi.
Dengan
semangat dan rasa suka cita semua anggota krama desa anyar beramai-ramai mengikuti
anggota yang bertujuan menggotong
babi duwe untuk selanjutnya dibawa ke halaman tengah
(jaba tengah/madyaning mandala) Pura Puseh. Anggota
warga desa anyar harus
melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan sehingga upacara
menangkap Babi Duwe berlangsung
dengan lancar.
Menurut penuturan salah seorang warga Desa Depeha yang
pernah mengikuti prosesi upacara nampah
batu, pernah terjadi kejadian yang sangat aneh pada saat warga desa anyar mengambil batu (babi duwe) di lembah Yeh Kedis. Rupanya ada sebagian warga desa anyar yang ikut dalam proses acara tersebut tidak
memperhatikan peraturan yang telah digariskan oleh para leluhur dan tidak
didasari oleh keyakinan, ketulusan dan ketetapan hati, maka semua krama desa anyar kesurupan dan bertingkah laku
seperti babi. Semua krama desa anyar
mengeluarkan suara guwek.... guwek...
tanpa henti dan saling seruduk seperti babi kesetanan tanpa dapat dihentikan.
Menyadari keadaan tersebut maka penghulu desa menghaturkan Guru Piduka (mohon maaf) atas kekeliruan warga desa
anyar dan memercikkan tirta kepada semua warga
anyar yang kesurupan. Akhirnya semua anggota warga desa anyar yang
kesurupan sadar dan dapat melanjutkan proses upacara Nampah Batu.
Setelah batu (Babi Duwe)
diletakkan di halaman Jaba Tengah Pura
Puseh proses selanjutnya adalah Nampah Babi
Duwe. salah seorang warga desa anyar yang bertugas sebagai jagal
(tukang potong). Sebelum pemotongan babi duwe
dilakukan salah seorang anggota memberi tanda putih silang (tampak dara) pada leher babi duwe
menggunakan kapur sirih. Dalam acara motong babi (nampah batu) warga desa anyar diberikan
tugas memegang kakinya,
ada yang memegang kepalanya, sama seperti
memetong babi biasa. Sebelum babi duwe tersebut dipotong warga yang bertugas
memotong mengucapkan kalimat yang berbunyi
.. .kalingania wwang muah sahanannia tan sidakaprajaya, watu ika sidha paprajaya, artinya: jangankan
manusia dan yang sejenisnya tidak bisa dibunuh, batu sekalipun bisa dibunuh. Selanjutnya warga desa anyar mengganti daging babi duwe dengan sayur-sayuran seperti
kacang panjang, bayam, kangkung dan daun-daunan yang lain (lelampadan) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Sayur-sayuran tersebut dicampur dengan bumbu dan kepala yang telah dibakar dan
diparut. Semua bahan-bahan tersebut dicampur tanpa menggunakan minyak dijadikan
lawar. Dalam proses pembuatan
lawar sama sekali tidak boleh digoreng, artinya bahan-bahan yang
digunakan hendaknya direbus.
Setelah warga desa
anyar selesai mengerjakan olahan dari lelampadan, krama desa anyar yang perempuan
melanjutkan menata sesajen yang akan
dihaturkan kehadapan Ratu Ayu Manik Galih berupa sesajen yang disebut dengan “bhakti
pengenem”, dan 'bakti cacar samah ’ jumlahnya 22 sesuai dengan jumlah Desa Linggih.
Setelah semua perlengkapan upacara selesai dikerjakan acara dilanjutkan dengan upacara puncak menghaturkan
persembahan kepada Ratu Ayu Manik Galih dipimpin oleh Jero Pasek dan Jero
Kubayan didampingi oleh anggota Desa Kalih
Likur yang lain. Setelah upacara pujawali
selesai dilanjutkan dengan acara makan
bersama (megibung). Sebagian
dari lawar lelampadan dibagikan kepada seluruh warga desa anyar sebagai simbol telah mendapat
berkah/anugrah dari Ratu Ayu Manik Galih. Bagian yang diterima oleh
masing-masing warga desa anyar sebagian dimakan, sebagian lagi
dibawa pulang untuk ditebar di seluruh pekarangan dan kebun milik warga
disertai dengan tirta yang diterima di Pura
Puseh. Penebaran lelampadan dan tirta (air suci) ini sebagai simbol bahwa warga desa anyar
telah menerima sarin bumi dan mengharapkan
agar hasil bumi mereka di masa yang akan datang memperoleh hasil yang lebih
baik.
2.4
Tujuan Tradisi Nampah Batu
2.4.1 Untuk Memohon Kasukertaan
Desa
Dalam kehidupan bermasyarakat, ada tiga hal pokok yang harus diatur agar
tujuan hidup bermasyarakat dapat diwujudkan, yakni: 1) Sukerta Tata Agama artinya menata tertib hidup
beragama; 2) Sukerta Tata Pawongan
maksudnya menata hubungan saling mengabdi, baik dalam keadaan suka maupun duka
sesama warga krama desa; 3) Sukerta Tata Palemahan maksudnya menata tata guna
wilayah desa agar aktivitas yang berhubungan dengan pemujaan kepada Tuhan,
mengabdi sesama manusia dan alam lingkungan terakomodasi secara seimbang (Wiana dalam Darma, 2004 : 265). Adanya keseimbangan ketiga unsur di
atas menjadi sebab (karana) untuk mencapai
kebahagiaan hidup (hita) yang menjadi tujuan
hidup manusia di dunia. Tri Hita Karana artinya tiga
penyebab timbulnya kebahagiaan. Sebagaimanana
pemaparan di atas, adapun yang diharapkan dengan pelaksanaan Tradisi Nampah Batu terciptalah kasukertaan desa termasuk juga segala
sesuatu yang tercakup di dalamnya.
2.4.2 Sebagai Upacara Pengukuhan Warga Desa Baru
Tradisi Nampah Batu merupakan upacara
pengukuhan berdasarkan awig-awig Desa Pakaraman Depeha,
bagi warga desa baru (desa anyar) yang sudah
melangsungkan upacara pernikahan di klan/dadia
mereka masing-masing, untuk diakui status (kedudukannya) secara tradisional
sebagai warga desa di Desa Pakraman Depeha. Tradisi ini disimbolkan dengan
menyemblih (nampah) sebuah batu yang
dianggap memiliki nilai magis (kramat) bagi
warga
desa di sana, sebagai simboi seekor babi sebagai bahan (artefak)
upacara (upakara) yang akan
dipersembahkan ke pada dewa yang bergelar "Ratu Ayu Manik Galih" yang
beristana di Pura Puseh Desa Depeha.
2.
5 Sloka yang relevan dengan Tradisi Nampah
Batu
Dalam
berbagai susastra Hindu disebutkan tentang hakekat seseorang dalam
pengaktualisasikan dan pengaplikasian Yadnya. Tradisi Nampah Batu juga merupakan pengejawantahan Yadnya. Kitab Bhagawad Gita Bab IX. 26 menyuratkan sebagai berikut.
Pattram puspam phalam to yam
Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam
Asnami prayatatmanah
Terjemahan :
Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku
daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan
keluar dari hati suci, Aku terima. (Prabhupada, 2006 : 483)
Sloka tersebut memberikan penegasan bahwa setiap apa yang dipersembahkan
kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan),
hendaknya disertai dengan ketulusan hati. Dalam Tradisi Nampah Batu Desa Anyar hendaknya
dijalankan dengan tulus hati dan bersungguh-sungguh. Seperti pemaparan
sebelumnya di atas, bahwa pernah terjadi fenomena trans (kerauhan) ketika seorang warga desa anyar yang main-main (mecanda)
melakukan ritul ini. Selain itu, terkait dengan sloka ini yang hubungan dengan
sarana yadnya dalam ritual Nampah Batu
juga dipersembahkan berbagai hasil bumi, Lelampadan
dan Sesajen sebagai rasa syukur
terhadap anugrah yang telah diberikan oleh Ida
Sang Hyang Widhi
Berkaitan dengan
tujuan dari pelaksanaan Tradisi Nampah Batu
salah satunya adalah terciptanya kasukertaan
desa. Dapat penulis sampaikan bahwa landasan filosofis dari pelaksanaan
tradisi nampah batu berkaitan dengan sloka Bhagawad Gita Bab III. 10 sebagai
berikut.
Saha
yajnah prajah srstva
Purovaca
prajapatih
Anena
prasavisyadhvam
Esa
vo’stv ista kamadhuk
Terjemahan :
Pada awal penciptaan, penguasa semua makhluk mengirim
generasi-generasi manusia dan dewa, beserta korban-korban suci untuk wisnu. Dan
memberkahi mereka dengan bersabda : berbahagialah engkau dengan yadnya ini sebab pelaksanaannya akan
menganugrahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup sejahtera,
bahagia dan pembebasan. (Prabhupada, 2006 : 170-171)
Sloka
ini amatlah jelas menyampaikan bahwa buah dari yadnya (Nampah Batu) akan berdampak positif bagi kesejahteraan umat
manusia. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan yadnya khusunya Tradis Nampah
Batu, diharapkan nantinya dapat membawa angin segar bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan seluruh warga desa baik warga desa
anyar maupun warga lainnya.
Selanjutnya,
jika ditilik dari tujuan Tradisi Nampah
Batu sebagai pengukuhan penganten baru menjadi warga desa baru (desa anyar) di Desa Depeha. Maka,
adapun sloka yang relevan adalah sloka Rgveda X. 85.36 sebagai
berikut.
Grbhnami te
saubhagatvaya hastam,
Maya patya jaradastir yathasah,
Bhago aryama savita puramdhir,
Mahyam tvadurgarhapatyaya devah.
Terjemahan :Maya patya jaradastir yathasah,
Bhago aryama savita puramdhir,
Mahyam tvadurgarhapatyaya devah.
Dalam sebuah pernikahan kalian
disatukan demi sebuah kebahagiaan dengan janji hati untuk saling membahagiakan.
Bersamaku engkau akan hidup selamanya karena Tuhan pasti akan memberikan
karunia sebagai pelindung dan saksi dalam pernikahan ini. Untuk itulah kalian
dipersatukan dalam satu keluarga.
Pengesahan suatu
perkawinan minimal harus ada Upa Saksi yaitu
Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Bhuta Saksi. Upacara Nampah
Batu dapat memberikan jalan pengesahan bagi penganten baru di Desa Depeha.
Hal ini terkait dengan Dewa Saksi,
dimana pasangan penganten baru di saksikan ngayah
secara skala oleh Ratu Ayu Manik
Galih yang berstana di Pura Puseh sembari berharap diberkahi kebahagiaan dan
kesejahteraan. Kemudian berkaitan dengan Manusa
Saksi, Desa Anyar mulai saat itu
dicatat dalam sistem Tulud Apuh oleh Penyarikan Desa dan hal yang paling semarak adalah disaksikan langsung oleh
warga desa lainya (pemedek)
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Tradisi Nampah Batu adalah suatu adat atau
kebiasaan “menyembelih batu” yang dilaksanakan oleh warga desa depeha yang
diwariskan secara turun-temurun kepada generasi berikutnya yang merupakan
rangakaian dari upacara piodalan di Pura Puseh Desa Depeha. Pelaksanaan Upacara Nampah Batu mempunyai latar belakang etnografi yang
berkaitan dengan cerita yang bersifat supernatural yang menceriterakan hubungan antara Dewi Danu yang berstana di Pura Ulun
Danu Batur Kintamani dengan Ratu Ayu Manik Galih yang dipuja oleh masyarakat Desa
Depeha sebagai Dewi Kesuburan, distanakan di Pura Puseh Desa Depeha.
Adapun urutan tata cara pelaksanaan upacara nampah batu yang masih tetap
berlangsung di Desa Pekaraman Depeha adalah sebagai berikut: upacara Mapiuning (Matur Piuning) di Pura Bale Agung
(Pura Desa), Upacara Matur Piuning di
Pura Puseh, Upacara Numbas Bawi yang berlangsung di Pura Yeh Kedis, upacara Nampah Bawi Duwe dilaksanakan di Jaba Tengah (halaman bagian tengah) Pura Puseh, dan
upacara persembahyangan dan makan bersama dilaksanakan di Utamaning Mandala (bagian dalam pura).
Adapun yang
diharapkan dengan pelaksanaan Tradisi Nampah
Batu terciptalah kasukertaan desa
termasuk juga segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Selain itu Tradisi Nampah Batu merupakan upacara pengukuhan
berdasarkan awig-awig Desa Pakaraman Depeha,
bagi warga desa baru (desa anyar) yang sudah
melangsungkan upacara pernikahan. Sloka-sloka
yang relevan dengan Tradisi Nampah Batu adalah Kitab Bhagawad Gita Bab IX. 26, Bab III. 10 dan Rgveda
X. 85.36.
Daftar Pustaka
Darma, I Nyoman. 2004. Menuju Bali Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-Hari. Surabaya :
Paramita
Prabhupada, Sri Srimad A. C. Bhativedanta Swami. 2006.
Bhagawad Gita Menurut Aslinya. Jakarta : Hanuman Sakti
Tim penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wiana, I Ketut. 2000. Arti
dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya : Paramita
0 komentar:
Posting Komentar