Taburan Hati

SCM Music

Minggu, 09 Februari 2014

Pengkajian kristalisasi sekte-sekte yang pernah ada di Bali dalam ritual Panca Yadnya


Sejarah mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah memontum penting dalam perkembangan agama Hindu. Pada saat itu yang memegang tapuk kepemimpinan di wilayah Bali adalah raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dengan permaisuri Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Agama berkembang begitu pesat, ini dibuktikan dengan adanya banyak sekte pada zaman itu. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi konfik secara fisik. (Nurkancana, 1997 : 139). Persaingan sekteis ini menyebabkan ketenteraman Bali menjadi tergangu. Kemudian, raja Sri Dharma Udayana Warmadewa dan ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni mengambil langkah  politis atas keresahan yang terjadi. Maka, diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba mencarikan solusi dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian mengundang semua pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan) yang diadakan di Batu Anyar (sekarang wilayah Kab. Gianyar).  Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai berikut :
1)             Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali saat itu.
2)              Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya dibangun Kahyangan Tiga, yaitu : Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3)              Dalam setiap rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga sebagai tempat memuja Tri Murti. Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga itu selain sebagai tempat memuja Tri Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja leluhur laki-laki (purusa), ruang kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana) sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997 : 139).  
Konsensus (kesepakatan) tersebut merupakan wujud dari sinkretisme sekte-sekte yang ada pada saat itu. Wilayah Bali kemudian kembali menjadi tentram. Masing-masing sekte saling menjaga toleransi antara satu dengan lainya, ini berkat kesuksesan Mpu Kuturan sebagai pimpinan (manggala) dalam pertemuan tersebut yang menghasilkan keputusan yang mampu mengakomodir semua sekte Menurut pandangan Dr. Goris, ada 9 sekte yang pernah ada di Bali pada abad IX meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). (Goris dalam Nurkancana, 1997 : 134). Diantara ke-9 sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah sekte Siwa Sidhanta.

1.               Sekte Siwa Shidanta
            Sekte Siwa Sidhanta merupakan salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara  yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara dan Anta yang berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara dan Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara yang berarti angkasa dan Anta yang berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga dunia. (Nurkancana, 1997 : 134).  Dari 2 buah deskripsi di atas  kata Shidanta  merujuk pada sebuah kesimpulan atau inti. Sehingga dalam pemahaman yang lebih luas kata Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaistik. Ajaran Siwa Sidhanta mengutamakan pemujaan terhadap Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Penganut Siwa Sidhanta tetap memuja Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya sesuai tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu merupakan manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda.

2.        Sekte Brahmana
   Sekte Brahmana adalah pemuja Dewa Api (Dewa Agni). Menurut  kepercayaan Hindu Dewa Api identikkan dengan Dewa Brahma ini karena perkembangan pemahaman theologi tentang dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi dewa Wisnu dan beberapa resuffle dewa yang lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber : http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.01 Wita).
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan wujud bhaktinya melalui upacara yang lebih banyak didominasi dengan penggunaan sarana api. Salah satu ritual yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana dalam Panca Yadnya secara nyata dapat kita lihat sampai sekarang adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam ritual agama Hindu bisa berupa dupa, dipa dan api takep.

3.        Sekte Resi
 Resi ini di pulau Jawa zaman dahulu merupakan kelompok pertapa yang tinggal di hutan. Mereka adalah kelompok yang arif dan suci. Di Bali tidak diketahui adanya tempat-tempat pertapaan  sebagaimana di Jawa, sehingga keberadaan Rsi itupun tidak jelas adanya. Tetapi pada kenyataanya menunjukkan adanya Resi sebagai pedanda atau mereka yang bertindak sebagai pendeta yang bukan berasal dari wangsa Brahmana, tetapi pedanda Resi ini hanya boleh memberikan air suci kepada kelompok keluarga saja.(Suhardana, 2008 : 114)

4.      Sekte Sora (Surya)
Sekte Sora (Surya) menempatkan Dewa Matahari (Surya) sebagai dewa utama dalam pemujaan. Sistem pemujaan Dewa Matahari disebut Surya Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut Sekte Sora. Pustaka lontar yang membentangkan Surya Sewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap ritual agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya. (Gunawan, 2012 : 49). Bukti dari kristalisasi sekte ini dalam Siwa Shidanta yang masih kita dapat lihat lainnya adalah penggunaan sebuah mantra yang mengagungkan Dewa Siwa Raditya dalam Kramaning Sembah. Adapun bunyi mantra tersebut, seperti dibawah ini.
Om Adityasya param jyoti
rakta teja nama'stute
sweta pankaja madhyastha
bhaskaraya namo'stute 
Terjemahan : 
Ya tuhan, Sinar Hyang Surya (Raditya) yang maha hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah terarai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan. 
5.      Sekte Pasupata
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu. (Gunawan, 2012 : 48 ; Nurkancana, 1997 : 135).
6.        Sekte Ganapatya
   Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja Dewa Ganesha sebagai dewa utama. Banyaknya patung-patung Ganesha yang ditemukan di Bali menunjukkan betapa besarnya pengaruh sekte ini. Semua patung tersebut di buat pada zaman kerajaan gelgel.  Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Ganesha adalah dewa pembasmi segala rintangan. Oleh karena itu, pada umumnya patung-patung beliau di bangun di tempat-tempat yang mungkin ada bahaya, misalnya di lereng-lereng gunung, di lembah maut, penyeberangan sungai dan lain sebagainya. (Nurkancana, 1997 : 136). Setelah zaman Gelgel, banyak patung Ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain. Kini banyak masyarakat Hindu menstanakan arca Dewa Ganesha di depan rumah mereka sebagai simbol penghalang mara bahaya. Konsepsi pelinggih Jero Gede yang ada di Bali disinyalir  mengadopsi konsep Dewa Ganesha.
Di Bali, Ada sebuah ritual khusus yang didedikasikan untuk menghormati Dewa Ganesha yang disebut dengan Rsi Gana. Patut dipahami terlebih dulu bahwa Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru. Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda). Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih, menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru. (Sumber : http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html, diakses Kamis, 29 Maret 2012 Pukul 15.35 Wita).
7.      Sekte Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakraman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte ini menjadi satu Sekte Wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sad Cakra (enam cakra), yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. (Gunawan, 2012 : 49 ; Nurkancana, 1997 : 136).
Mada (mabuk-mabukan), Mamsa (makan daging), Matsya (Makan Ikan), Mudra (melakukan gerak-gerik tangan seperti menari dalam ilmu hitam) merupakan ciri-ciri dari sekte ini. Sehingga dalam ritual pemujaan, bahan-bahan seperti daging, darah, arak dan berem merupakan bahan yang sering digunakan oleh sekte ini. Bukti dari kristalisasi sekte Bhairawa ke dalam Siwa Sidhanta yang masih dianut oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah adanya Caru.  Hal unik, peninggalan sekte Bhairawa dalam bidang kuliner adalah masakan khas Bali yaitu Lawar. Lawar adalah  masakan yang berbahan dari daging cincang, kelapa parut, racikan bumbu dan darah mentah yang diaduk sedemikian rupa hingga menimbulkan  tekstur warna merah pada parutan kelapa dan memiliki cita rasa yang khas.

8.        Sekte Waisnawa
   Sekte Waisnawa adalah sekte yang memuja Wisnu sebagai dewa utama. Eksistensi sekte ini di Bali dapat dilihat dari adanya konsepsi pemujaan terhadap Dewi Sri (Sakti Dewa Wisnu). Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan, dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. (Gunawan, 2012 : 49). Suhardana dalam bukunya Tri Murti berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memilki pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suhardana, 2008 : 113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu : Sisi Upakara dan Sisi Upacara.

8.1  Sisi Upacara
Dalam upakara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan :
1)             Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang berwarna hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte Waisnawa.
2)             Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan pada Dewa Wisnu.
3)             Canang Genten, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak, bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4)             Gayah Urip,  mempergunakan seekor babi. Diatas kepala babi tersebut ditancapkan sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan pengideran dewata nawa sanga. Salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra (senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
5)             Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6)             Banten Catur Rebah : pada banten ini salah satunya menggunakan biyu lurut 4 buah, diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7)             Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha .

8.2     Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini :
1)             Upacara Mapag Yeh, dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
2)             Mabyukukung, upacara ini menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan, sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru  di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap. Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3)             Upacara yang dilakukan pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga dan kedasa. Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam, ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan kayu yang berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu. (Sumber : http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/, diakses diakses Kamis 29 Maret 2012 Pukul 16.03 Wita).
9.      Sekte Sogatha (Buddha)
Adanya sekte Sogatha atau Buddha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Buddha tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. (Gunawan, 2012 : 49). Sekte inilah yang dalam perkembangan selanjutnya diakui oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang disebut agama Buddha.
Sumbangsih sekte ini dalam ritual Hindu adalah penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut Pis Bolong dalam berbagai upacara yadnya. Penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara Panca Yadnya antara lain dalam lis, orti, pedagingan, rambut sedana, pakelem, kewangen, tamiang dan lain-lain. Dalam seni budaya uang kepeng dijadikan berbagai bentuk hiasan. Kata Pis Bolong secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan berupa huruf-huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini  berupa mantra-mantra yang mengagungkan Siwa-Buddha serta adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali.

Kesimpulan
Sebagaimana diketahui, pada masa silam di Bali terdapat banyak sekte meliputi sekte Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora (Surya), Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa dan Sogatha (Buddha). Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa. Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau tempat suci. Tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta (utpeti), pemelihara (stiti) dan pelebur (pralina), namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara Kramaning Sembah ataupun Surya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Dewa Ganesha dipuja dalam upacara Rsi Gana sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh sekte Bhairawa. Tidak lupa pula, komponen-komponen penyusun ritual yadnya juga mendapat pengaruh dari masing-masing sekte. Adanya tirta dan bija merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa, adanya komponen berupa api adalah pengaruh dari sekte Brahmana, penggunaan pis bolong sebagai komponen pelengkap upakara  merupakan pengaruh sekte  Sogatha. Demikian pula persembahan berupa daging dan darah dalam caru adalah pengaruh dari sekte Bhairawa.
Berdasarkan  pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa memanglah benar adanya kristalilasi ajaran sekte-sekte dalam ritual Panca Yadnya yang ada di Bali. Kristalisasi ini bisa terjadi baik dalam upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya. Sebagaimana sebuah warna bagi pelangi, seperti itu pula ajaran sekte-sekte yang terintegerasi  dalam  Hindu. Pelangi tidak akan indah bila hanya satu warna, apalagi bila masing-masing warna mengakui dirinya paling indah. Pelangi itu indah bila warna itu terpadu secara apik. Sejarah telah membuktikan bahwa, ego sektoral (ego sekteis) hanya akan mengantarkan peradaban ke ambang perpecahan.  Memanglah tidak mungkin bila kita ingin memisahkan ajaran-ajaran sekte tersebut di atas secara terpisah dan partial, mengigat ajarannya telah mengkristal dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah mencari tahu dari sekte mana sebuah kearifan ajaran itu berasal yang kemudian berkristal dan memberikan warna indah bagi "pelangi" Hindu. 

Daftar Pustaka
Gunawan, I Ketut Pasek. 2012. Pengantar Bahan Ajar Siva Siddhanta I. Singaraja  (Tanpa Penerbit).                        
Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar :  Bali Post
Suhardana, K.M. 2008. Tri Murti. Surabaya : Paramita.
                       , 1994. Doa Sehari-hari Menurut Hindu. Denpasar : Pustaka Manik Geni.
http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/
http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html


1 komentar:

  1. Raja Dharmaudayana Warmadewa dan Ratu Gunaprya Dharmapatni berkuasa di Bali pada akhir abad ke-10 hingga awal abad ke-11 M, karena pada abad ke-9 M, yang berkuasa masih leluhur beliau yaitu Sri Khesari Warmadewa.

    BalasHapus